"Halaahhh ... Mas Damar apa Non Nisa yang kangen?" ujar Darmi, terus melayangkan candaan. Mendengar Darmi terus menggodanya Nisa langsung melesat meninggalkan Darmi. Nisa membuka pintu kamar perlahan, tak ada lelakinya di dalam sini. Wanita cantik ini mendekat ke arah balkon, dia lihat Damar sedang duduk termenung. Nisa diam beberapa saat memperhatikan seluit wajah suaminya yang terlihat sendu, seperti sedang memikirkan beban berat. Atau dia begitu merindukan Kirana, batin Nisa. Nisa berbalik menuju ranjang, lalu menaiki ranjang menunggu Damar selesai dengan kesendiriannya. Tetapi lama Nisa tunggu tak ada pergerakan dari Damar untuk meninggalkan tempatnya duduk. Nisa kembali turun dari ranjang tetapi belum sempat dia mendekati Damar, ponsel lelaki itu berdering. Nisa mengurungkan langkah sesaat, mendengar obrolan Damar. "Atur semua dengan baik Ron, aku nggak mau satu persatu anak perusahaan kita di akuisisi oleh Bagus. Kita harus lebih waspada kedepannya. Kemarin banyak seka
Darmi berjalan ke arah ruang baca mengetuk pintu, tak ada jawaban. "Nyonya?" wanita tua ini membuka ruang baca, tetapi tak ada siapapun. "Kebiasaan nggak mau matiin lampu," ujar Darmi menekan saklar mematikan lampu. Setelah itu gegas dia keluar dari ruang baca menuju kamar tidurnya. Fina mebangunkan tubuh dari bawah meja, dia bersembunyi di sini demi melancarkan aksinya. Perlahan dia langkahkan kaki menuju pintu karna ruangan ini begitu gelap, tak ada pencahayaan sama sekali, Fina berjalan dengan meraba tembok.Setelah sampai di depan ruang kerja, Fina menekan jantungnya yang berdegup cukup keras. Netranya awas. Rupanya malam ini dia akan bisa menaklukkan Damar. Bibirnya tersungging licik. Bayangan-bayangan berbagi peluh dengan Damar sudah terlintas di otak kotornya. Fina sudah menyusun rencana ini dengan cukup matang, sebotol spray sudah ada di dalam genggamannya, begitu dia menyemprotkan cairan ini Damar akan segera tak sadarkan diri dan Fina dapat melakukan apapun yang dia ingink
"Mas kamu kenapa pingsan di ruang kerja?" tanya Nisa, mengusap kepala Damar. "Lagian masih cape udah turun. Untung Nisa turun, ambil minum."Damar hanya diam, tak menanggapi ucapan Nisa, "Jam berapa ini Nis?" tanya Damar. "Udah mau subuh, mas mau mandi?" tanya Nisa. "Nanti, kepala mas masih sakit. Sini tidur sampe subuh." Damar menarik tubuh Nisa pada pelukannya. Isi kepala lelaki tampan ini berfikir, punya rencana apa Fina. Damar tidak sabaran menunggu pagi datang. "Mbok!! Fina belum sarapan?" tanya Damar pagi ini sudah duduk di meja makan dengan menggunakan pakaian eksekutif muda. Sungguh terlihat tampan dan berkharisma. "Pagi-pagi sekali nyonya sudah pergi, Den," jawab Darmi. "Ngapain nyariin Fina, Mas?" tanya Nisa masam. Damar tersenyum kikuk. "Iya juga ngapain nanyain Fina di sini," monolognya. "Kamu semalem pingsan, libur kerja aja!" ujar Nisa. "Di rumah ada kamu, mana bisa libur, Nis," jawab Damar, memulai santap paginya."Iisshhh ... Kamu pikirannya mesum terus," ujar
Sesedih apapun ekspresi Fina tak membuat Damar simpati, atau kasihan. Pria ini mendengkus kasar. "Aku ingin tau kenapa kamu melakukan itu?" tanya Damar masih dengan wajah tegang menahan amarah. "Aku nggak mau pergi dari rumah itu, waktuku dua minggu lagi di rumah itu, karna si Chandra tua bangka telah menceraikan aku," ujar Fina dengan suara bergetar. Kening Damar mengernyit, dia sama sekali tidak tau ada permasalahan apa antara Chandra dan Fina. Permasalahan yang dia hadapi begitu kompleks belakangan ini. "Akhirnya Papah sadar siapa kamu?" tanya Damar dengan wajah menghina. Fina hanya menundukkan kepala mendapati tatapan Damar yang penuh permusuhan. "Lalu, apa yang kamu lakukan saat aku tak sadarkan diri?"Fina terlihat gelisah, dia menggeser bokong beberapa kali. "Katakan!!" bentak Damar lagi. "A-aku belum melakukan apapun, memang aku berniat emmm ... Tapi Nisa keburu datang," ujar Fina gugup. "Anggap saja aku percaya, kesinikan ponselmu." Damar memerintahkan Fina menyerah
