Setelah membukakan pintu mobil dan memujinya cantik, Arsya terlihat kikuk hanya dengan beradu pandang beberapa detik dengannya. Beberapa kalimat sederhana yang sudah Indah hafalkan untuk pagi itu seketika menguap. Sama seperti Arsya yang memujinya cantik. Dalam hatinya pun Indah sudah memuji Arsya yang tampannya bisa membuat wanita mana pun salah tingkah. Hingga membuat Indah lupa di mana letak seat belt yang harusnya tidak berpindah tempat.“Mari saya bantu,” kata Arsya, menawarkan diri.Arsya lalu mencondongkan diri tanpa melepaskan tatapan. Juga tanpa izin ketika pelan tapi pasti mendaratkan bibirnya ke bibir Indah. Menekan bibir Indah dengan posesif dan menuntut. Membuka sedikit matanya untuk melihat kelopak mata Indah yang awalnya mengerjap karena terkejut, namun kemudian refleks membuka bibirnya menyambut ciuman. Refleks Indah yang terkejut karena ciuman Arsya, membuat tangannya berpindah ke lengan Arsya. Menjumput sedikit bagian jas yang Arsya yang bisa digapainya.Ciuman tiba
“Maksudnya gimana?” tanya Indah. “Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal pembayaran pemesanan semua tempat ini dan harga makan siang kita hanya bisa dibayar cash. Mereka nggak punya mesin EDC.” “Jadi, gimana? Berapa harga makan siang kita?” Indah merasa mereka tidak terlalu banyak memesan. Kalau harga segitu yang di dompetnya pun masih cukup. “Aku diajak makan siang PresDir perusahaan tambang di tempat susah sinyal dan PresDir itu nggak bawa dompet berisi uang cash. “Lihat mereka, cuma sepasang suami istri tua yang menjalankan usaha keluarga berusia puluhan tahun. Semua pelanggan pasti sudah tahu di sini cuma terima uang tunai. Ini salah saya.” Arsya bergeser ke tepi pondok dan menjulurkan kakinya untuk mengenakan sepatu. “Mungkin mereka punya rekening,” kata Arsya lagi. “Saya ada bawa uang cash. Biar saya yang bayar.” Indah meraih tas tangannya. Uangnya memang tidak banyak, tapi ia rasa masih cukup kalau hanya untuk membayar pemesanan tempat selama dua jam dan dua piring sate. “Oh,
Perjalanan pulang dari warung sate kambing terasa sedikit menegangkan. Indah diam, sedangkan Arsya menyetir sambil sesekali melirik Indah di sebelahnya.“Saya nggak nyangka kamu bisa ngomelin saya,” ucap Arsya memecahkan keheningan.“Ya, maaf …. Lagian makan sejauh itu nggak ngomong-ngomong dulu. Udah jalan baru ngomong. Kalau ngomong lebih awal saya pasti tahu nyiapinnya.”“Jadi, kamu nggak suka? Satenya nggak enak?”“Enak banget,” sahut Indah.“Yang saya janjikan sudah saya tepati, kan?”“Maksudnya?” Indah bertanya seraya menoleh Arsya. Kali ini dia punya alasan berlama-lama memandang pria itu. Indah berlama-lama memandang bibir Arsya yang beberapa jam lalu menciumnya.“Maksudnya … tadi saya janji kalau pengalaman makan ini akan jadi cerita yang akan kita kenang. Nah, saya yakin kalau cerita tadi tidak akan kamu lupakan sepanjang hidup.” Arsya terkekeh tanpa suara. Tawanya kemudian hilang dan berganti dengan wajah serius. “Dan saya berharap bisa hidup lama bersama kamu untuk mengena
“Pacaran?” Pertanyaan terhenti sampai di situ. Ia tak sempat meneruskan karena Arsya sepertinya tidak peduli akan pertanyaan itu. Arsya menggandeng dan terus membawanya memasuki mall besar yang selama hidup, ia hanya memasuki mall itu tak lebih dari tiga kali. Alasannya, ia tidak punya alasan ke mall itu. Mall dengan butik-butik kelas satu dan jajaran cafe mahal tempat para orang kaya belanja atau para pekerja kelas atas membuat janji bertemu. Jadi, orang-orang yang datang ke mall itu hanya orang yang memiliki tujuan jelas. Tidak ada ABG nongkrong atau suara berisik segerombolan orang yang sekedar menghabiskan waktu senggang.“Kita nonton. Saya sudah lama tidak ke bioskop. Kalau kamu? Kapan terakhir kali kamu nonton?” Arsya membuat kelima jemarinya menaut di tangan kanan Indah. Ia sengaja mengeratkan genggaman tangannya saat bertanya. Sengaja tidak memberi kesempatan pada Indah untuk membagi pikirannya. Hatinya berbunga karena hal sederhana itu. “Nonton? Kapan ya ….” Pertanyaan Arsy
