Seharian ini seluruh perhatian Indah hanya tertuju untuk bersama Alif. Semakin dekat waktu pemakaman Alif, rasanya waktu yang dimilikinya semakin sempit. Ia tidak mau meninggalkan Alif barang sedetik pun. Ia mengusap pipi, mencium, memeluk dan berbisik banyak hal di telinga bayinya itu. Hilang sudah satu-satunya orang yang paling ia percaya sebagai tempat bercerita. Seiring dengan kulit Alif yang semakin dingin dalam sentuhannya. Tak ada yang tersisa selain pertanyaan soal kapan ia akan dipertemukan lagi dengan bayinya itu? Akankah di kehidupan setelah kematian ia dan Alif bisa berbincang? Akankah ia bisa melihat Alif tumbuh besar dan berbicara. Waktu terasa terhenti seiring dengan airmatanya yang terus mengalir tak terbendung. Kehadiran Panca pun menjadi perusak suasana berkabungnya. Ia ingin Panca dan Mayang lenyap dari tempat itu. Atau adakah seseorang yang bisa membawa pergi dua makhluk itu dari hadapannya? Kemudian Indah mendengar suara Arsya memotong perkataan Panca dan menol
Ucapan Indah memang terdengar sederhana, tapi nyatanya mampu membuat jantung Arsya berdenyut menyakitkan. Rasa tidak nyaman merambati sekujur tubuhnya. Dahinya mengernyit dan sorot matanya terlihat sedih. Kenapa Indah bisa dengan mudah bicara seperti itu? Apakah kehilangan Alif tidak membuat Indah butuh tempat bersandar? Apa Indah tidak butuh pelukannya?Arsya menelan ludah. “Sebelum kita bicara panjang lebar, Abang mau peluk Indah.”Indah menggeleng. “Nggak perlu. Alif udah pergi dan kurasa aku nggak perlu pelukan. Makasih karena ikut mengantar Alif ke sini.”“Bukan Indah yang perlu pelukan, tapi Abang,” ujar Arsya, semakin mendekati Indah yang beringsut ke pintu kamar.Wajah Indah masih sama datarnya. “Abang bersih-bersih dan istirahat di kamar itu. Atau kalau Abang nggak mau istirahat, setelah bersih-bersih Abang bisa langsung pulang ke Jakarta. Aku rasa nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya selesai….” Arsya mengabaikan ucapan Indah. Kakinya tetap melangkah dan sepasa
Hanya dengan mengulang perkataan Arsya sudah membuat darah Indah berdesir. Apakah itu hanya sekedar ungkapan? Atau itu makna yang sebenarnya? Nyawa baru?“Kita makan sekarang,” kata Arsya lagi, menggamit lengan Indah dan merangkul bahunya.“Bapak tadi ngomong sesuatu yang…maksudnya apa?” Indah merasa telinganya tidak salah dengar. Tapi mengulangi perkataan Arsya membuat hatinya ngilu. Nyawa baru? Apakah artinya ia hamil? Ia bahkan lupa sudah pernah bercinta dengan Arsya. Ia lupa pernah menyanggupi memulai rumah tangga yang sebenarnya bersama pria itu. Kenapa hari-hari bersama Arsya terasa sudah lama sekali berlalu?“Kita makan malam sekarang,” tegas Arsya. Kali ini tidak menunggu jawaban dari Indah. Setidaknya untuk malam itu Indah harus makan. Keinginannya hanya sesederhana itu dalam situasi yang sebenarnya sangat tidak menentu. Hamparan wadah lauk berwarna-warni yang tadi terlihat lucu sekarang terasa biasa saja. Arsya merasa dirinya sedang menanti sebuah rapat yang akan membahas k
“Indah! Apa maksud kamu?” Arsya memotong langkah Indah dan berdiri di depan pintu kamar untuk memblokir langkah.“Kehamilan ini nggak seharusnya. Ini nggak boleh! Nggak boleh!” pekik Indah. “Aku harus ke dokter sekarang. Minggir,” pinta Indah, menatap sepasang mata Arsya yang menyorot dingin padanya.“Tidak ada yang boleh pergi malam ini.” Arsya menahan lengan Indah.“Kalau gitu lepasin tangan saya dan biarkan saya beristirahat. Saya udah makan malam seperti anjuran Bapak.”Arsya mengembuskan napas panjang. Rautnya hampir frustasi. “In … sikap saya yang mana yang membuat kamu ragu? Apa sikap saya yang terlihat selama ini tidak mencerminkan keseriusan saya? Saya tulis sayang kamu dan Alif. Menjebloskan Panca ke penjara tidak ada hubungannya dengan kamu. Dia bersalah dan dia memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meski terlepas dari itu saya memang membenci Panca atas sikapnya pada kamu dan Alif. Tidak ada yang mempengaruhi sikap saya ke kamu. Saya memang sayang kamu, cin
“Bu Anum pasti masih capek. Kenapa nggak tiduran di hotel aja? Apa hotelnya kurang nyaman? Saya nggak bisa pesan kamar mahal karena harus berhemat. Untuk ke depannya … kalau Bu Anum masih mau kerja sama saya, sepertinya gaji Bu Anum kembali ke jumlah yang awalnya kita sepakati. Selama ini saya nggak tahu berapa Pak Arsya membayar Bu Anum perbulan. Kalau buat menyamakan jumlahnya … saya nggak bisa.” Indah meringis memandang Bu Anum yang sedang membereskan bawaan mereka.Untuk saat itu Bu Anum merasa dirinya harus menjadi pendengar yang baik buat Indah. Dibayar atau tidak dibayar, Bu Anum sendiri sebenarnya tidak masalah untuk saat itu. Selama ini Arsya sudah memberinya cukup banyak uang di luar gaji bulanan yang ia terima. Anaknya sudah dewasa dan hidup cukup dengan keluarganya. Ia tidak memiliki seseorang yang terdesak membutuhkan bantuannya selain Indah. Ya. Ia merasa bahwa Indah membutuhkan teman bicara.Menyaksikan Indah merawat Alif dan melewati waktu sulit selama ini membuat kedek
Yeni mengerjap. “Ya, Pak?” Merasa telinganya salah mendengar. Sandiwara gila apa lagi ini? Apa tidak cukup Arsya dan Indah membodohinya selama ini? Apa Arsya memang tidak pernah menganggapnya ada hingga pria itu selalu membutuhkan sekretaris tambahan? “Kamu pasti dengar ucapan saya cukup jelas. Saya tunggu Indah di ruangan,” kata Arsya, meninggalkan Indah lebih dulu untuk kembali masuk ke ruangannya. “Tunggu, Pak. Maksudnya serius?” Yeni kembali menyuarakan isi pikiran tanpa memandang tempat. Lagipula itu benar-benar gila. Arsya dan Indah pasti berkenalan di kantor itu. Dan sekarang Arsya mau sekretaris baru? Apa hubungannya dengan Indah kandas begitu saja? Secepat itu? Arsya terhitung masih pengantin baru dan saat itu keluarga kecilnya baru tertimpa musibah. Kenapa Indah mengundurkan diri? Apa keluarga itu sedang tertimpa masalah selain berdukacita? “Asisten sekretaris kompeten dan cantik?” Yeni sedikit tersinggung. Merasa kalau apa yang disebutkan Arsya barusan sudah ada pada di
Indah melangkah gontai saat meninggalkan lantai di mana ia menghabiskan masa-masa awalnya sebagai karyawan untuk pertama kali. Bohong kalau ia tidak sedih. Ia menyukai pekerjaannya. Tidak ada yang membuatnya tidak betah di sana sekali pun rekan kerja beda lantai yang memang kadang bertingkah menyebalkan.“Saya pamit, Mbak. Maafin kalau saya pernah salah dan belum bisa benar jadi bawahannya Mbak Yeni.” Indah memijat bahu Yeni dengan gesture yang sangat akrab.“Kamu nggak pernah dendam atau benci ke aku, kan, In?” Yeni sudah memastikan pintu ruangan Sarah tertutup rapat sebelum ia mendekati Indah.Indah mengulas senyuman. “Aku nggak pernah punya pikiran kayak gitu, Mbak.” Indah mengeluarkan agenda yang cukup tebal dari laci. Ia menyodorkan agenda itu pada Yeni. “Semua detil pekerjaan yang pernah aku lakukan tertulis di sini, Mbak. Kalau Mbak Yeni mau tahu sesuatu tinggal dicari aja sesuai abjad yang aku masukkan. F untuk fashion Bapak. Isinya butik langganan dan beberapa gambar model ya
“Sudah ada denyut jantungnya,” ucap Indah sangat pelan. Dalam hatinya berharap kalau janin mungil dalam kandungannya itu tidak mendengar apa yang baru saja ia ucapkan soal aborsi. “Denyut jantungnya cepat banget.” Sepasang mata Indah menatap monitor yang tergantung menghadap ke arahnya.“Denyut jantung janin memang sangat cepat. Persis seperti ungkapan yang sewaktu masa kuliah dulu saya dengar. Tuhan meletakkan denyut jantung yang paling cepat pada makhluk kecil yang baru dibentuk. Lalu kemudian perlahan-lahan denyut jantung itu melambat di usia yang semakin tua, sampai akhirnya berhenti.” Dokter Irna meletakkan alat USG kembali ke tempatnya.“Jadi … apa semuanya sehat, Dok?” Indah bertanya dengan nada ragu. Kembali teringat kalau kondisi Alif sewaktu janin juga sama sehatnya seperti tadi.“Semuanya sehat dan terlihat normal,” tegas Dokter Irna.“Awal kehamilan Alif juga dulu begitu, kan, Dok? Tapi pada akhirnya Alif….”“Untuk saat ini mari kita berpikir positif. Dua bulan lagi kita a
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”