"Pokoknya aku mau kita tinggal satu kota lagi. Satu rumah. Suami istri apa yang tinggalnya berjauhan padahal kita bisa mengusahakan tinggal serumah. Mas Panca, kan, bukan pelaut yang pergi berlayar berbulan-bulan. Harusnya Mas senang kita bakal tinggal serumah lagi. Bukannya malah kesal gitu. Kita masih pengantin baru, Mas. Hamil usia empat bulan begini aku kepengin dimanja-manja kayak temanku." Indah bicara di telepon sambil mondar-mandir membuka lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dimasukkannya ke koper ukuran kabin.
Di seberang telepon suara napas Panca mengembus kasar. "Kamu tuh kapan, sih, percaya dengan yang aku bilang? Kamu kira aku asal ngambil keputusan? Aku baru tiga bulan tugas di kota ini dan itu belum permanen. Belum keluar SK Penempatan Definitif. Belum tetap, In! Kalau kamu udah nyampe sini dan aku dikembalikan lagi gimana? Bolak-balik ke sana kemari itu perlu uang banyak. Aku nggak mau dikit-dikit kita minta orang tua kamu. Mereka sudah habis banyak untuk rumah tangga kita. Otak kamu tuh dipakai sedikit aja bisa nggak, sih?" Panca sampai tersengal-sengal karena emosinya."Pokoknya hari ini aku ke Jakarta. Aku lagi beres-beres koperku. Aku kangen Mas Panca.""Terserah kamu mau ke mana. Jangan minta jemput. Aku nggak minta kamu datang. Jadi, kamu jangan ngerepotin aku. Aku banyak kerjaan hari ini." Panca langsung menutup telepon.Indah mematung. Pakaian yang baru diambil dari lemari jatuh ke lantai. Kalau tidak menahan dirinya kuat-kuat ia pasti sudah menangis. Tangisan yang kesekian kalinya dalam jangka waktu lima bulan pernikahan."In ... Indah jadi ke Jakarta? Papa dengar dari Mama kalau Panca sudah menempati rumah dinas dari kantornya. Benar begitu? Indah berangkat hari ini juga? Indah diantar supir aja, ya? Gimana?"Suara papanya terdengar dari balik pintu. Seperti biasa. Papanya akan selalu mengusahakan semua yang terbaik semampunya. Untuk anak semata wayang yang sedang mengandung cucu pertama. Tapi rasanya malu sekali kalau pria tampan pilihan yang dulu dipujinya siang malam malah tak peduli di mana keberadaannya."Enggak usah diantar supir, Pa! Aku naik kereta aja. Lagi kepengin naik kereta. Panca sebenarnya ngelarang naik kereta, sih. Khawatir aku malah kenapa-napa. Tapi aku yakinin dia enggak apa-apa. Nanti Panca jemput aku di stasiun. Papa santai aja!" Indah menjejalkan ponsel ke tasnya. Mungkin Panca langsung kembali tertidur usai bertelepon dengannya. Nanti saja mengabari suaminya itu, pikirnya.Indah menipu papanya untuk kesekian kali. Pelan-pelan tanpa suara ia memungut pakaian yang tadi terjatuh ke lantai. Kalau mandi basah sekalian, pikirnya. Mau ke mana ia menaruh muka kalau berkata jujur pada orang tuanya? Terutama sang papa yang mati-matian mencegahnya menikah dengan Panca karena tidak suka perangai pria itu sejak berkenalan pertama kali.Satu jam kemudian Indah sudah menyeret koper kabinnya ke ruang tamu. Turun dari lantai dua tadi dengan busana sudah berganti untuk melakukan perjalanan. Selembar terusan yang bagian atasnya ia lapis dengan sweater."Aku pergi sekarang ya, Pa, Ma ...." Indah mendatangi papanya yang muncul lebih dulu."Diantar ke stasiun ya, Nak. Diantar supir. Jangan naik taksi. Kalau Papa sehat pasti Papa yang antar kamu. Nanti pak supir harus mengantar sampai ke gerbong."Indah tidak mau banyak menepis pertolongan itu agar proses pamitannya tidak berlangsung lama. Sepuluh menit kemudian ia sudah mencium pipi kedua orang tuanya dan menaiki mobil menuju ke stasiun.Panca sudah dapat jatah rumah dari kantornya? Tentu saja bohong. Panca tidak ada mengatakan soal itu sama sekali. Hanya bilang kalau ia sengaja mengontrak rumah tidak terlalu dekat dengan kantor karena bosan dengan lingkungan yang itu-itu saja. Banyak pegawai kantor yang tinggal dalam radius lima kilometer dari gedung tempat mereka bekerja. Panca memilih tinggal sedikit jauh. Agar lebih tenang setelah dua bulan tiba di Jakarta dan mereka mencoba mandiri dengan tinggal berdua di sebuah kos-kosan elit dekat kantor."Siapa yang nyuruh kamu balik ke Bandung? Bukan aku, kan? Kamu yang pergi; mau balik ke rumah papa-mama kamu pakai alasan mabuk kehamilan yang parah. Separah apa, sih? Karena sekali dua kali keluar rumah sakit kamu langsung balik dengan alasan nggak ada yang nemenin. Banyak perempuan yang bisa kenapa kamu nggak? Dasarnya kamu aja yang kemanjaan. Kebiasaan manja kamu tuh. Sekarang kamu juga yang repot mau balik ke Jakarta lagi. Nanti kalau di rumah sendirian nggak ada yang nemenin kamu ngambek lagi. Pergi kali ke rumah papa kamu."Indah memandang keluar jendela kereta yang sedang menyuguhkan pemandangan berganti-ganti dalam kegelapan. Tenggorokannya kering tercekat setiap mengingat ucapan Panca. Memang ia yang salah, pikirannya. Ia yang meninggalkan Panca lebih dulu untuk pulang ke Bandung.Indah menghela napas. Tapi