Damar sudah siap akan menjemput istri kecilnya tetapi Fatta menangis tak mau di diamkan oleh siapapun. Bahkan Murni tak bisa juga mendiamkan cucunya.
"Aku mau bunda," ringik Fatta tersedu. Damar menggedong putri kecilnya, mengajak bermain di taman sebentar. Tetapi Fatta tak kunjung mau melepaskan pelukan pada ayahnya. "Fatta ayah pergi sebentar nanti ayah ajak mama Nisa ke sini. Setelah itu kita jemput adek bayi bareng mama Nisa." Bujuk Damar. Tetapi Fatta tetap menggeleng. Dengan sabar Damar menggendong Fatta, hingga gadis kecilnya terlelap dalam dekapan lelaki atletis ini, setelah menidurkan Fatta lelaki tampan yang kini diliputi kegundahan ini gegas meninggalkan kediamannya. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang akhirnya Damar menemukan alamat yang di berikan Roni. Netranya memindai. "Sepi." Lelaki ini melangkah pasti menuju pintu, dari jarak ini terdengar tawa Nisa begitu bahagia di dalam sana. "Nisa!!" Seketika tawa Nisa berhenti mendengar suara seorang pria yang selalu dia rindu selama dia di sini. "Sedang apa kamu di sini bajingan." langkah Damar cepat ke arah Emran, mencengkram kemeja depan lelaki ini lalu mendaratkan bogem mentah pada wajah Emran. "Mas!!" Nisa menghampiri Damar menarik tangan suaminya, tetapi Damar mendorong tubuh Nisa hingga dia terhuyung jatuh membentur pinggiran meja. Melihat Nisa jatuh, Emran melepaskan pukulan di rahang Damar lalu mendorong kuat tubuh tegap ini, hingga limbung. Lelaki tampan ini beranjak menuju Nisa berada."Dek kamu enggak apa-apa?" Emran membopong tubuh Nisa, melihat pemandangan itu gejolak cemburu Damar semakin menggebu. Lelaki ini menendang bokong Emran membuat lelaki ini terjerembab, beruntung Nisa yang masih dalam gendongannya jatuh tepat di atas sofa. Emran pun menindih tubuh Nisa. Damar semakin kalut melihat adegan ini. Dia menarik Emran hingga terjengkang kebelakang. Lalu menarik lengan Nisa membawanya ke dalam kamar, setelah itu mengunci kamar dari luar. Di dalam Kamar Nisa berteriak histeris, menggedor pintu dengan sekuat tenaga. Dengan wajah penuh emosi Damar menghampiri Emran. "Kamu selalu menginginkan milikku?" Dan tanpa aba-aba dia menendang perut Emran. Lelaki tampan ini terhuyung kebelakang. Senyum smirk terukir di bibir Emran. "Kali ini kamu akan kehilangan dia. Jadi nikmatilah hidupmu dengan Kirana. Lepaskan Nisa aku yang akan membahagiakannya." "Jangan mimpi." Damar menghampiri Emran, tangannya melayang mendaratkan pukulan pada rahang Emran, tetapi dengan sigap Emran menangkap kepalan tangan Damar, lalu membuang keras kepalan tangan itu. "Sampai aku dengar kamu menyakiti Nisa, akan aku kejar sampai lubang semut," ujar Emran menatap Damar nyalang, lalu pergi meninggalkan Damar yang masih tersulut Emosi. Damar menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, menyisir rambut dengan jari-jari lalu menarik rambutnya kuat. Suara Nisa masih terdengar merintih di dalam kamar. Netra Damar melirik pada pintu kamar, dia bangunkan tubuh lalu kaki melangkah menuju pintu kamar. Tatapan mereka bersiborok ketika pintu kamar terbuka. Lelaki ini mendekati Nisa yang sedang duduk bersimpuh di depan pintu, dengan keras dia menutup pintu, mencengkerang lengan Nisa menarik tubuh lemah ini ke atas pembaringan. "Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku?" ucap Damar, tatapannya penuh intimidasi. "Lakukan apa? Nisa masih punya harga diri nggak mungkin aku melakukan hal nista." Nisa berkata pelan di tekan, membalas tatapan Damar dengan berani. Sudah tidak ada lagi Nisa yang mengkeret takut saat Damar menatap dengan intimidasi. "Harga diri? Kalo bukan mas yang menjaga kamu selama ini, apakah kamu masih memiliki harga diri?" Tamparan mendarat di pipi Damar, tetapi itu tak berpengaruh apa-apa untuk Damar, bahkan wajahnya tak bergeming sesentipun dari hadapan Nisa. "Mas memikirkan kamu, ternyata kamu sedang bersenang-senag di sini!" ujar Damar. "Katakan terus terang, apakah Emran sudah merasakan tubuh kamu!?" Senyum sinis tersungging dari bibir Damar, "Sudah berapa lama aku tak menjamahmu, hingga kamu mencari kehangatan lelaki lain?" ucapan demi ucapan melecehkan Nisa, terus dilayangkan Damar. Lagi Nisa menampar pipi Damar, kali ini pipi lelaki atletis ini sedikit bergeser ke samping, akibat begitu kerasnya tamparan yang di berikan Nisa. Bibir Damar terus menyeringai, dia begitu terluka melihat Nisa sedang bersenda gurau dengan Emran tadi, sedangkan hatinya begitu risau memikirkan keadaan Nisa. Lelaki ini mengikis jarak antara Nisa dia meraih bibir Nisa mencium paksa melumat dengan kasar. Dadanya sakit membayangkan Emran menikmati bibir mungil Nisa. Nisa melengoskan kepala mencoba menghindar dari kejaran bibir Damar, tetapi Damar begitu kuat mencengkeram kepala Nisa. "Lepasin Nisa, Mas!" Nisa mendorong dada bidang Damar berusaha bangun tetapi Damar mengungkung tubuh wanita cantik ini. Damar benar-benar tak bisa mengendalikan emosi kali ini, dadanya turun naik membayangkan apa saja yamg Nisa lakukan seminggu ini di vila ini bersama Emran. "Mas, kamu nyakitin Nisa, lepasin Nisa, Nisa nggak mau!" Nisa mencoba mengelak dari kecupan bibir Damar. "Nggak mau? Kamu lebih senang bermain dengan Emran. Hah ...!" Damar berteriak lantang. Semakin bringas Damar melucuti pakaian Nisa. Nisa menangis sepanjang Damar menyentuh dan menyatukan tubuhnya, Nisa merasakan Damar kali ini benar-benar marah. Marah? Lalu apa yang dia lakukan bersama Kirana? Nisa juga boleh marah. Bahkan dia melegalkan dan mengumumkan pernikahan dengan Kirana. 'Pikir Nisa. Apakah hanya Damar yang boleh marah padanya, sedangkan dia tak boleh marah. Terus hati Nisa berbincang sepanjang Damar menuntaskan hasrat membara akibat marah. Damar meringkuk mengerat tubuh Nisa dalam dekapannya setelah selesai menuntaskan segala beban. Tak dibiarkan Nisa bergeser sedikitpun, apalagi turun dari ranjang. Tangis di bibir Nisa masih terdengar tapi tak ada niatan Damar menghibur, hingga akhirnya mereka tertidur karna lelah. ** Hai Readers, terimaksih sudah mengikuti perjalanan Nisa Damar Kirana hingga bab ini. Jangan lupa kasih ulasan terbaik, bintang lima, juga vote untuk mendukung buku ini. Tinggalkan komen terbaik tiap babnya. Love sekebon untuk readers tersayang. Salam hangat. salam literasi.Sari mondar mandir di depan pintu Nisa. Dia tak ada keberanian menolong Nisa, apalagi diketahui dari perdebatan tiga orang tadi bahwa lelaki yang baru datang adalah suami Nisa, majikannya. "Lalu siapa pak Emran, perhatian banget sama Non Nisa." Pikir Sari. "Ah orang kaya, pergaulan begini udah biasa. Emang orang kampung, bisa langsung satu dunia tau semua, kalo udah punya suami terus deket sama lelaki lain. Monolog Sari. Dia gegas ke dapur menyiapkan makan malam untuk nonanya. Nisa mengendus bangun, dia mengangkat tangan Damar perlahan, berusaha turun dari ranjang tanpa mengganggu Damar, kakinya sudah menyentuh lantai, tetapi belum juga mengangkat badan, tangan besar Damar sudah menarik lagi tubuh Nisa dalam dekapannya. Lagi Damar merasa sakit melihat punggung polos Nisa, bayangannya berkelana Emran menggerayangi punggung indah ini. "Mas, Nisa mau mandi," kali ini wanita cantik ini tak memberontak seperti tadi. "Sekali lagi, Nis. Mas maafin kamu, jangan pernah lagi lakukan ya Nis
