Ternyata penjelasan Bu Anum barusan cukup membantu Arsya. Pria itu langsung sigap meraup setumpuk kotak kemasan makanan yang baru ditunjuk Indah. Setelah meletakkannya ke bagian belakang mobil, ia mengambil kotak kemasan yang dipegang Indah. “Kamu masuk aja duluan. Sisanya biar aku yang angkat.” Satu tangannya menahan pintu. Menyilakan Indah masuk ke mobil lebih dulu akan meringkas pekerjaan dan membuat sedikit waktu untuk bicara dengan Bu Anum. “Saya ke dalam ambil sisa kotak makanan.” Arsya menutup pintu mobil dan kembali masuk ke rumah. Bu Anum sudah menunggu dengan sisa kotak makanan. Tapi langkah kakinya seketika mundur karena melihat Arsya melangkah ke dalam. “Sisanya cuma ini, Pak. Nggak ada lagi,” kata Bu Anum, melemparkan pandangan ke meja makan.“Oke, terima kasih. Umm ….” Arsya menoleh keluar dan Bu Anum terlihat mengerti kegelisahan itu.“Ada apa, Pak? Ada yang mau ditanya?” Bu Anum semakin mundur agar gesture mulutnya bicara tidak terlihat oleh Indah yang sudah manis d
Arsya tidak menyangka wanita sekelas Mika berani bertanya hal sangat pribadi padanya. Bahkan pertanyaan itu dilakukan Mika di depan Laras sepeninggal Indah. Apa Indah sempat mendengar? Raut wajah Arsya berubah seketika. Arsya menelan ludah. “Obrolan apa yang membuat kamu dan Budhe sampai ngobrol soal Kak Indah? Abang rasa pertanyaan kamu barusan juga nggak cocok ditanyakan. Entah apa maksud kamu nanya soal itu sekarang, Mika ….” Suara Arsya terkesan tenang dan dingin sekaligus. Laras menyadari ketegangan yang sedang berada di depannya. Mika yang tadi tangannya membelai rambut putri Laras, mendadak terhenti. Berdirinya menjadi lebih tegak dan wajahnya ikut serius mendengar tanggapan Arsya. Bayi Laras yang berusia hampir lima bulan mendadak menggeliat dan merengek menunjukkan tanda-tanda bosan dalam gendongan. “Sudah, yuk. Sepertinya Ibu sudah memanggil semua orang. Tadi aku juga lihat Indah jalan ke ruang makan. Jadi Abang dan Mika sebaiknya ke sana sekarang. Aku mau ke kamar buat g
Sepertinya Mika tidak menduga jawaban Bu Della. Mika tertawa canggung. Merasa bahwa dirinya memang hanya melenggang saja datang ke rumah itu. Ia juga tidak berpikir soal siapa yang mengundangnya makan siang ke sana, atau malah ia sendiri yang menawarkan dirinya?Lalu, seperti biasa Mika mendapatkan kembali rasa percaya dirinya dengan cepat. Ia bahkan tidak mengingat-ingat soal siapa yang mengundangnya. Dengan cepat Mika menguasai keadaan. “Wah, aku jadi nggak sabar ikut makan masakan Indah.” Mika menarik satu kursi dan duduk sambil membuat gesture menggosok tangannya. Persis seperti anak kecil yang sedang tertarik pada sesuatu. “Terdengar dan terlihat memang sangat istimewa, Del. Tapi sayang sekali kami tidak bisa ikut mencicipi. Janji datang ke sini pun memang bukan untuk makan siang. Hanya untuk mengobrol sedikit soal perusahaan. Untuk tahu apa yang kami obrolkan, kamu bisa tanya Ari. Tapi nanti saja sesudah makan siang.” Pria yang usianya lebih muda dari Ari Subianto menepuk-nepuk
“Jadi, gimana ceritanya bisa ketemu jodoh di kantor? Kapan ya aku ketemu cowok cakep di kantor? Apalagi yang jabatannya PresDir seperti Bang Asa. Pasti sekretaris di kantor pada rebutan nggak, sih? Benar nggak, In?” Mika memandang Indah dengan penuh arti. Ia sudah mulai sedikit kesal. Sejak tadi Indah tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. Kali ini Mika sengaja menekankan nama Indah untuk mendapatkan perhatian wanita itu. Dan ternyata gayung bersambut. Senyum di wajah Indah hilang selama beberapa detik, lalu senyum itu kembali. Bohong saja kalau ia tidak mendengar perkataan Mika. Namun, Indah berhasil menguasai diri untuk tidak membalas di menit yang sama. “Tadi ada nyebut nama aku? Maaf, Kak Mika …. Aku lagi nggak nyimak. Ini Bang Asa ganggu terus dari tadi.” Indah tersenyum seraya menepuk-nepuk punggung tangan Arsya dengan mulut terkatup gemas. Tangan Arsya sedang menggenggam tangannya yang sedang terlipat di meja. “Tadi aku ngomong soal Arsya yang kemungkinan sering dijadika
