“Mas Panca! Nggak boleh gini! Bayi kita bisa bahaya. Sakit…ini sakit.” Indah terus mendorong tubuh Panca agar menjauh. Kenyataannya tenaga pria itu jauh lebih kuat. Panca berhasil menurunkan pakaian dalamnya dan menekan bagian bawah tubuh mereka. Indah menangis. “Kamu jahat banget, Mas. Nggak boleh kayak gini. Ini sakit ….” Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba-tiba. Panca baru saja merobek harga dirinya sampai ke bentuk serpihan.
Panca menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Meringis dengan napas kasar beraroma alkohol. Mengabaikan rintihan Indah yang berusaha mengatupkan pahanya berkali-kali.
“Aku akan mengobati rasa kangen yang kamu sebut-sebut itu.” Panca terus memacu tubuhnya.
Indah memang merindukan Panca. Dua bulan terakhir bahkan mereka tidak pernah bicara lagi saat di ranjang. Kalau bukan Indah yang tertidur lebih dulu, maka Panca yang ketiduran. Walau sebelumnya mereka memang tidak terlalu akrab, tapi Indah merasa waktu sebelum tidur adalah waktu berkualitasnya bersama Panca.
Indah menyukai Panca untuk waktu yang sangat lama. Sejak ia masih berseragam dan melihat Panca secara sembunyi-sembunyi tiap keluarga mereka saling mengunjungi. Indah bahagia saat suatu hari ibu Panca datang ke rumah untuk memintanya menjadi menantu. Saking senangnya, Indah mengabaikan larangan papanya.
“Papa nggak bisa maksa Indah menikah dengan laki-laki pilihan Papa. Tapi harusnya jangan Panca. Papa kurang suka. Indah nggak perlu selalu setuju dengan Mama.”
Dan bukan hanya tidak harus selalu setuju dengan ibu tirinya, Indah juga harusnya tidak sesenang itu saat Panca menikahinya tanpa mengenal pria itu lebih dulu. Itu bukan pernikahan perjodohan impiannya. Yang saling mengenal di awal pernikahan lalu berlanjut dengan semakin saling mencintai. Perjodohan dengan pria tampan pujaannya ternyata tidak seindah itu.
“Udah, Mas. Jangan gini ….” Indah masih terisak. Panca tidak mendengarnya. Lanjut menuntaskan hasrat yang malam itu menjadi kejahatan bagi istrinya sendiri.
Indah ditinggalkan lewat tengah malam dengan kondisi mengenaskan. Dress dengan potongan harga yang dibelinya dari tabungan setengah robek karena tangan Panca. Sekujur badan yang sakit terutama bagian paha yang dipaksa membuka cukup lama. Dan yang membuat Indah kembali menangis adalah ia mengalami sedikit perdarahan.
“Aku perdarahan, Mas. Antar aku ke dokter.” Indah menelepon Panca yang sudah berangkat kerja pagi-pagi betul.
Jawaban Panca harusnya sudah bisa diperkirakan Indah.
“Aku kerja. Apa susahnya ke rumah sakit pakai taksi dan daftar ke dokter kandungan? Biasanya di Bandung juga gitu. Apa memang harus banget bergantung ke aku?”
“Hari ini jangan pulang larut malam. Aku mau ngomong.”
“Aku masih ada tamu yang harus dijamu. Kamu tahu sendiri posisiku di kantor sebagai apa.” Jawaban dari Panca sama seperti sebelum-sebelumnya.
“Besok pagi aku mau pulang ke Bandung. Sebelum aku pulang sebaiknya kita ngobrol dulu.”
Hati Indah sebenarnya sakit sekali saat mengatakan itu. Sakit karena sebenarnya ia masih mau di Jakarta mendampingi suaminya, dan lebih sakit lagi karena Panca sama sekali tidak mencegahnya kembali ke Bandung.
Panca menyanggupi pulang lebih awal karena ia mengatakan akan kembali ke Bandung. Suka tidak suka suaminya memang tidak begitu suka akan kehadirannya. Lantas kenapa Panca berniat menikahinya?
Dengan hati penuh amarah dan rendah diri, Indah bercermin di kamar mandi. Tangannya menyapu jajaran toiletries yang kemarin menimbulkan banyak pertanyaan baginya.