Pagi ini Nisa sudah membuatkan secangkir kopi, semalaman dia berfikir untuk bisa menjadi istri yang benar-benar baik untuk suaminya. Wajah Damar terlihat cerah melihat Nisa sedang mengaduk kopi. Tetapi keceriaannya berlangsung sesaat mengingat bayang-bayang Kirana tersenyum ayu saat menyiapkan kebutuhan Damar, di pagi hari."Mas, mau di taro mana kopinya?" tanya Nisa pada Damar yang sedang menuruni anak tangga. "Di dalem ruang kantor aja Nis. Mas mau selesaiin kerjaan." Tanpa banyak bicara Damar melangkah ke dalam kantor, Nisa pun mengikuti lalu menaruh gelas kopi di atas meja. Setelah menaruh gelas Nisa beranjak keluar, tetapi langkahnya urung mendengar Damar berbicara."Siang mas, mau ke Rumah Sakit, kamu mau ikut nggak?" tanya Damar, duduk di kursi hitam yang terlihat nyaman. Nisa mengangguk, tak berniat menjawab dengan mulutnya. Damar menatap istrinya, "Sini," perintah Damar, Karna melihat wajah datar istri kecilnya.Nisa melangkah mendekat, Damar menarik tangan Nisa hingga du
Damar menyandarkan bahu di sandaran kursi, dia meraup wajahnya kasar. Permasalahan silih berganti terjadi, kini dia harus merelakan saham Rumah Sakit di alihkan tangankan pada perusahaan milik Bagus. Sepandai apapun dia, masih tak bisa mengendalikan apa yang di luar jangkauannya, mungkin memang ini yang terbaik untuknya, kali ini Damar benar-benar introspeksi atas apa yang terjadi pada hidupnya. Kehilangan Kirana, kehilangan satu saham anak perusahaan, kedepannya dia harus bisa lebih baik menggenggam apa yang kini dia kuasai. Dengan tak lupa meminta kemampuan pada sang pemilik kemampuan. Klek ....Pintu terbuka, Bagus masuk dengan wajah sedikit dipaksakan tersenyum. Lelaki bergelar dokter specialist ini duduk di hadapan Damar. Damar menjulurkan tangan, " Selamat Bro. Kemampuan bisnismu semakin berkembang," ucap Damar, dia memang seorang lelaki sejati Bagus menyahut jabat tangan Damar, "Bro, kita tetap berteman 'kan?" "Yaahhh ... Kamu akan selalu menjadi temanku," ujar Damar, si
Hiruk pikuk kota Jakarta menjadi makanan sehari-hari, kemacetan di mana-mana, polusi udara, polusi suara, semua menyatu di sini. Beruntung Nisa menggunakan mobil mewah membuatnya nyaman apapun dan bagaimanapun keadaan di luar.Mobil melaju perlahan masuk ke dalam parkiran Rumah Sakit, Damar menempati tempat parkir yang di khususkan untuk pemilik tempat tersebut. "Parkiran Rumah sakit penuh begini, orang-orang seneng banget healing ke Rumah Sakit," ujar Damar. "Bukan healing kali Mas." "Mereka sedikit-sedikit berobat. Padahal harusnya jika sakit bersihkan hati dan jiwa dulu, baru di sembuhkan dengan pertolongan dokter. Percuma penyakit sembuh hanya sementara kalau jiwanya tetap sakit, akar penyakit itu ada jiwa, kalau hanya penyakit yang diobati akar penyakitnya nggak di obati, maka penyakitnya akan muncul lagi," ujar Damar, sambil fokus memarkir mobil."Yuk, kamu mau ke tempat Papah dulu apa mau liat dedek bayi?" tanya Damar, tersenyum lembut ke arah Nisa, setelah mobil dengan te
