Share

ASK-005

“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.

Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.

“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya.  

Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum tidur adalah waktu berkualitasnya bersama Panca.

Indah menyukai Panca untuk waktu yang sangat lama. Sejak ia masih berseragam dan melihat Panca secara sembunyi-sembunyi tiap keluarga mereka saling mengunjungi. Indah bahagia saat suatu hari ibu Panca datang ke rumah untuk memintanya menjadi menantu. Saking senangnya, Indah mengabaikan larangan papanya.

“Papa nggak bisa maksa Indah menikah dengan laki-laki pilihan Papa. Tapi harusnya jangan Panca. Papa kurang suka. Indah nggak perlu selalu setuju dengan Mama.”

Dan bukan hanya tidak harus selalu setuju dengan ibu tirinya, Indah juga harusnya tidak sesenang itu saat Panca menikahinya tanpa mengenal pria itu lebih dulu. Itu bukan pernikahan perjodohan impiannya. Yang saling mengenal di awal pernikahan lalu berlanjut dengan semakin saling mencintai. Perjodohan dengan pria tampan pujaannya ternyata tidak seindah itu.

“Udah, Mas. Jangan gini ….” Indah masih terisak. Panca tidak mendengarnya. Lanjut menuntaskan hasrat yang malam itu menjadi kejahatan bagi istrinya sendiri.

Indah ditinggalkan lewat tengah malam dengan kondisi mengenaskan. Dress dengan potongan harga yang dibelinya dari tabungan setengah robek karena tangan Panca. Sekujur badan yang sakit terutama bagian paha yang dipaksa membuka cukup lama. Dan yang membuat Indah kembali menangis adalah ia mengalami sedikit perdarahan.

“Aku perdarahan, Mas. Antar aku ke dokter.” Indah menelepon Panca yang sudah berangkat kerja pagi-pagi betul.

Jawaban Panca harusnya sudah bisa diperkirakan Indah.

“Aku kerja. Apa susahnya ke rumah sakit pakai taksi dan daftar ke dokter kandungan? Biasanya di Bandung juga gitu. Apa memang harus banget bergantung ke aku?”

“Hari ini jangan pulang larut malam. Aku mau ngomong.”

“Aku masih ada tamu yang harus dijamu. Kamu tahu sendiri posisiku di kantor sebagai apa.” Jawaban dari Panca sama seperti sebelum-sebelumnya.

“Besok pagi aku mau pulang ke Bandung. Sebelum aku pulang sebaiknya kita ngobrol dulu.”

Hati Indah sebenarnya sakit sekali saat mengatakan itu. Sakit karena sebenarnya ia masih mau di Jakarta mendampingi suaminya, dan lebih sakit lagi karena Panca sama sekali tidak mencegahnya kembali ke Bandung.

Panca menyanggupi pulang lebih awal karena ia mengatakan akan kembali ke Bandung. Suka tidak suka suaminya memang tidak begitu suka akan kehadirannya. Lantas kenapa Panca berniat menikahinya?

Dengan hati penuh amarah dan rendah diri, Indah bercermin di kamar mandi. Tangannya menyapu jajaran toiletries yang kemarin menimbulkan banyak pertanyaan baginya.

“Mas Panca … aku bisa membedakan mana orang kantor dan mana wanita yang kamu akui sebagai lady escort klub. Aku juga bisa bedain semua letak benda-benda milikku yang dipakai orang lain di kamar kita.” Indah memandang sikat sikat giginya dan kemasan body scrub yang isinya sudah berkurang banyak meski baru ia pakai sekali. “Kalau wanita yang kamu peluk kemarin memang cinta kamu, dia pasti cemburu karena aku datang. Kamu bakal nemuin dia secepat mungkin.”

Selera makan Indah musnah. Walau begitu ia menyempatkan memasak semua bahan yang tersisa di kulkas. Semangkuk sarden, telur dadar dan rebusan sawi putih. Selama berusaha menjejalkan makanan ke mulut, mata dan batinnya tak henti menangis.

