“Terima kasih untuk pengertiannya, Pak Roni. Nanti lain waktu saya akan undang Pak Roni untuk makan malam.” Arsya berbicara melalui sambungan telepon yang terletak di mejanya. Ia lalu tertawa kecil mendengar jawaban dari seberang telepon. “Soal lowongan pekerjaan Anda bisa bertanya pada sekretaris saya. Baik, sekali lagi terima kasih.” Arsya kemudian meletakkan telepon.“Maaf, Pak. Bapak sampai harus bicara langsung dengan HRD Manager. Harusnya pimpinan perusahaan itu saja sudah cukup.” Sarah masih duduk di seberang Arsya dengan setumpuk map di pangkuannya.Arsya mengangkat bahu. “Saya juga tidak boleh lupa kalau ini adalah urusan pribadi. Besar atau kecil perusahaan yang dituju Indah, saya tetap harus menghargai aturan perusahaan itu. Tapi kalau soal HRD Manager yang bertanya lowongan pekerjaan, kamu yang harus menanganinya.” Arsya tertawa kecil.“Bapak belum berbaikan dengan Indah?” Sarah bertanya dengan sangat tenang. Ia tahu kalau Arsya tidak akan menganggapnya terlalu mau tahu. K
Arsya mengetukkan telunjuknya ke meja beberapa kali. Lalu …. “Sebaiknya kita pesan minuman dulu, kan?” Ia meletakkan kertas dan meraih menu yang membuat isi meja kecil itu berdesakan.Dean menjentikkan jarinya. “Ide bagus. Kita harus minum untuk menyalurkan oksigen ke otak. Pasokan oksigen yang lancar ke otak akan menghasilkan ide-ide cemerlang. Meski tanpa minum aku bisa memberi kamu lebih dari lima saran terbaik.” Dean terkekeh. “Silakan pilih menunya. Aku udah hafal.” Lalu melambai pada seorang pelayan yang sedang memandang ke meja mereka.“Aku pesan mocktail aja, Mas. Apple Glitz,” kata Arsya, meletakkan menu di meja. Arsya kembali meraih kertas yang dibawa Dean dan membacanya seraya menunggu pelayan mencatat pesanan mereka. Kepalanya yang tertunduk kemudian kembali tegak saat pelayan pergi. “Mas Dean sampai hafal menu dan kenal pelayannya.”“Aku suka tempat ini dan sering banget ke sini bareng teman-temanku. Tempat ini tidak terlalu sepi. Sebenarnya cocok untuk membicarakan hal-ha
Mungkin Arsya sudah membetulkan letak dasinya belasan kali sebelum benar-benar tiba di depan pintu rumah kecil yang ditempati Indah. Ia suka rumah itu. Rumah mungil dua lantai yang terletak dalam cluster dengan jumlah unit terbatas. Tak sampai dua puluh rumah berada dalam cluster itu. Lingkungannya sepi dan menenangkan. Ia mendapat informasi soal rumah itu dari Galih. Dan karena si pemilik tidak mau disewa, ia akhirnya membeli rumah itu dengan harga cukup tinggi. Tidak apa-apalah, pikirnya. Nantinya rumah itu bisa mereka jadikan sebagai kenang-kenangan.Arsya kembali mengetuk pintu. Tidak mungkin Indah tidak dengar. Sebelum memanggil Indah tadi ia sudah menelepon Bu Anum dan wanita itu mengatakan kalau Indah tengah berada di dapur kecil yang berdampingan dengan ruang tamu kecil. Indah sedang memanaskan sepanci kecil sup ayam sebelum bergumam soal keinginannya makan martabak.“Sebenarnya gorengan itu nggak baik buat kita. Lebih tepatnya makanan yang banyak mengandung minyak. Tapi entah
Percakapannya bersama Arsya kemarin malam masih terngiang di telinga. Cukup membuat ia ragu saat mematut dirinya di depan cermin berulang kali.“Sepertinya dia memang benar-benar nggak suka perusahaan itu. Apa perusahaan sejenis memang harus bersaing sejelas itu? Atau memang mereka ada masalah pribadi? Perasaan selama kerja aku nggak pernah dengar hal aneh. Di kantor juga nggak pernah ada cerita macam-macam.” Indah memulas lipstik berwarna merah tipis-tipis ke bibirnya. Setelah lipstik merata, ia melihat sosok yang terpantul di cermin menjadi lebih segar. Ia tersenyum sedetik lalu meraih ponselnya untuk mencari informasi yang mengganjal pikirannya tadi.“Harusnya aku merasa beruntung karena tidak harus melalui alur penerimaan pegawai yang panjang. Kalau dipikir-pikir … aku juga diterima di SB Industrial terlalu mudah. Perusahaan sebesar itu tapi mau menerima aku yang tanpa pengalaman.” Indah berbicara sendiri sambil mengetikkan kata kunci soal Arsya dan Eric Widjaja di ponselnya. “Tid
Tanpa terasa, Indah mencengkeram ponselnya keras-keras. Satu tangannya kemudian menangkup mulut. Benar-benar takut kalau suara sepelan apa pun bisa keluar dari mulutnya karena situasi mencekam itu. Aplikasi pesan di ponselnya sedang terbuka dan matanya menangkap nama Arsya berada di urutan teratas. Ia membuka pesan Arsya dengan napas tertahan.‘Indah sudah selesai interview? Saya tunggu di luar; ya. Kita makan siang sama-sama. Kamu harus mau.’Sementara di luar Sita terkekeh-kekeh. “Iya, sih. Wanita itu juga cantik. Mungkin Pak Eric juga bakal ngajak nginap kalau dia mau. Info sementara yang diterima, SB Industrial belum dapat investor. Pak Eric bisa lanjut rencananya buat ngebalap rencana mereka bikin smelter. Kita dukung pemerintah buat pengolahan nikel di sini, tapi kita juga bisa tetap ekspor mentahnya seperti biasa. Nama perusahaan kita tetap harum karena mendukung program pemerintah, ekspor mentahnya tetap jalan diam-diam dan kita nggak perlu bayar royalti juga bea ekspor ke nega
Indah sontak membulatkan mata. “Enggak ada, kok. Nggak ada yang khusus dalam interview tadi. Semuanya biasa aja.”“Kamu keterima?” Arsya mencondongkan tubuh ke depan. Hidungnya dan Indah hanya beberapa senti saja. Nyaris bersentuhan. Ia bahkan bisa tahu kalau Indah sedang menahan napas.Indah menelan ludah. “Saya diterima masa percobaan. Kalau dilanjutkan mungkin akan jadi pegawai tetap,” jelasnya. “Umm … ini…mau apa? Saya nggak bisa….”Kemudian terdengar suara pengunci seat belt dibuka. Arsya mengangkat satu alisnya. “Saya cuma bantu kamu buka ini,” kata Arsya, tersenyum jahil. “Ayo turun. Saya bakal pesan banyak makanan dan kamu harus makan.”Mereka masih suami istri. Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan acara makan siang berdua itu. Tidak ada yang salah. Termasuk saat Arsya menyentuh pinggangnya saat menahan pintu untuknya. Tapi kenapa ada yang mengganjal di hatinya? “Pak Arsya sudah sampai? Bu Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal aturan makanan dan letak meja. Mari ikut s
Indah juga tidak tahu kenapa siang itu obrolannya bersama Arsya mengalir terlepas begitu saja. Simpulan hatinya terlepas dan lurus bersama air mata. “Jadi bagaimana? Mau skrining, kan?” Arsya berusaha agar nada suaranya tidak terkesan memaksa. Ia lalu teringat bahwa mereka belum memesan makan siang. Terus mendesak Indah soal skrining kesehatan calon bayi mereka sepertinya tidak cukup tepat saat itu. Arsya menekan tombol di meja dan tak sampai lima menit manager restoran kembali menghampiri mereka. “Saya mau menu yang biasa selalu saya pesan bersama Bu Della.” Arsya sengaja menekankan kata Bu Della sambil memandang Indah. Tapi yang dipandang berpura-pura menunduk memandang tas kecil di pangkuannya. “Baik, Pak Arsya. Sebelum menu utamanya datang saya sajikan dulu menu compliment dari restoran. Nyonya pasti suka. Silakan dinikmati.” Manager restoran meletakkan sekeranjang bruschetta, semangkuk kecil pizza mini dengan beberapa toping dan juga dua botol kaca air mineral. “Terima kasih,”
Indah terkejut tapi tidak marah. Untung juga pada saat itu Arsya tidak melihat rambut-rambut di lengannya yang dengan cepat mengkhianati. Semuanya bergidik. Aliran darahnya berdesir dan ia tidak tahu harus membuang pandangannya ke mana.Sore itu Arsya sepertinya sengaja berputar-putar agar semakin lama tiba mengantarkan Indah ke rumah yang baru. Walau masih tidak terlalu banyak bicara, Arsya terlihat ceria dari yang terakhir kali terlihat.“Makasih makan siangnya,” kata Indah, berpura-pura menunduk membetulkan pakaian.“Kapan mulai masuk kerja di Pelita Sentosa? Yakin masih mau kerja di sana?” Arsya bersandar ke pintu mobil.Indah mengangguk. “Setidaknya saya harus mencoba. Karena masa depan tidak ada yang tahu, kan?” Rasa penasarannya belum terbayarkan. Ia merasa memang harus menjalankan rencana yang sudah ia susun karena ia belum memutuskan sesuatu. “Tadi Bapak bilang tidak apa-apa, kan?” “Iya. Tidak apa-apa, kok. Kamu juga punya kegiatan. Tapi pesan saya … jangan terlalu banyak te
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”