Ciuman di bioskop itu memang lama dan menghanyutkan sampai Indah sempat lupa bahwa mereka masih berada di bioskop. Seakan tempat gelap dan dingin itu memang tidak dihadiri puluhan orang. Indah memejamkan mata menikmati kehangatan bibir Arsya yang sedang melumatnya. Saat Arsya menyudahi ciuman itu, Indah langsung membuka mata. Membuat sontak dua pasang mata mereka beradu detik itu. Indah refleks kembali membasahi bibirnya. Harusnya saat itu ia bisa menjaga wibawa dengan berpura-pura terganggu dengan aksi Arsya. Tapi saat itu ia ikut menikmati. Dan ia belum memalingkan kepala. Sampai detik itu matanya masih menelusuri wajah Arsya yang semakin tampan dalam pantulan yang mereka dapat dari layar bioskop.“Apa malam ini kita sudah bisa kembali saling bertukar panggilan? Kata saya membuat kita berjarak.” Arsya kembali mengusap bibir Indah dengan ibu jarinya. Separuh kepalanya ingin membawa Indah ke ranjang dan separuhnya lagi mengingatkan bahwa Indah sedang berada di awal kehamilan.Indah m
Ternyata penjelasan Bu Anum barusan cukup membantu Arsya. Pria itu langsung sigap meraup setumpuk kotak kemasan makanan yang baru ditunjuk Indah. Setelah meletakkannya ke bagian belakang mobil, ia mengambil kotak kemasan yang dipegang Indah. “Kamu masuk aja duluan. Sisanya biar aku yang angkat.” Satu tangannya menahan pintu. Menyilakan Indah masuk ke mobil lebih dulu akan meringkas pekerjaan dan membuat sedikit waktu untuk bicara dengan Bu Anum. “Saya ke dalam ambil sisa kotak makanan.” Arsya menutup pintu mobil dan kembali masuk ke rumah. Bu Anum sudah menunggu dengan sisa kotak makanan. Tapi langkah kakinya seketika mundur karena melihat Arsya melangkah ke dalam. “Sisanya cuma ini, Pak. Nggak ada lagi,” kata Bu Anum, melemparkan pandangan ke meja makan.“Oke, terima kasih. Umm ….” Arsya menoleh keluar dan Bu Anum terlihat mengerti kegelisahan itu.“Ada apa, Pak? Ada yang mau ditanya?” Bu Anum semakin mundur agar gesture mulutnya bicara tidak terlihat oleh Indah yang sudah manis d
Arsya tidak menyangka wanita sekelas Mika berani bertanya hal sangat pribadi padanya. Bahkan pertanyaan itu dilakukan Mika di depan Laras sepeninggal Indah. Apa Indah sempat mendengar? Raut wajah Arsya berubah seketika. Arsya menelan ludah. “Obrolan apa yang membuat kamu dan Budhe sampai ngobrol soal Kak Indah? Abang rasa pertanyaan kamu barusan juga nggak cocok ditanyakan. Entah apa maksud kamu nanya soal itu sekarang, Mika ….” Suara Arsya terkesan tenang dan dingin sekaligus. Laras menyadari ketegangan yang sedang berada di depannya. Mika yang tadi tangannya membelai rambut putri Laras, mendadak terhenti. Berdirinya menjadi lebih tegak dan wajahnya ikut serius mendengar tanggapan Arsya. Bayi Laras yang berusia hampir lima bulan mendadak menggeliat dan merengek menunjukkan tanda-tanda bosan dalam gendongan. “Sudah, yuk. Sepertinya Ibu sudah memanggil semua orang. Tadi aku juga lihat Indah jalan ke ruang makan. Jadi Abang dan Mika sebaiknya ke sana sekarang. Aku mau ke kamar buat g
Sepertinya Mika tidak menduga jawaban Bu Della. Mika tertawa canggung. Merasa bahwa dirinya memang hanya melenggang saja datang ke rumah itu. Ia juga tidak berpikir soal siapa yang mengundangnya makan siang ke sana, atau malah ia sendiri yang menawarkan dirinya?Lalu, seperti biasa Mika mendapatkan kembali rasa percaya dirinya dengan cepat. Ia bahkan tidak mengingat-ingat soal siapa yang mengundangnya. Dengan cepat Mika menguasai keadaan. “Wah, aku jadi nggak sabar ikut makan masakan Indah.” Mika menarik satu kursi dan duduk sambil membuat gesture menggosok tangannya. Persis seperti anak kecil yang sedang tertarik pada sesuatu. “Terdengar dan terlihat memang sangat istimewa, Del. Tapi sayang sekali kami tidak bisa ikut mencicipi. Janji datang ke sini pun memang bukan untuk makan siang. Hanya untuk mengobrol sedikit soal perusahaan. Untuk tahu apa yang kami obrolkan, kamu bisa tanya Ari. Tapi nanti saja sesudah makan siang.” Pria yang usianya lebih muda dari Ari Subianto menepuk-nepuk