“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Sebelum tiba di ruangan President Director. Ide melamar pekerjaan dengan sangat terburu-buru itu membuat Indah tidak sempat mencari pakaian baru dengan model terkini dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang terbilang masih berisi usai melahirkan. Malam hari sebelum berangkat interview Indah memutuskan akan memakai rok berpotongan A berwarna cokelat yang panjangnya di bawah lutut dan blus satin berwarna krem yang bagian depannya bisa dijalin membentuk pita yang menyamarkan bentuk dadanya. Sandal bertalinya juga masih ada yang bagus. Indah merasa cukup percaya diri mengadu nasib pagi itu. Dan setelah pontang-panting bangun dari pukul empat pagi, Indah berhasil berdandan rapi dan manis untuk kemudian menggendong dan menciumi Alif sebentar sebelum pergi. “Alif…Alif …. Doakan Mama keterima kerja, ya. Pagi ini di rumah sama Bu Anum. Jangan rewel kalau Bu Anum gantiin kantong gantengnya.” Indah mengusap kantong kolostomi Alif yang tertutup selimutnya. “Bu, titip Alif, ya. Doakan saya keterim
Yeni langsung terdiam memandang punggung Arsya yang menghilang di balik pintu.“Saya permisi ke dalam dulu, Mbak.” Indah mengangguk pada Yeni dan menyusul sang Presdir. Sebelum mendekati meja kerja Arsya, Indah mengetuk pintu dua kali agar pria itu menoleh ke arahnya.“Oh, ya. Kamu ke sini,” pinta Arsya. “Biasanya saya tidak bertanya alasan apa pun yang diberikan bawahan saya untuk sebuah keterlambatan. Macet?” tanya Arsya. Wajahnya masih sama datar seperti kemarin.Indah mengangguk. "Iya, Pak."“Jakarta sudah macet selama puluhan tahun. Kamu nggak bisa pakai alasan itu sekarang. Setiap pagi saya bangun pukul empat untuk tiba di kantor tepat waktu. Bagaimana? Ada alasan lain?” Arsya melipat tangan di depan dada. Mencoba memandang sepasang mata Indah yang sejak tadi menghindari tatapannya.“Bayi saya masuk UGD, Pak,” ucap Indah pelan. “Bayi laki-laki saya, anak pertama saya yang baru berusia satu bulan lebih pagi tadi badannya membiru. Dokter bilang kadar oksigen dalam darahnya menurun
Entah kenapa saat pertama kali Bu Anum menunjukkan rumah dengan dua kamar yang terletak di belakang rumah sakit itu Indah langsung jatuh hati. Bisa dibilang rumah itu adalah paviliun dari rumah utama yang berbatasan langsung dengan jalan. Tapi karena disewakan, pihak penyewa diberi hak melalui jalan tersendiri yang letaknya di sebelah bangunan utama. Walau letaknya di belakang, tapi Indah suka karena bangunan belakang itu tetap memiliki halaman. Setiap pagi Alif didorong keluar dalam stroller dan berjemur. Meski rumah itu ‘hanya’ menyewa, Indah rasa harganya pun tergolong murah. Cukup murah karena dengan uang segitu ia seakan membeli ketenangan yang sudah lama tidak ia miliki. Indah berharap bisa hidup dengan tenang selama membawa Alif rutin ke rumah sakit. Bisa dibilang kalau permasalahannya sedikit terpecahkan. Mulai ada titik terang untuk Alif, meski ia harus mengabaikan banyak kesakitan dalam dirinya. Di samping itu, Indah juga harus banyak belajar untuk pekerjaan baru dan perta
Sejak ayahnya bertandang ke kantor untuk mengajaknya makan siang, pikiran Arsya tidak lepas dari isi percakapan soal sosok wanita bernama Indah. Ayahnya tiba-tiba jadi banyak bertanya soal sosok wanita itu. Ari Subianto yang jarang mengingat nama pegawainya hari itu meminta CV Indah untuk dibaca berkali-kali. Gantian Arsya yang merasa aneh dengan sikap sang ayah.Apa mungkin pertanyaan soal Indah itu hanya untuk mengalihkan segala pikiran soal mendiang kekasihnya? Agar ia sibuk dengan sosok wanita baru yang bisa ia perhitungkan sebagai calon istri?Kenapa harus Indah yang bekerja di hari pertamanya? Ada Yeni yang sudah lebih lama bekerja sebagai asisten Sarah. Yeni single dan bisa dikatakan cantik juga bertubuh ideal. Ayahnya bisa saja menjodoh-jodohkan dia dengan Yeni. Kenapa harus Indah yang ayahnya tahu bahwa wanita itu sudah bersuami?Harusnya bisa saja Yeni, tapi kenapa ayahnya malah bertanya, “Indah yang tadi … menurut Abang sebagai pria, apa Indah cantik?”“Hush, Ayah nggak bol
Apotek yang dituju Indah terletak di dekat di dekat rumah sakit, yang tak jauh juga dari rumahnya. “Saya mau colostomy bag yang biasa. Satu kotak aja. Harganya masih sama, kan?” Indah mengangsurkan uang kertas empat ratus ribu.“Susunya sekalian, Kak? Untuk Alif, kan?” Gadis yang sudah mengenal Indah muncul dari belakang.Indah menggeleng. “Susunya masih banyak. Bulan depan aja,” kata Indah. Ia memilih bulan depan untuk berbelanja susu bukan karena susu Alif masih banyak. Tapi uangnya sudah sangat menipis. Bantuan bulanan yang biasa diberikan papanya belum tiba dan ia tidak enak untuk mengingatkan.Jadi, Indah berharap bulan depan akan ikut menerima gaji dalam jumlah proporsional seperti yang dijanjikan. “Mudah-mudahan susu Alif cukup sampai akhir bulan. Lagian masih bisa ASI juga.” Indah bergumam dengan bungkusan yang terayun di tangannya.Dari apotek ke rumah, Indah berjalan kaki hampir dua puluh menit. Cukup lama memang tapi sayang kalau harus ditempuh dengan ojek sepuluh ribu. Uan