Langit sore memancarkan cahaya jingga, Nisa duduk di balkon melihat jauh ke depan. Kali ini hatinya seolah begitu bahagia. "Apakah bahagia seutuhnya akan aku dapat?""Apakah setelah ini Mas Damar akan seutuhnya menjadi milikku."Apakah, apakah, apakah.Banyak sekali pertanyaan apakah bersarang di kepala Nisa, terlihat wanita cantik ini menghela nafas. Kelebatan bayangan kesedihan waktu lalu terlintas. Nisa memejamkan mata, bibirnya merapal doa, berharap Tuhan memberikan kehidupan yang terbaik, kehidupan impian, suami impian.Suara pintu di tutup membuyarkan lamunan Nisa. Wanita cantik ini menengok."Mbok, ketuk-ketuk pintunya, nggak nyaut, mbok kira ke mana?" ujar Darmi. "Mbok ... Aku lagi ngeliatin langit, warnanya bagus banget, senja. Aku berharap bahagiaku bukan hanya seperti waktu senja ini. Indahnya dapat kita nikmati hanya sebentar." Nisa berucap mengungkapkan isi hatinya."Non, pasti akan mendapatkan bahagia yang sesungguhnya. Bahagia dari hati." Darmi menyentuh dadanya. "Asa
"Halaahhh ... Mas Damar apa Non Nisa yang kangen?" ujar Darmi, terus melayangkan candaan. Mendengar Darmi terus menggodanya Nisa langsung melesat meninggalkan Darmi. Nisa membuka pintu kamar perlahan, tak ada lelakinya di dalam sini. Wanita cantik ini mendekat ke arah balkon, dia lihat Damar sedang duduk termenung. Nisa diam beberapa saat memperhatikan seluit wajah suaminya yang terlihat sendu, seperti sedang memikirkan beban berat. Atau dia begitu merindukan Kirana, batin Nisa. Nisa berbalik menuju ranjang, lalu menaiki ranjang menunggu Damar selesai dengan kesendiriannya. Tetapi lama Nisa tunggu tak ada pergerakan dari Damar untuk meninggalkan tempatnya duduk. Nisa kembali turun dari ranjang tetapi belum sempat dia mendekati Damar, ponsel lelaki itu berdering. Nisa mengurungkan langkah sesaat, mendengar obrolan Damar. "Atur semua dengan baik Ron, aku nggak mau satu persatu anak perusahaan kita di akuisisi oleh Bagus. Kita harus lebih waspada kedepannya. Kemarin banyak seka
Darmi berjalan ke arah ruang baca mengetuk pintu, tak ada jawaban. "Nyonya?" wanita tua ini membuka ruang baca, tetapi tak ada siapapun. "Kebiasaan nggak mau matiin lampu," ujar Darmi menekan saklar mematikan lampu. Setelah itu gegas dia keluar dari ruang baca menuju kamar tidurnya. Fina mebangunkan tubuh dari bawah meja, dia bersembunyi di sini demi melancarkan aksinya. Perlahan dia langkahkan kaki menuju pintu karna ruangan ini begitu gelap, tak ada pencahayaan sama sekali, Fina berjalan dengan meraba tembok.Setelah sampai di depan ruang kerja, Fina menekan jantungnya yang berdegup cukup keras. Netranya awas. Rupanya malam ini dia akan bisa menaklukkan Damar. Bibirnya tersungging licik. Bayangan-bayangan berbagi peluh dengan Damar sudah terlintas di otak kotornya. Fina sudah menyusun rencana ini dengan cukup matang, sebotol spray sudah ada di dalam genggamannya, begitu dia menyemprotkan cairan ini Damar akan segera tak sadarkan diri dan Fina dapat melakukan apapun yang dia ingink
"Mas kamu kenapa pingsan di ruang kerja?" tanya Nisa, mengusap kepala Damar. "Lagian masih cape udah turun. Untung Nisa turun, ambil minum."Damar hanya diam, tak menanggapi ucapan Nisa, "Jam berapa ini Nis?" tanya Damar. "Udah mau subuh, mas mau mandi?" tanya Nisa. "Nanti, kepala mas masih sakit. Sini tidur sampe subuh." Damar menarik tubuh Nisa pada pelukannya. Isi kepala lelaki tampan ini berfikir, punya rencana apa Fina. Damar tidak sabaran menunggu pagi datang. "Mbok!! Fina belum sarapan?" tanya Damar pagi ini sudah duduk di meja makan dengan menggunakan pakaian eksekutif muda. Sungguh terlihat tampan dan berkharisma. "Pagi-pagi sekali nyonya sudah pergi, Den," jawab Darmi. "Ngapain nyariin Fina, Mas?" tanya Nisa masam. Damar tersenyum kikuk. "Iya juga ngapain nanyain Fina di sini," monolognya. "Kamu semalem pingsan, libur kerja aja!" ujar Nisa. "Di rumah ada kamu, mana bisa libur, Nis," jawab Damar, memulai santap paginya."Iisshhh ... Kamu pikirannya mesum terus," ujar
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal