Arsya mengetukkan telunjuknya ke meja beberapa kali. Lalu …. “Sebaiknya kita pesan minuman dulu, kan?” Ia meletakkan kertas dan meraih menu yang membuat isi meja kecil itu berdesakan.Dean menjentikkan jarinya. “Ide bagus. Kita harus minum untuk menyalurkan oksigen ke otak. Pasokan oksigen yang lancar ke otak akan menghasilkan ide-ide cemerlang. Meski tanpa minum aku bisa memberi kamu lebih dari lima saran terbaik.” Dean terkekeh. “Silakan pilih menunya. Aku udah hafal.” Lalu melambai pada seorang pelayan yang sedang memandang ke meja mereka.“Aku pesan mocktail aja, Mas. Apple Glitz,” kata Arsya, meletakkan menu di meja. Arsya kembali meraih kertas yang dibawa Dean dan membacanya seraya menunggu pelayan mencatat pesanan mereka. Kepalanya yang tertunduk kemudian kembali tegak saat pelayan pergi. “Mas Dean sampai hafal menu dan kenal pelayannya.”“Aku suka tempat ini dan sering banget ke sini bareng teman-temanku. Tempat ini tidak terlalu sepi. Sebenarnya cocok untuk membicarakan hal-ha
Mungkin Arsya sudah membetulkan letak dasinya belasan kali sebelum benar-benar tiba di depan pintu rumah kecil yang ditempati Indah. Ia suka rumah itu. Rumah mungil dua lantai yang terletak dalam cluster dengan jumlah unit terbatas. Tak sampai dua puluh rumah berada dalam cluster itu. Lingkungannya sepi dan menenangkan. Ia mendapat informasi soal rumah itu dari Galih. Dan karena si pemilik tidak mau disewa, ia akhirnya membeli rumah itu dengan harga cukup tinggi. Tidak apa-apalah, pikirnya. Nantinya rumah itu bisa mereka jadikan sebagai kenang-kenangan.Arsya kembali mengetuk pintu. Tidak mungkin Indah tidak dengar. Sebelum memanggil Indah tadi ia sudah menelepon Bu Anum dan wanita itu mengatakan kalau Indah tengah berada di dapur kecil yang berdampingan dengan ruang tamu kecil. Indah sedang memanaskan sepanci kecil sup ayam sebelum bergumam soal keinginannya makan martabak.“Sebenarnya gorengan itu nggak baik buat kita. Lebih tepatnya makanan yang banyak mengandung minyak. Tapi entah
Percakapannya bersama Arsya kemarin malam masih terngiang di telinga. Cukup membuat ia ragu saat mematut dirinya di depan cermin berulang kali.“Sepertinya dia memang benar-benar nggak suka perusahaan itu. Apa perusahaan sejenis memang harus bersaing sejelas itu? Atau memang mereka ada masalah pribadi? Perasaan selama kerja aku nggak pernah dengar hal aneh. Di kantor juga nggak pernah ada cerita macam-macam.” Indah memulas lipstik berwarna merah tipis-tipis ke bibirnya. Setelah lipstik merata, ia melihat sosok yang terpantul di cermin menjadi lebih segar. Ia tersenyum sedetik lalu meraih ponselnya untuk mencari informasi yang mengganjal pikirannya tadi.“Harusnya aku merasa beruntung karena tidak harus melalui alur penerimaan pegawai yang panjang. Kalau dipikir-pikir … aku juga diterima di SB Industrial terlalu mudah. Perusahaan sebesar itu tapi mau menerima aku yang tanpa pengalaman.” Indah berbicara sendiri sambil mengetikkan kata kunci soal Arsya dan Eric Widjaja di ponselnya. “Tid
Tanpa terasa, Indah mencengkeram ponselnya keras-keras. Satu tangannya kemudian menangkup mulut. Benar-benar takut kalau suara sepelan apa pun bisa keluar dari mulutnya karena situasi mencekam itu. Aplikasi pesan di ponselnya sedang terbuka dan matanya menangkap nama Arsya berada di urutan teratas. Ia membuka pesan Arsya dengan napas tertahan.‘Indah sudah selesai interview? Saya tunggu di luar; ya. Kita makan siang sama-sama. Kamu harus mau.’Sementara di luar Sita terkekeh-kekeh. “Iya, sih. Wanita itu juga cantik. Mungkin Pak Eric juga bakal ngajak nginap kalau dia mau. Info sementara yang diterima, SB Industrial belum dapat investor. Pak Eric bisa lanjut rencananya buat ngebalap rencana mereka bikin smelter. Kita dukung pemerintah buat pengolahan nikel di sini, tapi kita juga bisa tetap ekspor mentahnya seperti biasa. Nama perusahaan kita tetap harum karena mendukung program pemerintah, ekspor mentahnya tetap jalan diam-diam dan kita nggak perlu bayar royalti juga bea ekspor ke nega
