Share

ASK-002

"Pokoknya aku mau kita tinggal satu kota lagi. Satu rumah. Suami istri apa yang tinggalnya berjauhan padahal kita bisa mengusahakan tinggal serumah. Mas Panca, kan, bukan pelaut yang pergi berlayar berbulan-bulan. Harusnya Mas senang kita bakal tinggal serumah lagi. Bukannya malah kesal gitu. Kita masih pengantin baru, Mas. Hamil usia empat bulan begini aku kepengin dimanja-manja kayak temanku." Indah bicara di telepon sambil mondar-mandir membuka lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dimasukkannya ke koper ukuran kabin.

Di seberang telepon suara napas Panca mengembus kasar. "Kamu tuh kapan, sih, percaya dengan yang aku bilang? Kamu kira aku asal ngambil keputusan? Aku baru tiga bulan tugas di kota ini dan itu belum permanen. Belum keluar SK Penempatan Definitif. Belum tetap, In! Kalau kamu udah nyampe sini dan aku dikembalikan lagi gimana? Bolak-balik ke sana kemari itu perlu uang banyak. Aku nggak mau dikit-dikit kita minta orang tua kamu. Mereka sudah habis banyak untuk rumah tangga kita. Otak kamu tuh dipakai sedikit aja bisa nggak, sih?" Panca sampai tersengal-sengal karena emosinya.

"Pokoknya hari ini aku ke Jakarta. Aku lagi beres-beres koperku. Aku kangen Mas Panca."

"Terserah kamu mau ke mana. Jangan minta jemput. Aku nggak minta kamu datang. Jadi, kamu jangan ngerepotin aku. Aku banyak kerjaan hari ini." Panca langsung menutup telepon.

Indah mematung. Pakaian yang baru diambil dari lemari jatuh ke lantai. Kalau tidak menahan dirinya kuat-kuat ia pasti sudah menangis. Tangisan yang kesekian kalinya dalam jangka waktu lima bulan pernikahan.

"In ... Indah jadi ke Jakarta? Papa dengar dari Mama kalau Panca sudah menempati rumah dinas dari kantornya. Benar begitu? Indah berangkat hari ini juga? Indah diantar supir aja, ya? Gimana?"

Suara papanya terdengar dari balik pintu. Seperti biasa. Papanya akan selalu mengusahakan semua yang terbaik semampunya. Untuk anak semata wayang yang sedang mengandung cucu pertama. Tapi rasanya malu sekali kalau pria tampan pilihan yang dulu dipujinya siang malam malah tak peduli di mana keberadaannya.

"Enggak usah diantar supir, Pa! Aku naik kereta aja. Lagi kepengin naik kereta. Panca sebenarnya ngelarang naik kereta, sih. Khawatir aku malah kenapa-napa. Tapi aku yakinin dia enggak apa-apa. Nanti Panca jemput aku di stasiun. Papa santai aja!" Indah menjejalkan ponsel ke tasnya. Mungkin Panca langsung kembali tertidur usai bertelepon dengannya. Nanti saja mengabari suaminya itu, pikirnya.

Indah menipu papanya untuk kesekian kali. Pelan-pelan tanpa suara ia memungut pakaian yang tadi terjatuh ke lantai. Kalau mandi basah sekalian, pikirnya. Mau ke mana ia menaruh muka kalau berkata jujur pada orang tuanya? Terutama sang papa yang mati-matian mencegahnya menikah dengan Panca karena tidak suka perangai pria itu sejak berkenalan pertama kali.

Satu jam kemudian Indah sudah menyeret koper kabinnya ke ruang tamu. Turun dari lantai dua tadi dengan busana sudah berganti untuk melakukan perjalanan. Selembar terusan yang bagian atasnya ia lapis dengan sweater.

"Aku pergi sekarang ya, Pa, Ma ...." Indah mendatangi papanya yang muncul lebih dulu.

"Diantar ke stasiun ya, Nak. Diantar supir. Jangan naik taksi. Kalau Papa sehat pasti Papa yang antar kamu. Nanti pak supir harus mengantar sampai ke gerbong."

Indah tidak mau banyak menepis pertolongan itu agar proses pamitannya tidak berlangsung lama. Sepuluh menit kemudian ia sudah mencium pipi kedua orang tuanya dan menaiki mobil menuju ke stasiun.

Panca sudah dapat jatah rumah dari kantornya? Tentu saja bohong. Panca tidak ada mengatakan soal itu sama sekali. Hanya bilang kalau ia sengaja mengontrak rumah tidak terlalu dekat dengan kantor karena bosan dengan lingkungan yang itu-itu saja. Banyak pegawai kantor yang tinggal dalam radius lima kilometer dari gedung tempat mereka bekerja. Panca memilih tinggal sedikit jauh. Agar lebih tenang setelah dua bulan tiba di Jakarta dan mereka mencoba mandiri dengan tinggal berdua di sebuah kos-kosan elit dekat kantor.

"Siapa yang nyuruh kamu balik ke Bandung? Bukan aku, kan? Kamu yang pergi; mau balik ke rumah papa-mama kamu pakai alasan mabuk kehamilan yang parah. Separah apa, sih? Karena sekali dua kali keluar rumah sakit kamu langsung balik dengan alasan nggak ada yang nemenin. Banyak perempuan yang bisa kenapa kamu nggak? Dasarnya kamu aja yang kemanjaan. Kebiasaan manja kamu tuh. Sekarang kamu juga yang repot mau balik ke Jakarta lagi. Nanti kalau di rumah sendirian nggak ada yang nemenin kamu ngambek lagi. Pergi kali ke rumah papa kamu."

Indah memandang keluar jendela kereta yang sedang menyuguhkan pemandangan berganti-ganti dalam kegelapan. Tenggorokannya kering tercekat setiap mengingat ucapan Panca. Memang ia yang salah, pikirannya. Ia yang meninggalkan Panca lebih dulu untuk pulang ke Bandung.

Indah menghela napas. Tapi bukannya waktu itu Panca yang mengatakan tak sanggup jika harus terus keluar masuk rumah sakit dan menungguinya yang hyperemesis? Panca yang mengatakan bahwa dirinya perlu fokus bekerja di kantor barunya. Tidak bisa terus-terusan mengurusi istri yang sakit, katanya.

Biarlah. Hari ini ia yang ngotot datang ke Jakarta sendirian. Tidak perlu dijemput di stasiun. Ia akan menelepon Panca sebegitu berada di taksi menuju rumah. Sekesal apa pun pria itu saat mereka bertengkar, Panca pasti senang dengan kejutan darinya.

Indah sudah membayangkan akan memakai baju tidur yang mana malam itu. Kondisi kehamilannya yang berangsur normal tanpa mual muntah berlebihan membuat rindu dan hasrat ingin bertemu sang suami membuncah nyaris tak tertahan.

Panca adalah pria yang diinginkannya sejak dulu. Sejak pertama kali ibunya mengenalkan Panca, ia sudah memimpikan suatu hari akan menjadi istri pria itu. Sepanjang masa SMP dan SMA ia bertemu Panca. Selalu tampan dan menjadi pujaan wanita-wanita di mana pun pria itu berada.

Maka ketika Indah baru lulus dari universitas di Singapura dan ibu Panca menyarankan perjodohan dengan anaknya, siapa yang kuasa menolak? Indah langsung mengiyakan tanpa ba-bi-bu. Indah memuja Panca hingga ketika hamil benih pria itu pun ia merasa bangga pada teman-temannya.

Taksi yang membawa Indah baru keluar dari Gambir. Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan.

‘Aku udah nyampe di Gambir, Mas. Mau langsung ke rumah aja. Mas Panca di rumah, kan? Udah makan belum? Nanti kita pesan makan aja ya.’

Setelah mengirim pesan cukup lama ia menatap layar ponselnya. Berharap kalau pesan itu langsung berbalas. Nyatanya hampir sepuluh menit tak ada jawaban. Ia langsung menelepon. Nada tunggu terdengar cukup lama. Indah tiga kali mencoba baru kemudian terdengar jawaban dari seberang telepon.

“Ya?” Suara Panca terdengar parau.

“Oh, Mas tidur? Pantes aku chat nggak dibalas. Aku udah jalan keluar Gambir. Aku lang….”

“Kenapa nggak bilang-bilang, sih?”

“Kenapa Mas marah-marah? Harusnya senang karena istrinya mau datang. Aku udah dekat.”

Indah tak lagi mendengar jawaban Panca. Panggilan telepon berakhir dan taksi semakin mendekat ke perumahan yang baru ditempati suaminya itu. Indah yang baru sekali berkunjung ke perumahan itu bahkan belum mengenal siapa yang tinggal di sebelah kanan-kiri atau di depan mereka.

Indah baru saja mau mengetuk ketika pintu depan langsung terbuka. Mata Panca sembab tapi wajahnya memerah. Seakan pria itu dipaksa bangun dari tidur dan diminta mengerjakan sesuatu dengan terburu-buru. Panca mengambil koper Indah dan membawanya ke dalam.

“Cium aku dulu, Mas. Masa baru datang nggak dicium. Nggak kangen istrinya apa?” Indah masuk dan menyusul panca ke dalam.

“Aku tadi lagi tidur. Masih ngantuk. Kamu masuk dan beres-beres ya. Aku besok masih ngantor.” Panca membawa koper Indah ke kamar dan langsung kembali merebahkan diri.

“Mas udah makan? Kalau belum kita pesan makan lagi.” Indah membuka lemari dan mengambil handuk. Di kereta tadi ia sudah memakan dua roti. Tidak begitu lapar tapi masih bisa makan kalau Panca minta ditemani makan. Ia lalu masuk ke kamar mandi di kamar seraya menjepit rambutnya yang tergulung.

“Aku udah kenyang. Kamu pesan makan aja kalau masih mau makan,” sahut Panca dari ranjang.

“Kalau Mas nggak makan, aku juga nggak.” Indah mengambil sikat gigi yang baru satu kali ia pakai. Sikat gigi berwarna merah yang bagian kepalanya tertutup. Saat ia membukanya, sikat gigi itu basah seperti baru digunakan. “Masa, sih, Mas Panca pakai sikat gigi aku? Dia juga nggak suka benda-bendanya dipakai orang. Apalagi sikat gigi.” Indah meraba sikat gigi lain yang pasti milik Panca.

Indah tercenung. Matanya mengerling pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dan memperlihatkan Panca yang tidur memeluk guling. Ia meletakkan sikat gigi panca yang juga basah dan pergi menuju ranjang.

Apa mungkin Panca menyikat gigi dua kali dengan dua sikat yang berbeda di waktu yang hampir sama?

Indah tidak mau berpikir macam-macam. Ia merindukan Panca. Tanpa menghiraukan bawaannya yang masih berserakan Indah merangkak ke ranjang dan menarik guling yang dipeluk Panca.

“Mau apa?” tanya Panca, berpura-pura tak mengerti keinginan istrinya.

Indah membungkuk untuk mencium pipi suaminya. “Aku kangen Mas Panca,” ucapnya lembut. Tangannya menyusup ke dalam piyama Panca untuk menemukan sesuatu yang ia rindukan.

-TBC-

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
duh...bekas orang ...
goodnovel comment avatar
Aam Aminah
kasihan banget indah mencintai orang yg salah
goodnovel comment avatar
Neee I
Thank you and stay healthy KK Njusss.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status