Bu Della tertegun memandang kepergian Mika dengan wajah datar. Ia sedang berpikir. Seorang anak tunggal dengan segala keistimewaan yang sudah dimilikinya sejak kecil tak heran menghasilkan sosok seperti Mika.Mika sudah terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sudah terbiasa dipuji, juga terbiasa memecahkan masalahnya dengan mudah dengan berbagai cara. Termasuk cara-cara pintas. Semua berhasil Mika dapatkan dengan mudah. Apalagi jika hal itu didukung oleh segala fasilitas dari orang tua, juga prestise sebagai keluarga old money. Pekerjaan dan karier hanya menjadi hobi bagi Mika.“Mikayla Asteria,” gumam Bu Della. “Semua kemauannya selalu terwujud kecuali satu hal yaitu mendapatkan Asa. Sayangnya dia nggak bisa beli Asa.” Bu Della tersenyum samar.Gumaman Bu Della terhenti ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Pak Ari mendekat. “Tadinya mau ngobrol lama sama Asa, tapi Asa dipanggil Laras. Katanya Ayah gampang kalau mau ketemu Asa. Tinggal ke kantor.” P
Ketika menggendong Indah ke kamar, pikiran Arsya tidak ke mana-mana. Pikirannya tetap berada di rumah kecil itu. Di remang ruang tamu kecil yang menaungi langkah mereka malam itu. Wajah Indah seakan terlihat semakin pucat karena terbingkai rambut hitamnya. Malam itu baginya Indah terlihat seperti malaikat yang turun menyapa kerinduannya. Suasana saat itu terasa sempurna. Bahkan suara jangkrik yang tersamar dengan bebunyian di luar rumah membuat semuanya semakin sempurna. Sempurna, pikir Arsya. Sampai lalu kemudian langkah kakinya menghantam pelan tepi kasur. Sedetik limbung, ia kemudian memegang kendali dengan cepat.“Abang nggak nyangka kasurnya di dekat pintu,” bisik Arsya.“Kamarnya nggak luas. Sebelah kiri memang ada kasur. Udah … turunin pelan-pelan. Kalau lampunya dinyalain, kamar ini pasti merasa kedatangan raksasa.” Indah terkekeh. Pelan-pelan ia merasa Arsya berjongkok dan meletakkannya pelan-pelan ke ranjang.“Di mana lampu tidurnya?” Arsya meraba siluet meja kecil yang ter
Indah memilih tidak memejamkan mata. Tangannya terangkat untuk menyentuh bagian wajah yang memang ia kagumi sedari awal. Hidung Arsya yang tinggi, rahang yang membingkai tegas wajah tampan pria itu, lesung pipi, juga mata yang selalu menatapnya teduh. Sepasang mata itu juga memiliki bulu mata yang lentik. Arsya sangat pandai mengambil warisan terbaik dari kedua orang tuanya. Ketampanan Arsya adalah kecantikan Bu Della yang terpahat pada seorang pria. Tubuhnya yang tegap, tungkai kaki yang panjang dan bahu yang lebar ia ambil dari Pak Ari Subianto yang ketampanan di masa tuanya mampu menggambarkan betapa menariknya pria itu di masa muda. “Pantas kalau orang meragukan pilihan Abang mencari istri,” bisik Indah. Ucapan itu keluar saat jemarinya mengusap rahang Arsya. Indah lalu mencondongkan tubuh membuka mulutnya untuk menyesap bibir bawah Arsya yang sejak tadi setengah terbuka seakan menunggunya. Matanya memejam. Ciuman setelah sekian lama yang terasa amat nikmat. Bibir Arsya lembut
Arsya kembali merebahkan kepalanya ke bantal. Malam itu ia memutuskan untuk menunggu dan mengamati Indah melakukan apa yang disukainya. Ia tidak mau mencegah atau menahan. Tapi setidaknya ia harus membantu beberapa hal untuk melancarkan kegiatan itu, kan? Arsya membantu usaha Indah melucuti jeans-nya dengan mengangkat pinggul, lalu menyingkirkan celana pembungkus sepasang kaki jenjangnya. “Aku juga perlu menyingkirkan ini.” Indah mengait telunjuknya di bagian depan pakaian dalam. Arsya menunduk dan melihat jari mungil itu tak sengaja sudah menyentuh bagian tubuhnya yang paling penting. Dan dalam sekejab saja bagian tubuhnya di bawah sana sudah menggeliat dan mulai mengetat. “Sekarang? Yakin?” Pertanyaan Arsya sepertinya memang tak penting. Pertanyaan itu hanya untuk menutupi dirinya yang sudah dimabuk hasrat. Suaranya sudah parau dan belaian punggung tangan Indah di bawah sana membuat ia ingin merasakan genggaman jemari mungil itu sesegera mungkin. Dengan satu gerakan ringkas ia su
Arsya nyaris kehilangan akal hanya dengan membayangkan dirinya menyaksikan bagian bawah tubuhnya memasuki mulut Indah. Tapi mendadak ia tersadar. “In … maaf kalau kamu keberatan, kamu nggak perlu….” “Kenapa aku keberatan?” tanya Indah lagi. Dengan akal sehatnya sebagai seorang pimpinan perusahaan yang mempertimbangkan satu hal dalam berbagai sudut pandang, Arsya merasa perlu menjelaskan bahwa ia tidak memaksa Indah melakukan hal itu sebagai suatu kewajiban sebelum mereka bercinta yang sesungguhnya. Ia ingin menegaskan bahwa ia tidak bermaksud melakukan hal kotor yang diinginkannya dari seorang wanita yang mana wanita itu istrinya. Ia tidak mau dianggap berlebihan malam itu. “Esensi malam ini sebenarnya Abang mau kita ngobrol sama-sama. Dan bercinta tentu aja. Tapi tidak perlu terlalu berlebihan kalau kamu nggak mau. Cukup kamu disamp–” Arsya kemudian mengumpat lirih saat matanya mendadak memejam. Indah sudah menenggelamkan bagian tubuhnya di bawah sana. Ciuman Indah saat itu tela
Hanya melalui kata tanpa basa-basi dan keraguan, seluruh darah yang mengalir di tubuh Indah seolah membara kuat dan menguasai. Kali ini Asya mengambil kendali. Sudah cukup sejak tadi ia memenuhi keinginan Indah untuk mengeksplorasi seluruh tubuhnya. Sedikit menegakkan tubuh Arsya menyelipkan tangannya di bawah lengan Indah untuk membawa wanita itu berbaring ke ranjang. Saat membaringkan Indah, bibirnya sempat menggesek puncak dadanya yang mengetat. Ia menyempatkan diri untuk membasahi bagian itu dengan kecupan bergantian. Kanan dan kiri. Membuat Indah menegang sepersekian detik karena tak menyangka bahwa puncak dadanya menjadi tempat pertama persinggahan lidah Arsya. “Abang,” desah Indah. Tangan Arsya beralih ke pundak Indah yang telanjang dan memandang dengan sorot mata sayu. “Sekarang Indah yang harus ikuti apa yang Abang mau,” ucap Arsya. Dari tempatnya berbaring, Arsya yang duduk di sampingnya terlihat seperti sosok malaikat tampan baginya. Malaikat yang sudah menyelamatkan
Lenguhan Indah terdengar naik turun sering Arsya yang menarik diri dan mendorong lagi. Lebih dalam memasuki dirinya disertai dorongan yang semakin lama semakin kuat. Semakin dalam Arsya mendorong, kenikmatan yang tanpa ampun itu juga semakin menghantamnya. Indah sudah tersengal-sengal menantikan puncak gelombang kenikmatan yang luar biasa kembali menghantamnya untuk tiga kali. Tapi kali ini kenikmatan itu pasti berbeda. Arsa yang menumpukan kedua tangan di bawah lengannya semakin terlihat luar biasa tampan. Tampilan Arsya sangat meyakinkan. Kuat dan muda. Juga dalam performa puncak seorang pria di rentang usianya. Ia menikmati ayunan Arsya yang tiap detiknya semakin kuat. Kenikmatan yang semakin meningkat itu entah kenapa juga membuat Indah tersadar bahwa gerakan Arsya juga semakin liar. Lebih tepatnya, mereka sama liarnya. Wajah Indah menegang sesaat karena teringat bahwa bayi mereka bisa saja terluka di dalam sana. Tangannya terangkat menahan pelan dada Arsya. “Pelan-pelan, Abang.
Guratan puas terpancar di mata Arsya. Ia puas melihat Indah bergetar karena kembali mencapai puncak untuk ketiga kalinya. Indah terkulai lemas di bawahnya.“Sekarang Abang harus lanjut dengan atau tanpa kamu.” Arsya menyunggingkan senyum jahil seraya meletakkan kedua tangannya untuk menyangga. Ia kembali mendorong masuk dengan arah dan kedalaman berbeda. Kecepatannya meningkat dan kekuatan dorongannya perlahan menguat. Lebih kuat dan lebih cepat dari tadi. Indah sudah terkulai pasrah dengan kedua tangan sesekali mengusap lengan Arsya yang terlihat amat jantan dengan otot-ototnya. Dari tempatnya berbaring ia merasakan keintiman yang membahagiakan. Bahagia bahwa Arsya sedang tergesa membutuhkan pelepasan dengan menyatukan tubuh mereka.Kebahagiaan memenuhi dirinya kala menyadari betapa besar Arsya menginginkannya. Betapa Arsya sedang membuat raut paling intim yang bisa ditunjukkan oleh wajah seorang pria sejati. Arsya sedang mengumpulkan kepingan kenikmatan yang akan membawanya ke punca