Indah sontak membulatkan mata. “Enggak ada, kok. Nggak ada yang khusus dalam interview tadi. Semuanya biasa aja.”“Kamu keterima?” Arsya mencondongkan tubuh ke depan. Hidungnya dan Indah hanya beberapa senti saja. Nyaris bersentuhan. Ia bahkan bisa tahu kalau Indah sedang menahan napas.Indah menelan ludah. “Saya diterima masa percobaan. Kalau dilanjutkan mungkin akan jadi pegawai tetap,” jelasnya. “Umm … ini…mau apa? Saya nggak bisa….”Kemudian terdengar suara pengunci seat belt dibuka. Arsya mengangkat satu alisnya. “Saya cuma bantu kamu buka ini,” kata Arsya, tersenyum jahil. “Ayo turun. Saya bakal pesan banyak makanan dan kamu harus makan.”Mereka masih suami istri. Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan acara makan siang berdua itu. Tidak ada yang salah. Termasuk saat Arsya menyentuh pinggangnya saat menahan pintu untuknya. Tapi kenapa ada yang mengganjal di hatinya? “Pak Arsya sudah sampai? Bu Sarah sudah wanti-wanti ke saya soal aturan makanan dan letak meja. Mari ikut s
Indah juga tidak tahu kenapa siang itu obrolannya bersama Arsya mengalir terlepas begitu saja. Simpulan hatinya terlepas dan lurus bersama air mata. “Jadi bagaimana? Mau skrining, kan?” Arsya berusaha agar nada suaranya tidak terkesan memaksa. Ia lalu teringat bahwa mereka belum memesan makan siang. Terus mendesak Indah soal skrining kesehatan calon bayi mereka sepertinya tidak cukup tepat saat itu. Arsya menekan tombol di meja dan tak sampai lima menit manager restoran kembali menghampiri mereka. “Saya mau menu yang biasa selalu saya pesan bersama Bu Della.” Arsya sengaja menekankan kata Bu Della sambil memandang Indah. Tapi yang dipandang berpura-pura menunduk memandang tas kecil di pangkuannya. “Baik, Pak Arsya. Sebelum menu utamanya datang saya sajikan dulu menu compliment dari restoran. Nyonya pasti suka. Silakan dinikmati.” Manager restoran meletakkan sekeranjang bruschetta, semangkuk kecil pizza mini dengan beberapa toping dan juga dua botol kaca air mineral. “Terima kasih,”
Indah terkejut tapi tidak marah. Untung juga pada saat itu Arsya tidak melihat rambut-rambut di lengannya yang dengan cepat mengkhianati. Semuanya bergidik. Aliran darahnya berdesir dan ia tidak tahu harus membuang pandangannya ke mana.Sore itu Arsya sepertinya sengaja berputar-putar agar semakin lama tiba mengantarkan Indah ke rumah yang baru. Walau masih tidak terlalu banyak bicara, Arsya terlihat ceria dari yang terakhir kali terlihat.“Makasih makan siangnya,” kata Indah, berpura-pura menunduk membetulkan pakaian.“Kapan mulai masuk kerja di Pelita Sentosa? Yakin masih mau kerja di sana?” Arsya bersandar ke pintu mobil.Indah mengangguk. “Setidaknya saya harus mencoba. Karena masa depan tidak ada yang tahu, kan?” Rasa penasarannya belum terbayarkan. Ia merasa memang harus menjalankan rencana yang sudah ia susun karena ia belum memutuskan sesuatu. “Tadi Bapak bilang tidak apa-apa, kan?” “Iya. Tidak apa-apa, kok. Kamu juga punya kegiatan. Tapi pesan saya … jangan terlalu banyak te
Setelah membukakan pintu mobil dan memujinya cantik, Arsya terlihat kikuk hanya dengan beradu pandang beberapa detik dengannya. Beberapa kalimat sederhana yang sudah Indah hafalkan untuk pagi itu seketika menguap. Sama seperti Arsya yang memujinya cantik. Dalam hatinya pun Indah sudah memuji Arsya yang tampannya bisa membuat wanita mana pun salah tingkah. Hingga membuat Indah lupa di mana letak seat belt yang harusnya tidak berpindah tempat.“Mari saya bantu,” kata Arsya, menawarkan diri.Arsya lalu mencondongkan diri tanpa melepaskan tatapan. Juga tanpa izin ketika pelan tapi pasti mendaratkan bibirnya ke bibir Indah. Menekan bibir Indah dengan posesif dan menuntut. Membuka sedikit matanya untuk melihat kelopak mata Indah yang awalnya mengerjap karena terkejut, namun kemudian refleks membuka bibirnya menyambut ciuman. Refleks Indah yang terkejut karena ciuman Arsya, membuat tangannya berpindah ke lengan Arsya. Menjumput sedikit bagian jas yang Arsya yang bisa digapainya.Ciuman tiba