Tetapi saat ingin melewati Emran tangannya di cekal oleh lelaki tampan ini, Nisa menghentak kasar tangan Emran. "Yang sopan, Pak." "Saya ke sini mau ajak Dek Nisa makan, pasti belum makan iya kan?" Emran mendongak menatap wajah Nisa.Tebakan Emir memang benar, entah kapan terakhir Nisa makan, dia makan seingin dia. "Tapi saya nggak suka sama ucapan Bapak barusan," ujar Nisa. "Saya hanya menyampaikan perasaan saya, jika Dek Nisa keberatan, saya nggak akan memaksa. Tapi bolehkan saya menemani dan menghibur Dek Nisa," ujar Emran mantap. "Ayo kita cari tempat makan, masa sudah di sini hanya tidur di dalam kamar, bukan 'kah sudah lima hari Dek Nisa di dalam kamar?" ujar Emran menebak dengan benar. "Ya sudah, saya pake kerudung dulu." Nisa masuk ke dalam kamar, tak lama keluar dengan wajah sedikit di poles bedak. Emran menatap takjub pada Nisa. Nisa semakin grogi di tatap seperti itu oleh Emran, "Pak, bisa nggak jangan liatin Nisa begitu," ujar wanita cantik ini, menunduk malu."Nggak
"Den, maafin mbok, sudah satu minggu lebih Non Nisa nggak pulang, katanya mau menenangkan diri, mbok juga nggak tau kemana Non Nisa, mbok juga khawatir banget Den," Ponsel Damar terjatuh, lelaki ini terduduk di kursi tunggu Rumah Sakit. Bagus yang memang ingin menghampiri Damar memungut ponsel Damar. "Ada apa?" tanya Bagus. "Bagaimana kondisi Kirana?" tanya Bagus lagi.Damar tak menjawab, dia meremas kuat rambutnya. Lalu mendongak menatap Bagus. "Nisa sudah satu minggu lebih nggak pulang, kemana dia?" tanya Damar pada teman baiknya ini. Bagus menggeleng, "Mana gue tau, dia bini, elo," monolog Bagus. "Aku bantu cari." Bagus menepuk pundak Damar. "Tenangin dirimu,"Damar berlalu pergi meninggalkan Bagus menuju ruang perawatan Chandra, di gedung sebelah. Begitu Damar masuk Fina terlihat sedang mengeluarkan beberapa barang dari dalam paper bag."Damar, kamu sudah pulang hanymonnya?" tanya Fina ceria. Damar mengernyit, tetapi enggan meminta penjelasan pada Fina, gegas dia menemui Chan
Gegas Murni meninggalkan kamar Kirana putri tercintanya, lalu cepat menutup pintu kembali. Bagus dan beberapa dokter juga kerabat lainnya masih berkumpul setelah melakukan doa tadi. Fatta terus merengek ingin menemui Kirana, juga selalu menyebut nama Nisa. "Kamu sudah tau di mana Nisa?" tanya Bagus. Damar mengangguk lesu, netranya terlihat memerah, tubuh kekar yang dia miliki terlihat jelas begitu rapuh kini. Bagus memandang iba pada Damar. "Katakan di mana, biar aku jemput," ucap Bagus. "Nggak usah, biar aku yang jemput besok," jawab Damar lemah. Setelah para kerabat pulang Damar kembali masuk ke dalam kamar, mencoba melelapkan tubuh dalam lelahnya jiwa, kehilangan dua istrinya sekaligus. Tak berapa lama tubuh lelah Damar terlelap, hingga alam mimpi membawanya bertemu dengan Kirana. "Mas." Damar merasa Kirana memeluknya dari belakang. Nafas Kirana terasa di tengkuk Damar. "Sampaikan maafku pada, Nisa." Damar membalikkan tubuh karna Kirana melonggarkan pelukan. "Mau keman
Damar sudah siap akan menjemput istri kecilnya tetapi Fatta menangis tak mau di diamkan oleh siapapun. Bahkan Murni tak bisa juga mendiamkan cucunya. "Aku mau bunda," ringik Fatta tersedu. Damar menggedong putri kecilnya, mengajak bermain di taman sebentar. Tetapi Fatta tak kunjung mau melepaskan pelukan pada ayahnya. "Fatta ayah pergi sebentar nanti ayah ajak mama Nisa ke sini. Setelah itu kita jemput adek bayi bareng mama Nisa." Bujuk Damar. Tetapi Fatta tetap menggeleng. Dengan sabar Damar menggendong Fatta, hingga gadis kecilnya terlelap dalam dekapan lelaki atletis ini, setelah menidurkan Fatta lelaki tampan yang kini diliputi kegundahan ini gegas meninggalkan kediamannya. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang akhirnya Damar menemukan alamat yang di berikan Roni. Netranya memindai. "Sepi." Lelaki ini melangkah pasti menuju pintu, dari jarak ini terdengar tawa Nisa begitu bahagia di dalam sana. "Nisa!!" Seketika tawa Nisa berhenti mendengar suara seorang pria yang