“Mas Panca … aku bisa membedakan mana orang kantor dan mana wanita yang kamu akui sebagai lady escort klub. Aku juga bisa bedain semua letak benda-benda milikku yang dipakai orang lain di kamar kita.” Indah memandang sikat sikat giginya dan kemasan body scrub yang isinya sudah berkurang banyak meski baru ia pakai sekali. “Kalau wanita yang kamu peluk kemarin memang cinta kamu, dia pasti cemburu karena aku datang. Kamu bakal nemuin dia secepat mungkin.”
Selera makan Indah musnah. Walau begitu ia menyempatkan memasak semua bahan yang tersisa di kulkas. Semangkuk sarden, telur dadar dan rebusan sawi putih. Selama berusaha menjejalkan makanan ke mulut, mata dan batinnya tak henti menangis.
Bagaimana kalau papanya tahu bahwa putri tunggalnya yang dinikahi pria tampan dan terlihat kaya hanya diberi uang saku dua juta rupiah tiap bulan dari gaji puluhan juta perbulan. Panca bilang dua juta itu hanya untuk jajan. Indah akan diberi belanja rutin perminggu kalau mereka sudah benar-benar bersama. Indah membereskan semua barangnya secepat mungkin sebelum Panca muncul di rumah. Lalu sambil menguatkan hati duduk di sofa ruang keluarga tempat ia menantikan Panca.
Dugaan Indah ternyata tak meleset. Malam belum tiba sepenuhnya tapi mobil Panca sudah masuk ke carport. “Semangat banget yang mau ditinggalin istri.” Indah bergumam saat mendengar pintu samping yang berbatasan dengan dapur dan carport dibuka. Panca memang biasa keluar masuk dari situ.
“Pulang besok jam berapa? Pagi atau siang?” Langkahnya baru sampai di pintu tengah, tapi Panca sudah bertanya soal kepergian istrinya esok hari.
Hati Indah sebenarnya geram. Hampir saja ia mengatakan batal pulang ke Bandung karena antusiasme tak wajar suaminya itu. Namun akhirnya ia mencoba menjawab dengan nada biasa. “Besok naik kereta paling pagi aja,” sahutnya
“Bisa aku antar ke stasiun sekalian berangkat ke kantor. Tapi harus lebih pagi. Kamu duduk aja nunggu di stasiun.” Panca bicara sambil berdiri di dekat sofa.
Indah mengerling Panca. Dari segi visual Indah memaklumi dirinya sendiri kenapa dulu begitu tergila-gila pada Panca. Memang ganteng dengan tubuh tinggi atletis. Walau Panca bukan pria yang berasal dari keluarga kaya raya, setidaknya Panca masih bisa berbangga diri dengan pekerjaan bergaji lumayan yang dimilikinya. Tapi soal perhitungannya Panca dalam soal uang, Indah tak bisa menutup mata.
“Ngobrolnya sambil duduk di sini, Mas.” Indah menepuk bagian kosong sofa di sebelahnya. Lagi-lagi ia menebak kalau Panca akan menurutinya. Malam itu Panca pasti menghindari cekcok. Dan benar saja, walau rautnya sempat menegang sebentar, Panca mendekat dan duduk di sebelahnya. “Makasih karena mau duduk di sebelahku ya, Mas.”
Panca terlihat kesal karena ucapan Indah barusan. “Udah? Mau ngomong itu aja?” Panca bergeser sedikit menjauh untuk menatap Indah di sebelahnya.
“Mas nggak ada niat minta maaf ke aku karena kejadian semalam? Apa itu cara Mas memperlakukan seorang istri?” Tangan Indah menaut erat di pangkuannya.
“Yang kutahu … istri adalah wanita yang selalu mengikuti apa kata suaminya. Aku udah bilang jangan datang ke sini. Tapi kamu malah datang ke klub hanya buat ngebuktiin aku salah. Kayaknya kamu memang lagi nyari-nyari kesalahan aku ya, In?” Panca semakin menggeser letak duduknya.
“Kenapa harus nyari-nyari kesalahan kalau aku perlu kebenaran supaya bisa hidup tenang?” Tadinya mau berusaha kuat, tapi mengatakan itu sudah membuat suara Indah bergetar. Panca langsung melengos.
“Udahlah … dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Capek tahu!” Panca berdiri dan meninggalkan Indah.
Indah tersenyum getir. Tak apalah, pikirnya. Besok ia sudah kembali ke Bandung. Mungkin selama masa awal kehamilan membuat dirinya sangat sensitif terhadap hal-hal kecil. Ada baiknya ia menjaga kewarasan dan kesehatan bayinya dengan menghindari keributan dengan Panca. Kelahiran bayi pasti akan menjadi lem perekat buat hubungan mereka.
Awalnya Indah hanya berbaring mengecek ponsel sambil menunggu masuk ke kamar. Mungkin sedikit mengobrol sebelum tidur bisa membuat situasi mereka lebih baik, pikirnya. Tapi sampai ia jatuh tertidur, Panca tak kunjung masuk ke kamar.
Tidur Indah tidak terlalu nyenyak. Ia terbangun beberapa kali karena Panca berkasak-kusuk di sebelahnya. Walau Panca memunggungi, ia melihat pria itu masih menatap layar ponsel yang masih menyala.
Kegelisahan Panca itu membuat Indah terbangun lebih pagi untuk mengambil kunci pintu depan yang hampir tidak pernah mereka gunakan. Panca selalu keluar-masuk melalui pintu belakang yang berbatasan dengan carport. Tangan Indah berkeringat saat menggenggam kunci ruang tamu dan mengantonginya.
Pagi itu Indah menjadi lebih banyak diam. Namun, sikap diam Indah ternyata tidak dirasakan Panca. Pria itu bersenandung di mobil saat dalam perjalanan ke stasiun.
“Makasih sarapannya,” kata Panca beberapa menit sebelum tiba di stasiun.
“Sama-sama,” jawab Indah datar.
“Kalau udah sampai kabari, ya. Kamu makan yang banyak dan kabari aku kalau sampai di rumah.” Panca memegang kedua bahu Indah dan mengecup dahinya.
Indah berdiri di depan stasiun saat Panca pergi. Perasaannya kembali kalut dan dua sisi dirinya berdebat. Memangnya untuk apa mengambil kunci rumah? Mau memergoki Panca dengan wanita? Bagaimana kalau masuk rumah dan tidak menemukan apa pun? Panca akan murka karena merasa dirinya selalu dicurigai. Bagaimana kalau menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak suka melihatnya? Apa aku sanggup menerima kenyataan? Kepala Indah semakin berdenyut.
Cinta membuat Indah buta dan bodoh. Menghabiskan hampir tiga jam untuk mondar-mandir di stasiun karena tidak tahu harus melakukan apa. Kembali ke Bandung secepat itu akan membuat papanya banyak bertanya. Sedangkan kembali pulang jelas tidak akan membuat Panca senang. Indah duduk di Coffee shop kecil yang terletak di ujung stasiun. Pinggangnya sudah pegal karena duduk berjam-jam.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Kak? Sudah malam. Setengah jam lagi kita last order. Kalau Kakak butuh bantuan bisa hubungi salah satu dari kami.” Seorang gadis pelayan mendatangi Indah.
“Iya, saya tahu. Udah jam delapan ya. Saya minta bill-nya sekarang. Saya udah selesai,” kata Indah seraya berdiri menggeser kopernya.
Mau menemukan apa? Pertanyaan itu sudah puluhan kali diulanginya dalam hati.
Indah sudah menangis saat keluar dari stasiun dan memutuskan untuk kembali pulang ke kontrakan Panca. Ia sudah siap dimaki untuk itu. Menjaga perasaan dan pikiran papanya ternyata lebih penting ketimbang miliknya sendiri.
Namun, air matanya yang mengalir deras karena perasaan disia-siakan ternyata belum terlalu menyedihkan. Tangis Indah terhenti saat taksinya melintas pelan di depan pagar dan melihat seorang wanita baru saja menutup pintu belakan rumahnya.
Wanita rekan berbagi sikat gigi dan body scrub-nya sebentar lagi mungkin akan berbagi suaminya malam itu.
Indah menggenggam kunci ruang depan rumahnya dengan tangan gemetar dan berkeringat.
“Berhenti di sini, Pak. Saya masuk ke rumah itu sebentar. Argonya nyalain aja. Kalau saya keluar kita langsung berangkat ke stasiun.”
-TBC-
Tentu saja Indah takut saat tangannya pelan-pelan membuka pengait pagar. Bukan hanya takut akan kemurkaan Panca jika tertangkap basah melakukan kesalahan. Indah takut bahwa hubungannya dengan Panca akan semakin sulit membaik.Indah menelan ludah. Belum apa-apa tangannya sudah basah oleh keringat. Halaman kecil yang gelap membuat Indah lumayan terlindung karena kegelapan. Tak terlampau khawatir dilihat tetangga. Atau jangan-jangan selama ini para tetangga mengenali nyonya rumah yang lain? Dada Indah bergemuruh karena luka hati yang sedang ia dekati.Nyaris tanpa suara Indah memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya dengan napas tertahan. Dari luar tadi ia memang sudah menebak kalau lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Saking buru-burunya mau bermesraan sampai semua lampu pun tak sempat dinyalakan, pikirnya.Rumah kontrakan itu tidak luas. Walau letaknya berada di dalam komplek cluster cukup bagus, rumah yang disewa Panca kamarnya hanya dua. Mereka menjadikan kamar paling depan tempat mel
Kalau soal kesendirian, Indah sudah sangat berpengalaman. Umurnya baru 13 tahun saat ditinggal mati ibu kandung. Sama sekali belum mengerti bisa sejahat apa realita kehidupan padanya.“Ibu kamu adalah malaikat. Jangan terlalu lama menangis meski kamu sangat cantik sewaktu menangis.”Itu adalah dua baris kalimat yang mengisi ingatan Indah di hari kehilangan ibunya. Selebihnya, kenangan akan sosok wanita yang melahirkannya itu tersimpan dalam potongan-potongan pendek tentang ruang tunggu dan ranjang rumah sakit.Selama setahun Indah banyak menghabiskan waktunya sendirian. Menjalani masa awal remaja dengan banyak bertanya pada guru, teman dan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tirinya. Indah memanggilnya Mama Lina.Mama Lina menjadi sosok kedua yang sangat Indah percaya selain papanya. Wanita yang menikah dalam keadaan gadis dan tidak bisa memiliki anak karena suatu hal. Jadilah sosok Mama Lina menjadi teman Indah. Sosok yang karenanya membuat Indah mengenal Panca.Desingan ingatan
“Apa, Mas?” Indah mengira sering tidur dan bangun dalam jangka waktu pendek-pendek membuat indera pendengarannya menjadi kurang tajam. Walau muak melihat Mayang kembali masuk ke rumahnya, Indah memilih mengabaikan wanita itu dan penasaran apa Panca memang benar-benar mengabaikan haknya sebagai istri.“Aku bawa Mayang ke sini. Kami berdua tidur di kamar sebelah. Setidaknya untuk malam ini.” Panca yang basah kuyup terlihat menggigil dalam remang ruang keluarga. Indah memang sudah mematikan seluruh lampu kecuali lampu kamar dan dapur.“Kalian belum menikah, Mas.”“Aku udah menikahi Mayang secara siri. Tiga minggu yang lalu. Maaf kurasa untuk itu aku nggak perlu izin kamu.” Panca masih menggenggam tangan Mayang yang membisu di sebelahnya.“Tiga minggu yang lalu itu adalah waktu aku melahirkan Alif. Kurasa perempuan ini mengamuk karena kelahiran Alif dia anggap menjadi pengganggu. Dia lalu menangis meratapi nasibnya sampai kamu kasihan dan langsung menikahinya secara siri, kan?” Indah ber-
Panca bingung harus apa lebih dulu. Suara Indah membuat ia mendorong Mayang menjauh dan meraih bantal sofa untuk menutup bagian tubuh yang hasratnya hampir terpenuhi sore itu.“Kamu gila, ya? Nggak bisa ketuk pintu apa?” Kata-kata Panca cukup kasar, tapi tidak dengan sorot matanya yang berpindah dari Alif yang begitu mungil dalam gendongan dan wajah Indah yang sangat tenang.“Kenapa aku harus ketuk pintu kalau seluruh isi rumah ini merupakan hak untuk mataku. Kenapa?” Indah balik bertanya.“Dia makin pintar ngomong sekarang.” Mayang ikut menimpali sambil memasukkan kepala ke dress satin yang ia gunakan untuk tidur kemarin. Dress satin putih dengan tali tipis di bahu. Saking tipisnya bahan dress itu, puting Mayang tergambar jelas. Kulitnya yang eksotis membuat lingkaran puncak itu lebih gelap.Indah membuka mata untuk melihat penampilan Mayang lebih jelas. Begitulah selera Panca, pikirnya. Wanita tinggi langsing bak model. Yang di rumah jarang mengenakan pakaian dalam.“Ada satu resep
“In … Papa tanya, Panca mana?” Pak Hadi memang bisa berjalan normal dan menggandeng Indah ke sofa. Tapi wajah pucatnya tidak tersamarkan. Kondisinya memang belum sehat.“Papa … sebelum nanya Mas Panca, Papa harus lihat Alif dulu.” Indah membuka kain gendong. Bukannya lebih baik melihat bayi gantengnya dulu dibanding menceritakan Panca? Indah merentangkan kain gendong dan mengeluarkan Alif yang mungil dan ganteng.Memang betul perhatian Pak Hadi langsung teralihkan. Sepasang tangannya terulur mengambil Alif dari dekapan Indah. “Namanya Alif Harjasa. Alif berarti awal, pembuka, dan paling penting. Harjasa berarti indah. Sama dengan nama mamanya. Indah pintar ngasih nama.” Perasaannya sebagai seorang ayah tak bisa dibohongi. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Pak Hadi menimang Alif yang diusia hampir sebulan terlihat sangat mungil. “Usia Alif baru sebulan, Indah tinggal di sini aja. Nggak usah bolak-balik ke Jakarta. Di rumah ada Papa, ada Mama juga. Indah bisa mengerjakan yan
Sebelum tiba di ruangan President Director. Ide melamar pekerjaan dengan sangat terburu-buru itu membuat Indah tidak sempat mencari pakaian baru dengan model terkini dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang terbilang masih berisi usai melahirkan. Malam hari sebelum berangkat interview Indah memutuskan akan memakai rok berpotongan A berwarna cokelat yang panjangnya di bawah lutut dan blus satin berwarna krem yang bagian depannya bisa dijalin membentuk pita yang menyamarkan bentuk dadanya. Sandal bertalinya juga masih ada yang bagus. Indah merasa cukup percaya diri mengadu nasib pagi itu. Dan setelah pontang-panting bangun dari pukul empat pagi, Indah berhasil berdandan rapi dan manis untuk kemudian menggendong dan menciumi Alif sebentar sebelum pergi. “Alif…Alif …. Doakan Mama keterima kerja, ya. Pagi ini di rumah sama Bu Anum. Jangan rewel kalau Bu Anum gantiin kantong gantengnya.” Indah mengusap kantong kolostomi Alif yang tertutup selimutnya. “Bu, titip Alif, ya. Doakan saya keterim
Yeni langsung terdiam memandang punggung Arsya yang menghilang di balik pintu.“Saya permisi ke dalam dulu, Mbak.” Indah mengangguk pada Yeni dan menyusul sang Presdir. Sebelum mendekati meja kerja Arsya, Indah mengetuk pintu dua kali agar pria itu menoleh ke arahnya.“Oh, ya. Kamu ke sini,” pinta Arsya. “Biasanya saya tidak bertanya alasan apa pun yang diberikan bawahan saya untuk sebuah keterlambatan. Macet?” tanya Arsya. Wajahnya masih sama datar seperti kemarin.Indah mengangguk. "Iya, Pak."“Jakarta sudah macet selama puluhan tahun. Kamu nggak bisa pakai alasan itu sekarang. Setiap pagi saya bangun pukul empat untuk tiba di kantor tepat waktu. Bagaimana? Ada alasan lain?” Arsya melipat tangan di depan dada. Mencoba memandang sepasang mata Indah yang sejak tadi menghindari tatapannya.“Bayi saya masuk UGD, Pak,” ucap Indah pelan. “Bayi laki-laki saya, anak pertama saya yang baru berusia satu bulan lebih pagi tadi badannya membiru. Dokter bilang kadar oksigen dalam darahnya menurun
Entah kenapa saat pertama kali Bu Anum menunjukkan rumah dengan dua kamar yang terletak di belakang rumah sakit itu Indah langsung jatuh hati. Bisa dibilang rumah itu adalah paviliun dari rumah utama yang berbatasan langsung dengan jalan. Tapi karena disewakan, pihak penyewa diberi hak melalui jalan tersendiri yang letaknya di sebelah bangunan utama. Walau letaknya di belakang, tapi Indah suka karena bangunan belakang itu tetap memiliki halaman. Setiap pagi Alif didorong keluar dalam stroller dan berjemur. Meski rumah itu ‘hanya’ menyewa, Indah rasa harganya pun tergolong murah. Cukup murah karena dengan uang segitu ia seakan membeli ketenangan yang sudah lama tidak ia miliki. Indah berharap bisa hidup dengan tenang selama membawa Alif rutin ke rumah sakit. Bisa dibilang kalau permasalahannya sedikit terpecahkan. Mulai ada titik terang untuk Alif, meski ia harus mengabaikan banyak kesakitan dalam dirinya. Di samping itu, Indah juga harus banyak belajar untuk pekerjaan baru dan perta