Bagaimana kalau papanya tahu bahwa putri tunggalnya yang dinikahi pria tampan dan terlihat kaya hanya diberi uang saku dua juta rupiah tiap bulan dari gaji puluhan juta perbulan. Panca bilang dua juta itu hanya untuk jajan. Indah akan diberi belanja rutin perminggu kalau mereka sudah benar-benar bersama. Indah membereskan semua barangnya secepat mungkin sebelum Panca muncul di rumah. Lalu sambil menguatkan hati duduk di sofa ruang keluarga tempat ia menantikan Panca.

Dugaan Indah ternyata tak meleset. Malam belum tiba sepenuhnya tapi mobil Panca sudah masuk ke carport. “Semangat banget yang mau ditinggalin istri.” Indah bergumam saat mendengar pintu samping yang berbatasan dengan dapur dan carport dibuka. Panca memang biasa keluar masuk dari situ.

“Pulang besok jam berapa? Pagi atau siang?” Langkahnya baru sampai di pintu tengah, tapi Panca sudah bertanya soal kepergian istrinya esok hari.

Hati Indah sebenarnya geram. Hampir saja ia mengatakan batal pulang ke Bandung karena antusiasme tak wajar suaminya itu. Namun akhirnya ia mencoba menjawab dengan nada biasa. “Besok naik kereta paling pagi aja,” sahutnya

“Bisa aku antar ke stasiun sekalian berangkat ke kantor. Tapi harus lebih pagi. Kamu duduk aja nunggu di stasiun.” Panca bicara sambil berdiri di dekat sofa.

Indah mengerling Panca. Dari segi visual Indah memaklumi dirinya sendiri kenapa dulu begitu tergila-gila pada Panca. Memang ganteng dengan tubuh tinggi atletis. Walau Panca bukan pria yang berasal dari keluarga kaya raya, setidaknya Panca masih bisa berbangga diri dengan pekerjaan bergaji lumayan yang dimilikinya. Tapi soal perhitungannya Panca dalam soal uang, Indah tak bisa menutup mata.

“Ngobrolnya sambil duduk di sini, Mas.” Indah menepuk bagian kosong sofa di sebelahnya. Lagi-lagi ia menebak kalau Panca akan menurutinya. Malam itu Panca pasti menghindari cekcok. Dan benar saja, walau rautnya sempat menegang sebentar, Panca mendekat dan duduk di sebelahnya. “Makasih karena mau duduk di sebelahku ya, Mas.”

Panca terlihat kesal karena ucapan Indah barusan. “Udah? Mau ngomong itu aja?” Panca bergeser sedikit menjauh untuk menatap Indah di sebelahnya.

“Mas nggak ada niat minta maaf ke aku karena kejadian semalam? Apa itu cara Mas memperlakukan seorang istri?” Tangan Indah menaut erat di pangkuannya.

“Yang kutahu … istri adalah wanita yang selalu mengikuti apa kata suaminya. Aku udah bilang jangan datang ke sini. Tapi kamu malah datang ke klub hanya buat ngebuktiin aku salah. Kayaknya kamu memang lagi nyari-nyari kesalahan aku ya, In?” Panca semakin menggeser letak duduknya.

“Kenapa harus nyari-nyari kesalahan kalau aku perlu kebenaran supaya bisa hidup tenang?” Tadinya mau berusaha kuat, tapi mengatakan itu sudah membuat suara Indah bergetar. Panca langsung melengos.

“Udahlah … dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Capek tahu!” Panca berdiri dan meninggalkan Indah.

Indah tersenyum getir.  Tak apalah, pikirnya. Besok ia sudah kembali ke Bandung. Mungkin selama masa awal kehamilan membuat dirinya sangat sensitif terhadap hal-hal kecil. Ada baiknya ia menjaga kewarasan dan kesehatan bayinya dengan menghindari keributan dengan Panca. Kelahiran bayi pasti akan menjadi lem perekat buat hubungan mereka.

