Ada dua bab malam ini.
Indah sontak membulatkan mata. “Enggak ada, kok. Nggak ada yang khusus dalam interview tadi. Semuanya biasa aja.”“Kamu keterima?” Arsya mencondongkan tubuh ke depan. Hidungnya dan Indah hanya beberapa senti saja. Nyaris bersentuhan. Ia bahkan bisa tahu kalau Indah sedang menahan napas.Indah menelan ludah. “Saya diterima masa percobaan. Kalau dilanjutkan mungkin akan jadi pegawai tetap,” jelasnya. “Umm … ini…mau apa? Saya nggak bisa….”Kemudian terdengar suara pengunci seat belt dibuka. Arsya mengangkat satu alisnya. “Saya cuma bantu kamu buka ini,” kata Arsya, tersenyum jahil. “Ayo turun. Saya bakal pesan banyak makanan dan kamu harus makan.”Mereka masih suami istri. Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan acara makan siang berdua itu. Tidak ada yang salah. Termasuk saat Arsya menyentuh pinggangnya saat menahan pintu untuknya. Tapi kenapa ada yang mengganjal di hatinya? “Pak Arsya sudah sampai? Bu Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal aturan makanan dan letak meja. Mari ikut s
Indah juga tidak tahu kenapa siang itu obrolannya bersama Arsya mengalir terlepas begitu saja. Simpulan hatinya terlepas dan lurus bersama air mata. “Jadi bagaimana? Mau skrining, kan?” Arsya berusaha agar nada suaranya tidak terkesan memaksa. Ia lalu teringat bahwa mereka belum memesan makan siang. Terus mendesak Indah soal skrining kesehatan calon bayi mereka sepertinya tidak cukup tepat saat itu. Arsya menekan tombol di meja dan tak sampai lima menit manager restoran kembali menghampiri mereka. “Saya mau menu yang biasa selalu saya pesan bersama Bu Della.” Arsya sengaja menekankan kata Bu Della sambil memandang Indah. Tapi yang dipandang berpura-pura menunduk memandang tas kecil di pangkuannya. “Baik, Pak Arsya. Sebelum menu utamanya datang saya sajikan dulu menu compliment dari restoran. Nyonya pasti suka. Silakan dinikmati.” Manager restoran meletakkan sekeranjang bruschetta, semangkuk kecil pizza mini dengan beberapa toping dan juga dua botol kaca air mineral. “Terima kasih,”
Indah terkejut tapi tidak marah. Untung juga pada saat itu Arsya tidak melihat rambut-rambut di lengannya yang dengan cepat mengkhianati. Semuanya bergidik. Aliran darahnya berdesir dan ia tidak tahu harus membuang pandangannya ke mana.Sore itu Arsya sepertinya sengaja berputar-putar agar semakin lama tiba mengantarkan Indah ke rumah yang baru. Walau masih tidak terlalu banyak bicara, Arsya terlihat ceria dari yang terakhir kali terlihat.“Makasih makan siangnya,” kata Indah, berpura-pura menunduk membetulkan pakaian.“Kapan mulai masuk kerja di Pelita Sentosa? Yakin masih mau kerja di sana?” Arsya bersandar ke pintu mobil.Indah mengangguk. “Setidaknya saya harus mencoba. Karena masa depan tidak ada yang tahu, kan?” Rasa penasarannya belum terbayarkan. Ia merasa memang harus menjalankan rencana yang sudah ia susun karena ia belum memutuskan sesuatu. “Tadi Bapak bilang tidak apa-apa, kan?” “Iya. Tidak apa-apa, kok. Kamu juga punya kegiatan. Tapi pesan saya … jangan terlalu banyak te
Setelah membukakan pintu mobil dan memujinya cantik, Arsya terlihat kikuk hanya dengan beradu pandang beberapa detik dengannya. Beberapa kalimat sederhana yang sudah Indah hafalkan untuk pagi itu seketika menguap. Sama seperti Arsya yang memujinya cantik. Dalam hatinya pun Indah sudah memuji Arsya yang tampannya bisa membuat wanita mana pun salah tingkah. Hingga membuat Indah lupa di mana letak seat belt yang harusnya tidak berpindah tempat.“Mari saya bantu,” kata Arsya, menawarkan diri.Arsya lalu mencondongkan diri tanpa melepaskan tatapan. Juga tanpa izin ketika pelan tapi pasti mendaratkan bibirnya ke bibir Indah. Menekan bibir Indah dengan posesif dan menuntut. Membuka sedikit matanya untuk melihat kelopak mata Indah yang awalnya mengerjap karena terkejut, namun kemudian refleks membuka bibirnya menyambut ciuman. Refleks Indah yang terkejut karena ciuman Arsya, membuat tangannya berpindah ke lengan Arsya. Menjumput sedikit bagian jas yang Arsya yang bisa digapainya.Ciuman tiba
