Indah memilih tidak memejamkan mata. Tangannya terangkat untuk menyentuh bagian wajah yang memang ia kagumi sedari awal. Hidung Arsya yang tinggi, rahang yang membingkai tegas wajah tampan pria itu, lesung pipi, juga mata yang selalu menatapnya teduh. Sepasang mata itu juga memiliki bulu mata yang lentik. Arsya sangat pandai mengambil warisan terbaik dari kedua orang tuanya. Ketampanan Arsya adalah kecantikan Bu Della yang terpahat pada seorang pria. Tubuhnya yang tegap, tungkai kaki yang panjang dan bahu yang lebar ia ambil dari Pak Ari Subianto yang ketampanan di masa tuanya mampu menggambarkan betapa menariknya pria itu di masa muda. “Pantas kalau orang meragukan pilihan Abang mencari istri,” bisik Indah. Ucapan itu keluar saat jemarinya mengusap rahang Arsya. Indah lalu mencondongkan tubuh membuka mulutnya untuk menyesap bibir bawah Arsya yang sejak tadi setengah terbuka seakan menunggunya. Matanya memejam. Ciuman setelah sekian lama yang terasa amat nikmat. Bibir Arsya lembut
Arsya kembali merebahkan kepalanya ke bantal. Malam itu ia memutuskan untuk menunggu dan mengamati Indah melakukan apa yang disukainya. Ia tidak mau mencegah atau menahan. Tapi setidaknya ia harus membantu beberapa hal untuk melancarkan kegiatan itu, kan? Arsya membantu usaha Indah melucuti jeans-nya dengan mengangkat pinggul, lalu menyingkirkan celana pembungkus sepasang kaki jenjangnya. “Aku juga perlu menyingkirkan ini.” Indah mengait telunjuknya di bagian depan pakaian dalam. Arsya menunduk dan melihat jari mungil itu tak sengaja sudah menyentuh bagian tubuhnya yang paling penting. Dan dalam sekejab saja bagian tubuhnya di bawah sana sudah menggeliat dan mulai mengetat. “Sekarang? Yakin?” Pertanyaan Arsya sepertinya memang tak penting. Pertanyaan itu hanya untuk menutupi dirinya yang sudah dimabuk hasrat. Suaranya sudah parau dan belaian punggung tangan Indah di bawah sana membuat ia ingin merasakan genggaman jemari mungil itu sesegera mungkin. Dengan satu gerakan ringkas ia su
Arsya nyaris kehilangan akal hanya dengan membayangkan dirinya menyaksikan bagian bawah tubuhnya memasuki mulut Indah. Tapi mendadak ia tersadar. “In … maaf kalau kamu keberatan, kamu nggak perlu….” “Kenapa aku keberatan?” tanya Indah lagi. Dengan akal sehatnya sebagai seorang pimpinan perusahaan yang mempertimbangkan satu hal dalam berbagai sudut pandang, Arsya merasa perlu menjelaskan bahwa ia tidak memaksa Indah melakukan hal itu sebagai suatu kewajiban sebelum mereka bercinta yang sesungguhnya. Ia ingin menegaskan bahwa ia tidak bermaksud melakukan hal kotor yang diinginkannya dari seorang wanita yang mana wanita itu istrinya. Ia tidak mau dianggap berlebihan malam itu. “Esensi malam ini sebenarnya Abang mau kita ngobrol sama-sama. Dan bercinta tentu aja. Tapi tidak perlu terlalu berlebihan kalau kamu nggak mau. Cukup kamu disamp–” Arsya kemudian mengumpat lirih saat matanya mendadak memejam. Indah sudah menenggelamkan bagian tubuhnya di bawah sana. Ciuman Indah saat itu tela
Hanya melalui kata tanpa basa-basi dan keraguan, seluruh darah yang mengalir di tubuh Indah seolah membara kuat dan menguasai. Kali ini Asya mengambil kendali. Sudah cukup sejak tadi ia memenuhi keinginan Indah untuk mengeksplorasi seluruh tubuhnya. Sedikit menegakkan tubuh Arsya menyelipkan tangannya di bawah lengan Indah untuk membawa wanita itu berbaring ke ranjang. Saat membaringkan Indah, bibirnya sempat menggesek puncak dadanya yang mengetat. Ia menyempatkan diri untuk membasahi bagian itu dengan kecupan bergantian. Kanan dan kiri. Membuat Indah menegang sepersekian detik karena tak menyangka bahwa puncak dadanya menjadi tempat pertama persinggahan lidah Arsya. “Abang,” desah Indah. Tangan Arsya beralih ke pundak Indah yang telanjang dan memandang dengan sorot mata sayu. “Sekarang Indah yang harus ikuti apa yang Abang mau,” ucap Arsya. Dari tempatnya berbaring, Arsya yang duduk di sampingnya terlihat seperti sosok malaikat tampan baginya. Malaikat yang sudah menyelamatkan
Lenguhan Indah terdengar naik turun sering Arsya yang menarik diri dan mendorong lagi. Lebih dalam memasuki dirinya disertai dorongan yang semakin lama semakin kuat. Semakin dalam Arsya mendorong, kenikmatan yang tanpa ampun itu juga semakin menghantamnya. Indah sudah tersengal-sengal menantikan puncak gelombang kenikmatan yang luar biasa kembali menghantamnya untuk tiga kali. Tapi kali ini kenikmatan itu pasti berbeda. Arsa yang menumpukan kedua tangan di bawah lengannya semakin terlihat luar biasa tampan. Tampilan Arsya sangat meyakinkan. Kuat dan muda. Juga dalam performa puncak seorang pria di rentang usianya. Ia menikmati ayunan Arsya yang tiap detiknya semakin kuat. Kenikmatan yang semakin meningkat itu entah kenapa juga membuat Indah tersadar bahwa gerakan Arsya juga semakin liar. Lebih tepatnya, mereka sama liarnya. Wajah Indah menegang sesaat karena teringat bahwa bayi mereka bisa saja terluka di dalam sana. Tangannya terangkat menahan pelan dada Arsya. “Pelan-pelan, Abang.
