“Iya, harga sewa,” tegas Indah. “Memangnya kenapa? Kok, ketawa?” Ia memandang curiga Arsya yang terkekeh. Karena tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya ia menepuk pelan perut pria itu.“Aduh,” kata Arsya, menangkap tangan Indah dan mengecupnya. “Abang nggak tahu. Gimana kalau kita nggak usah membahas soal harga sewa rumah ini? Abang jadi merasa bersalah karena membiarkan kamu sendirian ke sana kemari. Abang nggak mau ingat bagaimana kamu melewati masa bingung dan perasaan bersalah itu sendirian.” Arsya membelai rambut Indah. Baginya memang tidak tepat membahas hal lain selain hubungan mereka malam itu. Malam itu baru berlangsung setengah dan masih ada setengahnya lagi di mana ia harus memastikan berlangsung dengan baik. Ia masih ingin mencumbu Indah.Indah menerawang dengan tangannya yang sedang membelai rahang Arsya. “Kadang-kadang sendirian sementara membuat perasaan kita lebih tenang. Membuat kita mampu menimbang keputusan-keputusan sendirian tanpa campur tangan orang lain. Papaku
Dalam sebuah ranjang kecil yang bahkan bagian bawahnya tidak dilengkapi dipan atau penyangga, Arsya tidur nyenyak untuk pertama kalinya sejak keributan yang disebabkan Riri. Ia membenarkan ucapan sang ayah yang belum lama ini mengatakan bahwa ketenangan ketenangan yang ia cari sudah bergantung pada kebahagiaan Indah. Awalnya ia tidak mengerti, tapi kemudian sang ayah sedikit menjelaskan.“Tanda bahwa kamu mencintai seorang wanita dengan tulus adalah ketika kamu merasa gelisah dan merasa bersalah kalau wanita itu terlihat tidak bahagia.”*****Barang-barang yang akan dibawa kembali pindah ke rumah Arsya ternyata cukup banyak meski sebagian besar sudar disortir. Bu Anum berdiri dengan dua koper besar dan sebuah koper kecil milik Indah. Galih sudah tiba pagi-pagi sekali untuk mengerjakan pesan Arsya. “Apa sudah semuanya, Bu?” Galih memastikan sebelum menutup pintu mobil.“Sudah semuanya, Pak,” kata Bu Anum. “Sebentar saya ke dalam buat pamitan ke Pak Arsya.” Bu Anum meninggalkan Galih ya
“Sarah, ada apa di sana? Baru hari Senin dan hanya mencari vendor es krim bisa seberisik itu.” Arsya mendengar keributan di seberang telepon.“Oke, sebentar, Pak. Saya akan menyelesaikan urusan dengan Yeni lebih dulu.” Sarah menekan tombol mute di ponselnya dan meraih kertas dari tangan Yeni. “Saya akan melanjutkan urusan sama Bapak. Kamu bisa keluar dan lanjut kerja.” Sarah menunggu sampai pintu ruangannya benar-benar tertutup baru kemudian kembali mengaktifkan panggilan Arsya.“Bagaimana? Sudah? Kenapa berisik sekali? Yeni bertengkar lagi dengan rekannya?” Arsya kadang bingung mau marah atau tertawa karena kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini di lantai di mana ruangannya terletak.“Yeni awalnya tidak terlalu menjengkelkan sampai meja kerjanya digeser sedikit ke dekat dinding. Ia semakin murka dengan keberadaan Lisa. Dan Lisa selalu punya tenaga meladeni Yeni. Mungkin sudah ratusan kali mengatakan kalau ia lebih menginginkan Indah menjadi rekannya ketimbang Lisa yang cerewet. Dan
“Semua juga boleh nyicipin, kok. Nggak mungkin semua ini bisa aku habisin. Abang juga harus nyobain.” Indah meletakkan mangkuk kecil berisi es krim yang tinggal sedikit, lalu ikut menyusul Titin ke balik display gelato. “Buat Bapak biar saya aja yang buatin, Mbak. Sekalian saya mau minta tolong panggil Bu Ratmi dan cucunya di belakang. Biar ikut nyobain juga.”Belum lagi Titin melangkahkan kakinya ke belakang, juru masak bernama Ratmi dan cucu perempuan yang sering dibawanya setiap hari datang mendekat bersama Bu Anum.“Nyari Leni, Mbak?” Bu Anum menggandeng Leni ke dekat Indah. “Bu Ratmi bilang ini cucunya yang paling kecil. Belum sekolah dan di rumah nggak ada yang jaga. Makanya sering dibawa. Pasti asyik ya punya cucu bisa dibawa-bawa begini. Anak saya laki-laki cuma satu yang kalau punya anak pasti dekatnya ke besan karena tinggal serumah sama besan.” “Cucunya Bu Ratmi juga tenang banget. Kalau neneknya di dapur dia cuma duduk di kursi sambil main sendirian.” Indah bicara seraya
“Takut wanita itu melukai dirinya sendiri kalau tahu Abang pergi dengan wanita lain yang tidak dia kenal.” Arsya kembali meringis. Ia bicara sangat hati-hati.“Melukai diri sendiri? Aku…nggak ngerti. Apa maksudnya ancaman bunuh diri atau tindakan seperti melukai diri sendiri gitu? Menyayat tangan? Atau lompat dari gedung?” Indah mendeskripsikan semua hal yang terlintas di benaknya. Andai semua yang dikatakannya benar ia tidak mengerti pria cerdas seperti Arsya bisa terlibat dalam hubungan seperti itu.“Hampir seperti itu. Kadang dia mengancam akan mendatangi kantor dan berbuat keributan. Awalnya Abang heran kenapa dia selalu tahu apa yang terjadi di kantor. Jam berapa Abang keluar kantor dan pergi dengan siapa. Sekarang Abang sudah mengerti semuanya.” Arsya mengulas senyum tipis agar Indah yang terlihat tegang kembali santai dalam obrolan ranjang mereka. Sepintas tadi ia juga mengingat Tio yang pernah kedapatan membuntutinya mulai dari depan gedung perkantoran.“Aku nggak nyangka,” gu
Indah bergeming selama beberapa detik sebelum tersadar karena belaian tangan Arsya di pipinya. “Yakin mau ketemu Mayang?” tanya Arsya lembut. Dahi Indah mengernyit. “Nggak terlalu yakin tapi aku penasaran dengan keperluannya. Jauh-jauh ke sini dan yang paling penting dia udah usaha banget buat nyari alamat Abang. Nanya sama siapa dia?” Indah menoleh ke arah suara samar-samar Deden yang sedang bicara dari arah depan. “Boleh ketemu Mayang kalau kamu habiskan mangga ini lebih dulu. Abang juga harus temani kamu. Istri Abang sedang hamil,” kata Arsya dengan nada ringan. Ia ingin menghalau kilat emosi yang terlihat di sepasang mata Indah.“Apa boleh aku ketemu Mayang berdua aja lima belas menit pertama? Mungkin Mayang bakal sungkan kalau ada Abang.” Indah tersenyum untuk meyakinkan Arsya. Ia memang ingin Mayang menjadi dirinya sendiri saat mereka bicara. Terlebih ia ingin melihat Mayang yang pernah bercinta dengan suaminya di ruang keluarga. Mayang yang garang dan angkuh.Ketika Arsya men
Tadinya Indah merasa telinganya salah menangkap perkataan Arsya. Tapi melihat bagaimana senyum Mayang melengkung, ternyata ia tidak salah. Mayang bahagia dan tujuannya datang ke rumah mereka pagi itu sudah terpenuhi. Wanita itu mau Panca keluar tahanan untuk menunggui persalinan ia dan bayinya. Diamnya Indah membuat Arsya cepat melirik ke arahnya. Ia sadar kalau wajahnya saat itu pasti menyiratkan ketidaksukaan yang amat jelas. “Ini serius, Pak? Bisa?” ulang Mayang karena tak yakin dengan reaksi kaku Indah. “Kalau istri saya menyetujuinya, hal itu bisa diwujudkan. Tapi karena melihat ekspresi istri saya seperti ini, saya jadi sedikit ragu. Sebelum saya meminta Anda keluar dari sini karena sedikit mengacaukan pagi kami, sepertinya Anda dan suami Anda harus mengingat-ingat hal apa yang harusnya kalian lakukan untuk istri saya. Hal yang sudah sepantasnya kalian lakukan dari dulu. Bagaimana?” Karena wajah Indah berubah menegang, Arsya mengkhawatirkan perubahan suasana hati yang begitu
Indah menajamkan ingatannya soal Mika. Tidak mungkin dia salah orang. Wanita yang omongannya selalu ceplas-ceplos dan terakhir kali bertemu di kediaman keluarga Subianto. Mika yang mendorong stroller bayi ke kolam renang? Perempuan yang ia rasa punya angry issue dan naksir Arsya dari dulu? Indah masih berjalan pelan sambil menunggu Mika menghilang ke dalam lift. Setelah memastikan hal itu, Indah bergegas ke depan lift untuk melihat lantai yang dituju Mika. Lantai lima? Lantai lima cuma ada PT. Pelita Sentosa. Mau ke mana Mika? Apa Mika memang kerja di sana? Apa ini yang dimaksud Mika kemarin? Pindah ke Indonesia karena mendapat tawaran pekerjaan?Banyak pertanyaan muncul di kepala Indah. Ada rasa takut saat pintu lift kemudian terbuka dan kakinya melangkah ke dalam. Bagaimana kalau Mika mengenali dan mengulitinya di depan direksi perusahaan itu. Hari itu ia memang mau berpamitan. Tapi tetap saja tidak nyaman bertemu Mika di sana. Tapi … apa yang dilakukan Mika di perusahaan Eric?
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”