Mobil melaju membelah kota Jakarta. Siang ini kota Jakarta di guyur hujan, membuat jalan padat merayap tak ada pergerakan sama sekali. "Pak, lewat tol aja, nggak bergerak sama sekali jalanannya," ujar Damar. Pak supir mengangguk, mengamati arah jalan menuju masuk pintu tol. Ini lah kondisi kota Jakarta, semakin di perlebar jalan semakin banyak pula penjualan mobil yang dilakukan dealer mobil. Banyak kebijakan yang di berlakukan pemerintah untuk mengendalikan kemacetan, tetapi sepertinya sia-sia, kebijakan ganjil genap pun seperti tak berefek, karna para pemilik uang akan mengakali dengan membeli mobil dengan plat yang di butuhkan. Nisa duduk di pangkuan Damar. "Mas aku duduk di situ aja," Nisa menunjuk bangku kosong, di sebelah Damar duduk. "Sini aja, mas pengen deket-deket sama kamu," ujar Damar, mengendus leher Nisa. "Kamu mau bulan madu lagi nggak?" tanya Damar. "Dulu mas memgecewakan kamu, sekarang mau mas ganti," ucap Damar, terus menyesap leher Nisa. Nisa mendorong muka Da
Chandra sudah duduk bersebelahan dengan Nisa, Damar duduk di sebelah Pak supir. "Udah nyaman Pah?" tanya Nisa. Chandra mengangguk. Mobil pun melaju perlahan, membelah jalan Kota Jakarta. Tak berapa lama mobil hitam terparkir di depan rumah tak sebesar rumah yang ditinggali Nisa. "Pah ayo turun dulu, kita ketemu sama ibunya almarhum Kak Kirana," ajak Nisa. Chandra pun turun, menemui Murni, berbincang sejenak, beberapa pakaian Fatta sudah di siapkan wanita setengah tua ini. "Nak, titip Fatta,"ucap Murni pada Nisa. Fatta masih di pangkuan wanita setengah tua ini. Nisa mengangguk, "Iya Bu, saya juga sayang sama Fatta," ujar Nisa. Lalu Murni menatap Damar, "Nak Damar, kalau lagi jalan-jalan ke Bandung, mampir ke rumah Ibu," ucap Murni, sedih. Dia berasa kehilangan dua anak sekaligus, juga kehilangan cucu. "Nanti Ambu kalo kangen Fatta boleh ya nengok ke rumah, Nak Nisa." Murni berkata gerogi, pasalnya dia hanya orang kampung, tanpa adanya Damar mungkin dia masih menjadi wanita tua
"Pah ikut jalan-jalan ke Mall, kita refresing," ajak Nisa pada Chandra. "Papah di rumah saja," jawab lelaki tua ini. "Mau ngapain di rumah? Oh iya, Mamih kenapa sekarang tidur di kamar tamu?" tanya Nisa. "Nisa udah lama mau nanya lupa mulu."Chandra melirik pada Nisa. "Kamu belum tau?" tanya Chandra pada putri cantiknya. Nisa menggeleng."Papah sudah menceraikan Fina," jawab Chandra pelan. Mulut Nisa ternganga tak percaya, "Kenapa Pah?" tanya Nisa. "Sudah sana kalau mau jalan-jalan, sama siapa?" tanya Chandra, mengalihkan pertanyaan Nisa mengapa Chandra mencerakan Fina, dia tak ingin membuka aib mantan istrinya itu."Sama Fatta, terus mau sampai kapan Mamih di sini Pah?" tanya Nisa, "Papah sudah bercerai nggak baik tinggal serumah. "Semingguan lagi, selama masa idah papah masih wajib menanggung semua kebutuhan Fina," ujar Chandra. "Setelah ini mau tinggal di mana Mamih?" tanya Nisa, dia memang memiliki hati bersih, masih juga memikirkan Fina yang selama ini telah merebut Chand
Rumah terasa hangat. Baby Attala di ayun oleh Atun. Fatta sedang asik menjajar mainan yang tadi siang dia beli bermain bersama Kila, Nisa duduk menikmati film kesukaannya, Chandra duduk di sebelah Nisa. "Mama, ini aku buatin buger!" Fatta menyerahkan burger mainan kepada Nisa. "Oohh ... Makasih, buat Opa mana? Kok mamah doang yang di kasih?" ujar Nisa. "Sebentar Fatta buatkan sosis jumbo buat Opa!" ujar gadis kecil ini sedikit berlari ke tempat dia menjejer mainannya tadi. "Sekalian minum Fatta," ujar Nisa terkikik. Chandra hanya tersenyum melihat kelakuan putrinya, ternyata tak serumit kelihatannya, walau Nisa mengasuh dua anak Damar dan Kirana, tetapi Damar tak membiarkan istri kecilnya lelah, lelaki tampan ini menyiapkan beberapa pengasuh untuk menangani dua anaknya. Selama ini Nisa belum pernah memandikan atau hanya membuatkan susu Atalla, Nisa hanya sebagai status Mamah untuk kedua putra putri Damar. Sesekali Nisa menggendong Attala, bagaimanapun Nisa ingin mempun