Indah terkejut tapi tidak marah. Untung juga pada saat itu Arsya tidak melihat rambut-rambut di lengannya yang dengan cepat mengkhianati. Semuanya bergidik. Aliran darahnya berdesir dan ia tidak tahu harus membuang pandangannya ke mana.Sore itu Arsya sepertinya sengaja berputar-putar agar semakin lama tiba mengantarkan Indah ke rumah yang baru. Walau masih tidak terlalu banyak bicara, Arsya terlihat ceria dari yang terakhir kali terlihat.“Makasih makan siangnya,” kata Indah, berpura-pura menunduk membetulkan pakaian.“Kapan mulai masuk kerja di Pelita Sentosa? Yakin masih mau kerja di sana?” Arsya bersandar ke pintu mobil.Indah mengangguk. “Setidaknya saya harus mencoba. Karena masa depan tidak ada yang tahu, kan?” Rasa penasarannya belum terbayarkan. Ia merasa memang harus menjalankan rencana yang sudah ia susun karena ia belum memutuskan sesuatu. “Tadi Bapak bilang tidak apa-apa, kan?” “Iya. Tidak apa-apa, kok. Kamu juga punya kegiatan. Tapi pesan saya … jangan terlalu banyak te
Setelah membukakan pintu mobil dan memujinya cantik, Arsya terlihat kikuk hanya dengan beradu pandang beberapa detik dengannya. Beberapa kalimat sederhana yang sudah Indah hafalkan untuk pagi itu seketika menguap. Sama seperti Arsya yang memujinya cantik. Dalam hatinya pun Indah sudah memuji Arsya yang tampannya bisa membuat wanita mana pun salah tingkah. Hingga membuat Indah lupa di mana letak seat belt yang harusnya tidak berpindah tempat.“Mari saya bantu,” kata Arsya, menawarkan diri.Arsya lalu mencondongkan diri tanpa melepaskan tatapan. Juga tanpa izin ketika pelan tapi pasti mendaratkan bibirnya ke bibir Indah. Menekan bibir Indah dengan posesif dan menuntut. Membuka sedikit matanya untuk melihat kelopak mata Indah yang awalnya mengerjap karena terkejut, namun kemudian refleks membuka bibirnya menyambut ciuman. Refleks Indah yang terkejut karena ciuman Arsya, membuat tangannya berpindah ke lengan Arsya. Menjumput sedikit bagian jas yang Arsya yang bisa digapainya.Ciuman tiba
“Maksudnya gimana?” tanya Indah. “Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal pembayaran pemesanan semua tempat ini dan harga makan siang kita hanya bisa dibayar cash. Mereka nggak punya mesin EDC.” “Jadi, gimana? Berapa harga makan siang kita?” Indah merasa mereka tidak terlalu banyak memesan. Kalau harga segitu yang di dompetnya pun masih cukup. “Aku diajak makan siang PresDir perusahaan tambang di tempat susah sinyal dan PresDir itu nggak bawa dompet berisi uang cash. “Lihat mereka, cuma sepasang suami istri tua yang menjalankan usaha keluarga berusia puluhan tahun. Semua pelanggan pasti sudah tahu di sini cuma terima uang tunai. Ini salah saya.” Arsya bergeser ke tepi pondok dan menjulurkan kakinya untuk mengenakan sepatu. “Mungkin mereka punya rekening,” kata Arsya lagi. “Saya ada bawa uang cash. Biar saya yang bayar.” Indah meraih tas tangannya. Uangnya memang tidak banyak, tapi ia rasa masih cukup kalau hanya untuk membayar pemesanan tempat selama dua jam dan dua piring sate. “Oh,
Perjalanan pulang dari warung sate kambing terasa sedikit menegangkan. Indah diam, sedangkan Arsya menyetir sambil sesekali melirik Indah di sebelahnya.“Saya nggak nyangka kamu bisa ngomelin saya,” ucap Arsya memecahkan keheningan.“Ya, maaf …. Lagian makan sejauh itu nggak ngomong-ngomong dulu. Udah jalan baru ngomong. Kalau ngomong lebih awal saya pasti tahu nyiapinnya.”“Jadi, kamu nggak suka? Satenya nggak enak?”“Enak banget,” sahut Indah.“Yang saya janjikan sudah saya tepati, kan?”“Maksudnya?” Indah bertanya seraya menoleh Arsya. Kali ini dia punya alasan berlama-lama memandang pria itu. Indah berlama-lama memandang bibir Arsya yang beberapa jam lalu menciumnya.“Maksudnya … tadi saya janji kalau pengalaman makan ini akan jadi cerita yang akan kita kenang. Nah, saya yakin kalau cerita tadi tidak akan kamu lupakan sepanjang hidup.” Arsya terkekeh tanpa suara. Tawanya kemudian hilang dan berganti dengan wajah serius. “Dan saya berharap bisa hidup lama bersama kamu untuk mengena
