Arsya tidak menyangka wanita sekelas Mika berani bertanya hal sangat pribadi padanya. Bahkan pertanyaan itu dilakukan Mika di depan Laras sepeninggal Indah. Apa Indah sempat mendengar? Raut wajah Arsya berubah seketika. Arsya menelan ludah. “Obrolan apa yang membuat kamu dan Budhe sampai ngobrol soal Kak Indah? Abang rasa pertanyaan kamu barusan juga nggak cocok ditanyakan. Entah apa maksud kamu nanya soal itu sekarang, Mika ….” Suara Arsya terkesan tenang dan dingin sekaligus. Laras menyadari ketegangan yang sedang berada di depannya. Mika yang tadi tangannya membelai rambut putri Laras, mendadak terhenti. Berdirinya menjadi lebih tegak dan wajahnya ikut serius mendengar tanggapan Arsya. Bayi Laras yang berusia hampir lima bulan mendadak menggeliat dan merengek menunjukkan tanda-tanda bosan dalam gendongan. “Sudah, yuk. Sepertinya Ibu sudah memanggil semua orang. Tadi aku juga lihat Indah jalan ke ruang makan. Jadi Abang dan Mika sebaiknya ke sana sekarang. Aku mau ke kamar buat g
Sepertinya Mika tidak menduga jawaban Bu Della. Mika tertawa canggung. Merasa bahwa dirinya memang hanya melenggang saja datang ke rumah itu. Ia juga tidak berpikir soal siapa yang mengundangnya makan siang ke sana, atau malah ia sendiri yang menawarkan dirinya?Lalu, seperti biasa Mika mendapatkan kembali rasa percaya dirinya dengan cepat. Ia bahkan tidak mengingat-ingat soal siapa yang mengundangnya. Dengan cepat Mika menguasai keadaan. “Wah, aku jadi nggak sabar ikut makan masakan Indah.” Mika menarik satu kursi dan duduk sambil membuat gesture menggosok tangannya. Persis seperti anak kecil yang sedang tertarik pada sesuatu. “Terdengar dan terlihat memang sangat istimewa, Del. Tapi sayang sekali kami tidak bisa ikut mencicipi. Janji datang ke sini pun memang bukan untuk makan siang. Hanya untuk mengobrol sedikit soal perusahaan. Untuk tahu apa yang kami obrolkan, kamu bisa tanya Ari. Tapi nanti saja sesudah makan siang.” Pria yang usianya lebih muda dari Ari Subianto menepuk-nepuk
“Jadi, gimana ceritanya bisa ketemu jodoh di kantor? Kapan ya aku ketemu cowok cakep di kantor? Apalagi yang jabatannya PresDir seperti Bang Asa. Pasti sekretaris di kantor pada rebutan nggak, sih? Benar nggak, In?” Mika memandang Indah dengan penuh arti. Ia sudah mulai sedikit kesal. Sejak tadi Indah tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. Kali ini Mika sengaja menekankan nama Indah untuk mendapatkan perhatian wanita itu. Dan ternyata gayung bersambut. Senyum di wajah Indah hilang selama beberapa detik, lalu senyum itu kembali. Bohong saja kalau ia tidak mendengar perkataan Mika. Namun, Indah berhasil menguasai diri untuk tidak membalas di menit yang sama. “Tadi ada nyebut nama aku? Maaf, Kak Mika …. Aku lagi nggak nyimak. Ini Bang Asa ganggu terus dari tadi.” Indah tersenyum seraya menepuk-nepuk punggung tangan Arsya dengan mulut terkatup gemas. Tangan Arsya sedang menggenggam tangannya yang sedang terlipat di meja. “Tadi aku ngomong soal Arsya yang kemungkinan sering dijadika
Bu Della tertegun memandang kepergian Mika dengan wajah datar. Ia sedang berpikir. Seorang anak tunggal dengan segala keistimewaan yang sudah dimilikinya sejak kecil tak heran menghasilkan sosok seperti Mika.Mika sudah terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sudah terbiasa dipuji, juga terbiasa memecahkan masalahnya dengan mudah dengan berbagai cara. Termasuk cara-cara pintas. Semua berhasil Mika dapatkan dengan mudah. Apalagi jika hal itu didukung oleh segala fasilitas dari orang tua, juga prestise sebagai keluarga old money. Pekerjaan dan karier hanya menjadi hobi bagi Mika.“Mikayla Asteria,” gumam Bu Della. “Semua kemauannya selalu terwujud kecuali satu hal yaitu mendapatkan Asa. Sayangnya dia nggak bisa beli Asa.” Bu Della tersenyum samar.Gumaman Bu Della terhenti ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Pak Ari mendekat. “Tadinya mau ngobrol lama sama Asa, tapi Asa dipanggil Laras. Katanya Ayah gampang kalau mau ketemu Asa. Tinggal ke kantor.” P
Ketika menggendong Indah ke kamar, pikiran Arsya tidak ke mana-mana. Pikirannya tetap berada di rumah kecil itu. Di remang ruang tamu kecil yang menaungi langkah mereka malam itu. Wajah Indah seakan terlihat semakin pucat karena terbingkai rambut hitamnya. Malam itu baginya Indah terlihat seperti malaikat yang turun menyapa kerinduannya. Suasana saat itu terasa sempurna. Bahkan suara jangkrik yang tersamar dengan bebunyian di luar rumah membuat semuanya semakin sempurna. Sempurna, pikir Arsya. Sampai lalu kemudian langkah kakinya menghantam pelan tepi kasur. Sedetik limbung, ia kemudian memegang kendali dengan cepat.“Abang nggak nyangka kasurnya di dekat pintu,” bisik Arsya.“Kamarnya nggak luas. Sebelah kiri memang ada kasur. Udah … turunin pelan-pelan. Kalau lampunya dinyalain, kamar ini pasti merasa kedatangan raksasa.” Indah terkekeh. Pelan-pelan ia merasa Arsya berjongkok dan meletakkannya pelan-pelan ke ranjang.“Di mana lampu tidurnya?” Arsya meraba siluet meja kecil yang ter
Indah memilih tidak memejamkan mata. Tangannya terangkat untuk menyentuh bagian wajah yang memang ia kagumi sedari awal. Hidung Arsya yang tinggi, rahang yang membingkai tegas wajah tampan pria itu, lesung pipi, juga mata yang selalu menatapnya teduh. Sepasang mata itu juga memiliki bulu mata yang lentik. Arsya sangat pandai mengambil warisan terbaik dari kedua orang tuanya. Ketampanan Arsya adalah kecantikan Bu Della yang terpahat pada seorang pria. Tubuhnya yang tegap, tungkai kaki yang panjang dan bahu yang lebar ia ambil dari Pak Ari Subianto yang ketampanan di masa tuanya mampu menggambarkan betapa menariknya pria itu di masa muda. “Pantas kalau orang meragukan pilihan Abang mencari istri,” bisik Indah. Ucapan itu keluar saat jemarinya mengusap rahang Arsya. Indah lalu mencondongkan tubuh membuka mulutnya untuk menyesap bibir bawah Arsya yang sejak tadi setengah terbuka seakan menunggunya. Matanya memejam. Ciuman setelah sekian lama yang terasa amat nikmat. Bibir Arsya lembut
Arsya kembali merebahkan kepalanya ke bantal. Malam itu ia memutuskan untuk menunggu dan mengamati Indah melakukan apa yang disukainya. Ia tidak mau mencegah atau menahan. Tapi setidaknya ia harus membantu beberapa hal untuk melancarkan kegiatan itu, kan? Arsya membantu usaha Indah melucuti jeans-nya dengan mengangkat pinggul, lalu menyingkirkan celana pembungkus sepasang kaki jenjangnya. “Aku juga perlu menyingkirkan ini.” Indah mengait telunjuknya di bagian depan pakaian dalam. Arsya menunduk dan melihat jari mungil itu tak sengaja sudah menyentuh bagian tubuhnya yang paling penting. Dan dalam sekejab saja bagian tubuhnya di bawah sana sudah menggeliat dan mulai mengetat. “Sekarang? Yakin?” Pertanyaan Arsya sepertinya memang tak penting. Pertanyaan itu hanya untuk menutupi dirinya yang sudah dimabuk hasrat. Suaranya sudah parau dan belaian punggung tangan Indah di bawah sana membuat ia ingin merasakan genggaman jemari mungil itu sesegera mungkin. Dengan satu gerakan ringkas ia su
Arsya nyaris kehilangan akal hanya dengan membayangkan dirinya menyaksikan bagian bawah tubuhnya memasuki mulut Indah. Tapi mendadak ia tersadar. “In … maaf kalau kamu keberatan, kamu nggak perlu….” “Kenapa aku keberatan?” tanya Indah lagi. Dengan akal sehatnya sebagai seorang pimpinan perusahaan yang mempertimbangkan satu hal dalam berbagai sudut pandang, Arsya merasa perlu menjelaskan bahwa ia tidak memaksa Indah melakukan hal itu sebagai suatu kewajiban sebelum mereka bercinta yang sesungguhnya. Ia ingin menegaskan bahwa ia tidak bermaksud melakukan hal kotor yang diinginkannya dari seorang wanita yang mana wanita itu istrinya. Ia tidak mau dianggap berlebihan malam itu. “Esensi malam ini sebenarnya Abang mau kita ngobrol sama-sama. Dan bercinta tentu aja. Tapi tidak perlu terlalu berlebihan kalau kamu nggak mau. Cukup kamu disamp–” Arsya kemudian mengumpat lirih saat matanya mendadak memejam. Indah sudah menenggelamkan bagian tubuhnya di bawah sana. Ciuman Indah saat itu tela
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”