Guratan puas terpancar di mata Arsya. Ia puas melihat Indah bergetar karena kembali mencapai puncak untuk ketiga kalinya. Indah terkulai lemas di bawahnya.“Sekarang Abang harus lanjut dengan atau tanpa kamu.” Arsya menyunggingkan senyum jahil seraya meletakkan kedua tangannya untuk menyangga. Ia kembali mendorong masuk dengan arah dan kedalaman berbeda. Kecepatannya meningkat dan kekuatan dorongannya perlahan menguat. Lebih kuat dan lebih cepat dari tadi. Indah sudah terkulai pasrah dengan kedua tangan sesekali mengusap lengan Arsya yang terlihat amat jantan dengan otot-ototnya. Dari tempatnya berbaring ia merasakan keintiman yang membahagiakan. Bahagia bahwa Arsya sedang tergesa membutuhkan pelepasan dengan menyatukan tubuh mereka.Kebahagiaan memenuhi dirinya kala menyadari betapa besar Arsya menginginkannya. Betapa Arsya sedang membuat raut paling intim yang bisa ditunjukkan oleh wajah seorang pria sejati. Arsya sedang mengumpulkan kepingan kenikmatan yang akan membawanya ke punca
“Iya, harga sewa,” tegas Indah. “Memangnya kenapa? Kok, ketawa?” Ia memandang curiga Arsya yang terkekeh. Karena tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya ia menepuk pelan perut pria itu.“Aduh,” kata Arsya, menangkap tangan Indah dan mengecupnya. “Abang nggak tahu. Gimana kalau kita nggak usah membahas soal harga sewa rumah ini? Abang jadi merasa bersalah karena membiarkan kamu sendirian ke sana kemari. Abang nggak mau ingat bagaimana kamu melewati masa bingung dan perasaan bersalah itu sendirian.” Arsya membelai rambut Indah. Baginya memang tidak tepat membahas hal lain selain hubungan mereka malam itu. Malam itu baru berlangsung setengah dan masih ada setengahnya lagi di mana ia harus memastikan berlangsung dengan baik. Ia masih ingin mencumbu Indah.Indah menerawang dengan tangannya yang sedang membelai rahang Arsya. “Kadang-kadang sendirian sementara membuat perasaan kita lebih tenang. Membuat kita mampu menimbang keputusan-keputusan sendirian tanpa campur tangan orang lain. Papaku
Dalam sebuah ranjang kecil yang bahkan bagian bawahnya tidak dilengkapi dipan atau penyangga, Arsya tidur nyenyak untuk pertama kalinya sejak keributan yang disebabkan Riri. Ia membenarkan ucapan sang ayah yang belum lama ini mengatakan bahwa ketenangan ketenangan yang ia cari sudah bergantung pada kebahagiaan Indah. Awalnya ia tidak mengerti, tapi kemudian sang ayah sedikit menjelaskan.“Tanda bahwa kamu mencintai seorang wanita dengan tulus adalah ketika kamu merasa gelisah dan merasa bersalah kalau wanita itu terlihat tidak bahagia.”*****Barang-barang yang akan dibawa kembali pindah ke rumah Arsya ternyata cukup banyak meski sebagian besar sudar disortir. Bu Anum berdiri dengan dua koper besar dan sebuah koper kecil milik Indah. Galih sudah tiba pagi-pagi sekali untuk mengerjakan pesan Arsya. “Apa sudah semuanya, Bu?” Galih memastikan sebelum menutup pintu mobil.“Sudah semuanya, Pak,” kata Bu Anum. “Sebentar saya ke dalam buat pamitan ke Pak Arsya.” Bu Anum meninggalkan Galih ya