Awalnya Indah hanya berbaring mengecek ponsel sambil menunggu masuk ke kamar. Mungkin sedikit mengobrol sebelum tidur bisa membuat situasi mereka lebih baik, pikirnya. Tapi sampai ia jatuh tertidur, Panca tak kunjung masuk ke kamar.

Tidur Indah tidak terlalu nyenyak. Ia terbangun beberapa kali karena Panca berkasak-kusuk di sebelahnya. Walau Panca memunggungi, ia melihat pria itu masih menatap layar ponsel yang masih menyala.  

Kegelisahan Panca itu membuat Indah terbangun lebih pagi untuk mengambil kunci pintu depan yang hampir tidak pernah mereka gunakan. Panca selalu keluar-masuk melalui pintu belakang yang berbatasan dengan carport. Tangan Indah berkeringat saat menggenggam kunci ruang tamu dan mengantonginya.

Pagi itu Indah menjadi lebih banyak diam. Namun, sikap diam Indah ternyata tidak dirasakan Panca. Pria itu bersenandung di mobil saat dalam perjalanan ke stasiun.

“Makasih sarapannya,” kata Panca beberapa menit sebelum tiba di stasiun.

“Sama-sama,” jawab Indah datar.

“Kalau udah sampai kabari, ya. Kamu makan yang banyak dan kabari aku kalau sampai di rumah.” Panca memegang kedua bahu Indah dan mengecup dahinya.

Indah berdiri di depan stasiun saat Panca pergi. Perasaannya kembali kalut dan dua sisi dirinya berdebat. Memangnya untuk apa mengambil kunci rumah? Mau memergoki Panca dengan wanita? Bagaimana kalau masuk rumah dan tidak menemukan apa pun? Panca akan murka karena merasa dirinya selalu dicurigai. Bagaimana kalau menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak suka melihatnya? Apa aku sanggup menerima kenyataan? Kepala Indah semakin berdenyut.

Cinta membuat Indah buta dan bodoh. Menghabiskan hampir tiga jam untuk mondar-mandir di stasiun karena tidak tahu harus melakukan apa. Kembali ke Bandung secepat itu akan membuat papanya banyak bertanya. Sedangkan kembali pulang jelas tidak akan membuat Panca senang. Indah duduk di Coffee shop kecil yang terletak di ujung stasiun. Pinggangnya sudah pegal karena duduk berjam-jam.

“Apa ada yang bisa saya bantu, Kak? Sudah malam. Setengah jam lagi kita last order. Kalau Kakak butuh bantuan bisa hubungi salah satu dari kami.” Seorang gadis pelayan mendatangi Indah.

“Iya, saya tahu. Udah jam delapan ya. Saya minta bill-nya sekarang. Saya udah selesai,” kata Indah seraya berdiri menggeser kopernya.

Mau menemukan apa? Pertanyaan itu sudah puluhan kali diulanginya dalam hati.

Indah sudah menangis saat keluar dari stasiun dan memutuskan untuk kembali pulang ke kontrakan Panca. Ia sudah siap dimaki untuk itu. Menjaga perasaan dan pikiran papanya ternyata lebih penting ketimbang miliknya sendiri.

Namun, air matanya yang mengalir deras karena perasaan disia-siakan ternyata belum terlalu menyedihkan. Tangis Indah terhenti saat taksinya melintas pelan di depan pagar dan melihat seorang wanita baru saja menutup pintu belakan rumahnya.

Wanita rekan berbagi sikat gigi dan body scrub-nya sebentar lagi mungkin akan berbagi suaminya malam itu.

Indah menggenggam kunci ruang depan rumahnya dengan tangan gemetar dan berkeringat.

“Berhenti di sini, Pak. Saya masuk ke rumah itu sebentar. Argonya nyalain aja. Kalau saya keluar kita langsung berangkat ke stasiun.”

-TBC-

Comments (33)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
duuh... indah ......
goodnovel comment avatar
jess
duh lulusan singapore tapi bodoh.
goodnovel comment avatar
Tas Ati
kasihan sekali indah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status