“Pacaran?” Pertanyaan terhenti sampai di situ. Ia tak sempat meneruskan karena Arsya sepertinya tidak peduli akan pertanyaan itu. Arsya menggandeng dan terus membawanya memasuki mall besar yang selama hidup, ia hanya memasuki mall itu tak lebih dari tiga kali. Alasannya, ia tidak punya alasan ke mall itu. Mall dengan butik-butik kelas satu dan jajaran cafe mahal tempat para orang kaya belanja atau para pekerja kelas atas membuat janji bertemu. Jadi, orang-orang yang datang ke mall itu hanya orang yang memiliki tujuan jelas. Tidak ada ABG nongkrong atau suara berisik segerombolan orang yang sekedar menghabiskan waktu senggang.“Kita nonton. Saya sudah lama tidak ke bioskop. Kalau kamu? Kapan terakhir kali kamu nonton?” Arsya membuat kelima jemarinya menaut di tangan kanan Indah. Ia sengaja mengeratkan genggaman tangannya saat bertanya. Sengaja tidak memberi kesempatan pada Indah untuk membagi pikirannya. Hatinya berbunga karena hal sederhana itu. “Nonton? Kapan ya ….” Pertanyaan Arsy
Ciuman di bioskop itu memang lama dan menghanyutkan sampai Indah sempat lupa bahwa mereka masih berada di bioskop. Seakan tempat gelap dan dingin itu memang tidak dihadiri puluhan orang. Indah memejamkan mata menikmati kehangatan bibir Arsya yang sedang melumatnya. Saat Arsya menyudahi ciuman itu, Indah langsung membuka mata. Membuat sontak dua pasang mata mereka beradu detik itu. Indah refleks kembali membasahi bibirnya. Harusnya saat itu ia bisa menjaga wibawa dengan berpura-pura terganggu dengan aksi Arsya. Tapi saat itu ia ikut menikmati. Dan ia belum memalingkan kepala. Sampai detik itu matanya masih menelusuri wajah Arsya yang semakin tampan dalam pantulan yang mereka dapat dari layar bioskop.“Apa malam ini kita sudah bisa kembali saling bertukar panggilan? Kata saya membuat kita berjarak.” Arsya kembali mengusap bibir Indah dengan ibu jarinya. Separuh kepalanya ingin membawa Indah ke ranjang dan separuhnya lagi mengingatkan bahwa Indah sedang berada di awal kehamilan.Indah m
Ternyata penjelasan Bu Anum barusan cukup membantu Arsya. Pria itu langsung sigap meraup setumpuk kotak kemasan makanan yang baru ditunjuk Indah. Setelah meletakkannya ke bagian belakang mobil, ia mengambil kotak kemasan yang dipegang Indah. “Kamu masuk aja duluan. Sisanya biar aku yang angkat.” Satu tangannya menahan pintu. Menyilakan Indah masuk ke mobil lebih dulu akan meringkas pekerjaan dan membuat sedikit waktu untuk bicara dengan Bu Anum. “Saya ke dalam ambil sisa kotak makanan.” Arsya menutup pintu mobil dan kembali masuk ke rumah. Bu Anum sudah menunggu dengan sisa kotak makanan. Tapi langkah kakinya seketika mundur karena melihat Arsya melangkah ke dalam. “Sisanya cuma ini, Pak. Nggak ada lagi,” kata Bu Anum, melemparkan pandangan ke meja makan.“Oke, terima kasih. Umm ….” Arsya menoleh keluar dan Bu Anum terlihat mengerti kegelisahan itu.“Ada apa, Pak? Ada yang mau ditanya?” Bu Anum semakin mundur agar gesture mulutnya bicara tidak terlihat oleh Indah yang sudah manis d
Arsya tidak menyangka wanita sekelas Mika berani bertanya hal sangat pribadi padanya. Bahkan pertanyaan itu dilakukan Mika di depan Laras sepeninggal Indah. Apa Indah sempat mendengar? Raut wajah Arsya berubah seketika. Arsya menelan ludah. “Obrolan apa yang membuat kamu dan Budhe sampai ngobrol soal Kak Indah? Abang rasa pertanyaan kamu barusan juga nggak cocok ditanyakan. Entah apa maksud kamu nanya soal itu sekarang, Mika ….” Suara Arsya terkesan tenang dan dingin sekaligus. Laras menyadari ketegangan yang sedang berada di depannya. Mika yang tadi tangannya membelai rambut putri Laras, mendadak terhenti. Berdirinya menjadi lebih tegak dan wajahnya ikut serius mendengar tanggapan Arsya. Bayi Laras yang berusia hampir lima bulan mendadak menggeliat dan merengek menunjukkan tanda-tanda bosan dalam gendongan. “Sudah, yuk. Sepertinya Ibu sudah memanggil semua orang. Tadi aku juga lihat Indah jalan ke ruang makan. Jadi Abang dan Mika sebaiknya ke sana sekarang. Aku mau ke kamar buat g
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”