“Maksudnya gimana?” tanya Indah. “Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal pembayaran pemesanan semua tempat ini dan harga makan siang kita hanya bisa dibayar cash. Mereka nggak punya mesin EDC.” “Jadi, gimana? Berapa harga makan siang kita?” Indah merasa mereka tidak terlalu banyak memesan. Kalau harga segitu yang di dompetnya pun masih cukup. “Aku diajak makan siang PresDir perusahaan tambang di tempat susah sinyal dan PresDir itu nggak bawa dompet berisi uang cash. “Lihat mereka, cuma sepasang suami istri tua yang menjalankan usaha keluarga berusia puluhan tahun. Semua pelanggan pasti sudah tahu di sini cuma terima uang tunai. Ini salah saya.” Arsya bergeser ke tepi pondok dan menjulurkan kakinya untuk mengenakan sepatu. “Mungkin mereka punya rekening,” kata Arsya lagi. “Saya ada bawa uang cash. Biar saya yang bayar.” Indah meraih tas tangannya. Uangnya memang tidak banyak, tapi ia rasa masih cukup kalau hanya untuk membayar pemesanan tempat selama dua jam dan dua piring sate. “Oh,
Perjalanan pulang dari warung sate kambing terasa sedikit menegangkan. Indah diam, sedangkan Arsya menyetir sambil sesekali melirik Indah di sebelahnya.“Saya nggak nyangka kamu bisa ngomelin saya,” ucap Arsya memecahkan keheningan.“Ya, maaf …. Lagian makan sejauh itu nggak ngomong-ngomong dulu. Udah jalan baru ngomong. Kalau ngomong lebih awal saya pasti tahu nyiapinnya.”“Jadi, kamu nggak suka? Satenya nggak enak?”“Enak banget,” sahut Indah.“Yang saya janjikan sudah saya tepati, kan?”“Maksudnya?” Indah bertanya seraya menoleh Arsya. Kali ini dia punya alasan berlama-lama memandang pria itu. Indah berlama-lama memandang bibir Arsya yang beberapa jam lalu menciumnya.“Maksudnya … tadi saya janji kalau pengalaman makan ini akan jadi cerita yang akan kita kenang. Nah, saya yakin kalau cerita tadi tidak akan kamu lupakan sepanjang hidup.” Arsya terkekeh tanpa suara. Tawanya kemudian hilang dan berganti dengan wajah serius. “Dan saya berharap bisa hidup lama bersama kamu untuk mengena
“Pacaran?” Pertanyaan terhenti sampai di situ. Ia tak sempat meneruskan karena Arsya sepertinya tidak peduli akan pertanyaan itu. Arsya menggandeng dan terus membawanya memasuki mall besar yang selama hidup, ia hanya memasuki mall itu tak lebih dari tiga kali. Alasannya, ia tidak punya alasan ke mall itu. Mall dengan butik-butik kelas satu dan jajaran cafe mahal tempat para orang kaya belanja atau para pekerja kelas atas membuat janji bertemu. Jadi, orang-orang yang datang ke mall itu hanya orang yang memiliki tujuan jelas. Tidak ada ABG nongkrong atau suara berisik segerombolan orang yang sekedar menghabiskan waktu senggang.“Kita nonton. Saya sudah lama tidak ke bioskop. Kalau kamu? Kapan terakhir kali kamu nonton?” Arsya membuat kelima jemarinya menaut di tangan kanan Indah. Ia sengaja mengeratkan genggaman tangannya saat bertanya. Sengaja tidak memberi kesempatan pada Indah untuk membagi pikirannya. Hatinya berbunga karena hal sederhana itu. “Nonton? Kapan ya ….” Pertanyaan Arsy
Ciuman di bioskop itu memang lama dan menghanyutkan sampai Indah sempat lupa bahwa mereka masih berada di bioskop. Seakan tempat gelap dan dingin itu memang tidak dihadiri puluhan orang. Indah memejamkan mata menikmati kehangatan bibir Arsya yang sedang melumatnya. Saat Arsya menyudahi ciuman itu, Indah langsung membuka mata. Membuat sontak dua pasang mata mereka beradu detik itu. Indah refleks kembali membasahi bibirnya. Harusnya saat itu ia bisa menjaga wibawa dengan berpura-pura terganggu dengan aksi Arsya. Tapi saat itu ia ikut menikmati. Dan ia belum memalingkan kepala. Sampai detik itu matanya masih menelusuri wajah Arsya yang semakin tampan dalam pantulan yang mereka dapat dari layar bioskop.“Apa malam ini kita sudah bisa kembali saling bertukar panggilan? Kata saya membuat kita berjarak.” Arsya kembali mengusap bibir Indah dengan ibu jarinya. Separuh kepalanya ingin membawa Indah ke ranjang dan separuhnya lagi mengingatkan bahwa Indah sedang berada di awal kehamilan.Indah m