bukannya waktu itu Panca yang mengatakan tak sanggup jika harus terus keluar masuk rumah sakit dan menungguinya yang hyperemesis? Panca yang mengatakan bahwa dirinya perlu fokus bekerja di kantor barunya. Tidak bisa terus-terusan mengurusi istri yang sakit, katanya.Biarlah. Hari ini ia yang ngotot datang ke Jakarta sendirian. Tidak perlu dijemput di stasiun. Ia akan menelepon Panca sebegitu berada di taksi menuju rumah. Sekesal apa pun pria itu saat mereka bertengkar, Panca pasti senang dengan kejutan darinya.Indah sudah membayangkan akan memakai baju tidur yang mana malam itu. Kondisi kehamilannya yang berangsur normal tanpa mual muntah berlebihan membuat rindu dan hasrat ingin bertemu sang suami membuncah nyaris tak tertahan.Panca adalah pria yang diinginkannya sejak dulu. Sejak pertama kali ibunya mengenalkan Panca, ia sudah memimpikan suatu hari akan menjadi istri pria itu. Sepanjang masa SMP dan SMA ia bertemu Panca. Selalu tampan dan menjadi pujaan wanita-wanita di mana pun pria itu berada.Maka ketika Indah baru lulus dari universitas di Singapura dan ibu Panca menyarankan perjodohan dengan anaknya, siapa yang kuasa menolak? Indah langsung mengiyakan tanpa ba-bi-bu. Indah memuja Panca hingga ketika hamil benih pria itu pun ia merasa bangga pada teman-temannya.Taksi yang membawa Indah baru keluar dari Gambir. Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan.‘Aku udah nyampe di Gambir, Mas. Mau langsung ke rumah aja. Mas Panca di rumah, kan? Udah makan belum? Nanti kita pesan makan aja ya.’Setelah mengirim pesan cukup lama ia menatap layar ponselnya. Berharap kalau pesan itu langsung berbalas. Nyatanya hampir sepuluh menit tak ada jawaban. Ia langsung menelepon. Nada tunggu terdengar cukup lama. Indah tiga kali mencoba baru kemudian terdengar jawaban dari seberang telepon.“Ya?” Suara Panca terdengar parau.“Oh, Mas tidur? Pantes aku chat nggak dibalas. Aku udah jalan keluar Gambir. Aku lang….”“Kenapa nggak bilang-bilang, sih?”“Kenapa Mas marah-marah? Harusnya senang karena istrinya mau datang. Aku udah dekat.”Indah tak lagi mendengar jawaban Panca. Panggilan telepon berakhir dan taksi semakin mendekat ke perumahan yang baru ditempati suaminya itu. Indah yang baru sekali berkunjung ke perumahan itu bahkan belum mengenal siapa yang tinggal di sebelah kanan-kiri atau di depan mereka.Indah baru saja mau mengetuk ketika pintu depan langsung terbuka. Mata Panca sembab tapi wajahnya memerah. Seakan pria itu dipaksa bangun dari tidur dan diminta mengerjakan sesuatu dengan terburu-buru. Panca mengambil koper Indah dan membawanya ke dalam.“Cium aku dulu, Mas. Masa baru datang nggak dicium. Nggak kangen istrinya apa?” Indah masuk dan menyusul panca ke dalam.“Aku tadi lagi tidur. Masih ngantuk. Kamu masuk dan beres-beres ya. Aku besok masih ngantor.” Panca membawa koper Indah ke kamar dan langsung kembali merebahkan diri.“Mas udah makan? Kalau belum kita pesan makan lagi.” Indah membuka lemari dan mengambil handuk. Di kereta tadi ia sudah memakan dua roti. Tidak begitu lapar tapi masih bisa makan kalau Panca minta ditemani makan. Ia lalu masuk ke kamar mandi di kamar seraya menjepit rambutnya yang tergulung.“Aku udah kenyang. Kamu pesan makan aja kalau masih mau makan,” sahut Panca dari ranjang.“Kalau Mas nggak makan, aku juga nggak.” Indah mengambil sikat gigi yang baru satu kali ia pakai. Sikat gigi berwarna merah yang bagian kepalanya tertutup. Saat ia membukanya, sikat gigi itu basah seperti baru digunakan. “Masa, sih, Mas Panca pakai sikat gigi aku? Dia juga nggak suka benda-bendanya dipakai orang. Apalagi sikat gigi.” Indah meraba sikat gigi lain yang pasti milik Panca.Indah tercenung. Matanya mengerling pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dan memperlihatkan Panca yang tidur memeluk guling. Ia meletakkan sikat gigi panca yang juga basah dan pergi menuju ranjang.Apa mungkin Panca menyikat gigi dua kali dengan dua sikat yang berbeda di waktu yang hampir sama?Indah tidak mau berpikir macam-macam. Ia merindukan Panca. Tanpa menghiraukan bawaannya yang masih berserakan Indah merangkak ke ranjang dan menarik guling yang dipeluk Panca.“Mau apa?” tanya Panca, berpura-pura tak mengerti keinginan istrinya.Indah membungkuk untuk mencium pipi suaminya. “Aku kangen Mas Panca,” ucapnya lembut. Tangannya menyusup ke dalam piyama Panca untuk menemukan sesuatu yang ia rindukan.-TBC-Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.” “Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu. Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis. “Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek ker
Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok
“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya. Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum t
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”