Bu Della tertegun memandang kepergian Mika dengan wajah datar. Ia sedang berpikir. Seorang anak tunggal dengan segala keistimewaan yang sudah dimilikinya sejak kecil tak heran menghasilkan sosok seperti Mika.Mika sudah terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sudah terbiasa dipuji, juga terbiasa memecahkan masalahnya dengan mudah dengan berbagai cara. Termasuk cara-cara pintas. Semua berhasil Mika dapatkan dengan mudah. Apalagi jika hal itu didukung oleh segala fasilitas dari orang tua, juga prestise sebagai keluarga old money. Pekerjaan dan karier hanya menjadi hobi bagi Mika.“Mikayla Asteria,” gumam Bu Della. “Semua kemauannya selalu terwujud kecuali satu hal yaitu mendapatkan Asa. Sayangnya dia nggak bisa beli Asa.” Bu Della tersenyum samar.Gumaman Bu Della terhenti ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Pak Ari mendekat. “Tadinya mau ngobrol lama sama Asa, tapi Asa dipanggil Laras. Katanya Ayah gampang kalau mau ketemu Asa. Tinggal ke kantor.” P
Ketika menggendong Indah ke kamar, pikiran Arsya tidak ke mana-mana. Pikirannya tetap berada di rumah kecil itu. Di remang ruang tamu kecil yang menaungi langkah mereka malam itu. Wajah Indah seakan terlihat semakin pucat karena terbingkai rambut hitamnya. Malam itu baginya Indah terlihat seperti malaikat yang turun menyapa kerinduannya. Suasana saat itu terasa sempurna. Bahkan suara jangkrik yang tersamar dengan bebunyian di luar rumah membuat semuanya semakin sempurna. Sempurna, pikir Arsya. Sampai lalu kemudian langkah kakinya menghantam pelan tepi kasur. Sedetik limbung, ia kemudian memegang kendali dengan cepat.“Abang nggak nyangka kasurnya di dekat pintu,” bisik Arsya.“Kamarnya nggak luas. Sebelah kiri memang ada kasur. Udah … turunin pelan-pelan. Kalau lampunya dinyalain, kamar ini pasti merasa kedatangan raksasa.” Indah terkekeh. Pelan-pelan ia merasa Arsya berjongkok dan meletakkannya pelan-pelan ke ranjang.“Di mana lampu tidurnya?” Arsya meraba siluet meja kecil yang ter
Indah memilih tidak memejamkan mata. Tangannya terangkat untuk menyentuh bagian wajah yang memang ia kagumi sedari awal. Hidung Arsya yang tinggi, rahang yang membingkai tegas wajah tampan pria itu, lesung pipi, juga mata yang selalu menatapnya teduh. Sepasang mata itu juga memiliki bulu mata yang lentik. Arsya sangat pandai mengambil warisan terbaik dari kedua orang tuanya. Ketampanan Arsya adalah kecantikan Bu Della yang terpahat pada seorang pria. Tubuhnya yang tegap, tungkai kaki yang panjang dan bahu yang lebar ia ambil dari Pak Ari Subianto yang ketampanan di masa tuanya mampu menggambarkan betapa menariknya pria itu di masa muda. “Pantas kalau orang meragukan pilihan Abang mencari istri,” bisik Indah. Ucapan itu keluar saat jemarinya mengusap rahang Arsya. Indah lalu mencondongkan tubuh membuka mulutnya untuk menyesap bibir bawah Arsya yang sejak tadi setengah terbuka seakan menunggunya. Matanya memejam. Ciuman setelah sekian lama yang terasa amat nikmat. Bibir Arsya lembut
Arsya kembali merebahkan kepalanya ke bantal. Malam itu ia memutuskan untuk menunggu dan mengamati Indah melakukan apa yang disukainya. Ia tidak mau mencegah atau menahan. Tapi setidaknya ia harus membantu beberapa hal untuk melancarkan kegiatan itu, kan? Arsya membantu usaha Indah melucuti jeans-nya dengan mengangkat pinggul, lalu menyingkirkan celana pembungkus sepasang kaki jenjangnya. “Aku juga perlu menyingkirkan ini.” Indah mengait telunjuknya di bagian depan pakaian dalam. Arsya menunduk dan melihat jari mungil itu tak sengaja sudah menyentuh bagian tubuhnya yang paling penting. Dan dalam sekejab saja bagian tubuhnya di bawah sana sudah menggeliat dan mulai mengetat. “Sekarang? Yakin?” Pertanyaan Arsya sepertinya memang tak penting. Pertanyaan itu hanya untuk menutupi dirinya yang sudah dimabuk hasrat. Suaranya sudah parau dan belaian punggung tangan Indah di bawah sana membuat ia ingin merasakan genggaman jemari mungil itu sesegera mungkin. Dengan satu gerakan ringkas ia su