Sari mondar mandir di depan pintu Nisa. Dia tak ada keberanian menolong Nisa, apalagi diketahui dari perdebatan tiga orang tadi bahwa lelaki yang baru datang adalah suami Nisa, majikannya. "Lalu siapa pak Emran, perhatian banget sama Non Nisa." Pikir Sari. "Ah orang kaya, pergaulan begini udah biasa. Emang orang kampung, bisa langsung satu dunia tau semua, kalo udah punya suami terus deket sama lelaki lain. Monolog Sari. Dia gegas ke dapur menyiapkan makan malam untuk nonanya. Nisa mengendus bangun, dia mengangkat tangan Damar perlahan, berusaha turun dari ranjang tanpa mengganggu Damar, kakinya sudah menyentuh lantai, tetapi belum juga mengangkat badan, tangan besar Damar sudah menarik lagi tubuh Nisa dalam dekapannya. Lagi Damar merasa sakit melihat punggung polos Nisa, bayangannya berkelana Emran menggerayangi punggung indah ini. "Mas, Nisa mau mandi," kali ini wanita cantik ini tak memberontak seperti tadi. "Sekali lagi, Nis. Mas maafin kamu, jangan pernah lagi lakukan ya Nis
Pagi ini Nisa sudah membuatkan secangkir kopi, semalaman dia berfikir untuk bisa menjadi istri yang benar-benar baik untuk suaminya. Wajah Damar terlihat cerah melihat Nisa sedang mengaduk kopi. Tetapi keceriaannya berlangsung sesaat mengingat bayang-bayang Kirana tersenyum ayu saat menyiapkan kebutuhan Damar, di pagi hari."Mas, mau di taro mana kopinya?" tanya Nisa pada Damar yang sedang menuruni anak tangga. "Di dalem ruang kantor aja Nis. Mas mau selesaiin kerjaan." Tanpa banyak bicara Damar melangkah ke dalam kantor, Nisa pun mengikuti lalu menaruh gelas kopi di atas meja. Setelah menaruh gelas Nisa beranjak keluar, tetapi langkahnya urung mendengar Damar berbicara."Siang mas, mau ke Rumah Sakit, kamu mau ikut nggak?" tanya Damar, duduk di kursi hitam yang terlihat nyaman. Nisa mengangguk, tak berniat menjawab dengan mulutnya. Damar menatap istrinya, "Sini," perintah Damar, Karna melihat wajah datar istri kecilnya.Nisa melangkah mendekat, Damar menarik tangan Nisa hingga du
Damar menyandarkan bahu di sandaran kursi, dia meraup wajahnya kasar. Permasalahan silih berganti terjadi, kini dia harus merelakan saham Rumah Sakit di alihkan tangankan pada perusahaan milik Bagus. Sepandai apapun dia, masih tak bisa mengendalikan apa yang di luar jangkauannya, mungkin memang ini yang terbaik untuknya, kali ini Damar benar-benar introspeksi atas apa yang terjadi pada hidupnya. Kehilangan Kirana, kehilangan satu saham anak perusahaan, kedepannya dia harus bisa lebih baik menggenggam apa yang kini dia kuasai. Dengan tak lupa meminta kemampuan pada sang pemilik kemampuan. Klek ....Pintu terbuka, Bagus masuk dengan wajah sedikit dipaksakan tersenyum. Lelaki bergelar dokter specialist ini duduk di hadapan Damar. Damar menjulurkan tangan, " Selamat Bro. Kemampuan bisnismu semakin berkembang," ucap Damar, dia memang seorang lelaki sejati Bagus menyahut jabat tangan Damar, "Bro, kita tetap berteman 'kan?" "Yaahhh ... Kamu akan selalu menjadi temanku," ujar Damar, si
Hiruk pikuk kota Jakarta menjadi makanan sehari-hari, kemacetan di mana-mana, polusi udara, polusi suara, semua menyatu di sini. Beruntung Nisa menggunakan mobil mewah membuatnya nyaman apapun dan bagaimanapun keadaan di luar.Mobil melaju perlahan masuk ke dalam parkiran Rumah Sakit, Damar menempati tempat parkir yang di khususkan untuk pemilik tempat tersebut. "Parkiran Rumah sakit penuh begini, orang-orang seneng banget healing ke Rumah Sakit," ujar Damar. "Bukan healing kali Mas." "Mereka sedikit-sedikit berobat. Padahal harusnya jika sakit bersihkan hati dan jiwa dulu, baru di sembuhkan dengan pertolongan dokter. Percuma penyakit sembuh hanya sementara kalau jiwanya tetap sakit, akar penyakit itu ada jiwa, kalau hanya penyakit yang diobati akar penyakitnya nggak di obati, maka penyakitnya akan muncul lagi," ujar Damar, sambil fokus memarkir mobil."Yuk, kamu mau ke tempat Papah dulu apa mau liat dedek bayi?" tanya Damar, tersenyum lembut ke arah Nisa, setelah mobil dengan te
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal