"Halaahhh ... Mas Damar apa Non Nisa yang kangen?" ujar Darmi, terus melayangkan candaan.
Mendengar Darmi terus menggodanya Nisa langsung melesat meninggalkan Darmi. Nisa membuka pintu kamar perlahan, tak ada lelakinya di dalam sini. Wanita cantik ini mendekat ke arah balkon, dia lihat Damar sedang duduk termenung. Nisa diam beberapa saat memperhatikan seluit wajah suaminya yang terlihat sendu, seperti sedang memikirkan beban berat. Atau dia begitu merindukan Kirana, batin Nisa. Nisa berbalik menuju ranjang, lalu menaiki ranjang menunggu Damar selesai dengan kesendiriannya. Tetapi lama Nisa tunggu tak ada pergerakan dari Damar untuk meninggalkan tempatnya duduk. Nisa kembali turun dari ranjang tetapi belum sempat dia mendekati Damar, ponsel lelaki itu berdering. Nisa mengurungkan langkah sesaat, mendengar obrolan Damar. "Atur semua dengan baik Ron, aku nggak mau satu persatu anak perusahaan kita di akuisisi oleh Bagus. Kita harus lebih waspada kedepannya. Kemarin banyak sekali masalah yang aku terima jadi aku sampe nggak fokus. Mulai besok kita harus lebih hati-hati dan lebih baik." setelah menutup ponsel. Damar kembali diam. Menatap ponselnya entah apa yang sedang dia lihat di dalam ponsel itu. Nisa mendekat. "Mas." Wanita muda ini merangkul pundak Damar dari belakang. Melirik pada ponsel Damar. Jantungnya berdesir, rasa ini masih tersisa, rasa cemburu di hati Nisa pada wanita yang telah tiada ini, belum bisa menghilang. "Dia udah nggak ada Nis, udah jangan cemburu terus. Biarin Damar liatin fotonya, mungkin dia lagi kangen," ujar Nisa dalam hati. "Tapi ngapain juga Damar masih ngeliatin fotonya, orangnya udah nggak ada, nggak bakalan juga dia dateng lagi. Bikin kesel aja," ujar dalam hati, Nisa yang lain. Nisa menyelusupkan wajah di tengkuk Damar, lelaki ini lekas mematikan ponsel dan menaruh di atas meja. "Kok belum tidur?" ujar Damar. "Kelonin ...." Suara manja Nisa membuat Damar tersenyum. "Mas masih ada kerjaan, ini mau turun ke bawah," ujar Damar, mengelus wajah Nisa yang masih berada di pundaknya. "Emmm ...." Nisa melonggarkan pelukan, berbalik meninggalkan lelakinya yang tak bergeming dari tempat dia duduk. Nisa memberi ruang pada Damar,mungkin saat ini lelakinya sedang di timpa permasalahan rumit di kantor. Nisa pun malu mau berkata, aku abis minum ramuan biar jreng, Mas. Akhirnya wanita ini menahan hasrat yang semakin terasa menggelora. Tubuhnya gelisah tetapi sungguh dia malu untuk mengajak Damar enak-enak terlebih dahulu. Setelah beberapa saat, lelaki ini menghampiri Nisa yang belum juga terlelap. "Nis, mas ke bawah dulu, jangan tungguin mas. Kerjakan banyak banget, kayanya larut malam mas baru naik," ujar Damar menatap wanitanya yang kini sedang mengerjapkan mata. Ingin rasanya Nisa memeluk Damar saat ini, tapi entah kenapa ada rasa gengsi dan malu kali ini. Nisa hanya bisa menganggukkan kepala, terpaksa. "Terpaksa banget, 'Kan mas nggak sering lembur. Mas di bawah kok, kalo kamu butuh apa-apa telpon aja," ujar Damar, melirik telpon rumah yang tersambung ke setiap ruangan. Lagi Nisa hanya mengangguk kaku. Damar mengacak rambut Nisa, lalu mencium kening wanita muda ini. Nisa memejamkan mata, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah Damar pergi Nisa berusaha memejamkan mata, tetapi nihil, dia tak kunjung bisa tertidur. Damar menuruni anak tangga, ruangan luas dengan arsitektur elegan ini, kini minim cahaya Karna lampu utama sudah dipadamkan. Lelaki atletis ini menuju ruang kantor. Fina melihat Damar. Dia berniat mengikuti masuk ke dalam ruangan tadi Damar masuk. Namun ketika tangannya menyentuh handle pintu suara Darmi menginterupsi tindakannya. "Nyonya!!" "Eh Mbok! Belum tidur?" tanya Fina gugup. "Kenapa nenek tua ini masih berkeliaran," ujar Fina dalam hati. "Mau ngapain masuk ruang kerja Den Damar?" tanya Darmi menelisik. "Emmm ... Saya salah masuk Mbok, saya mau masuk kamar baca." Fina maju beberapa langkah menuju pintu sebelah, lalu masuk ke dalam. Darmi hanya menghela nafas, "Nggak ada kapoknya Fina menggoda lelaki muda," monolog Darmi. Dia mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. "Den ini Mbok buatkan ramuan penyubur, biar Non Nisa cepet mengandung, mbok kepingin liat cicit," ujar Darmi menyerahkan segelas minuman berwarna keruh pada Damar. Damar mengernyitkan dahi, lalu tersenyum lembut, "Saya nggak suka jamu, Mbok. Hidup saya sudah pahit, jadi enggan minum yang pahit-pahit." "Cobain dulu, tadi Non Nisa udah minum. Den Damar palah turun," ujar Darmi, bukan tanpa sebab dia membuatkan Damar ramuan itu. Darmi merasa khawatir pada nonanya, pasti Nisa sekarang sedang merana karna Damar turun sehabis dia menenggak minuman pemberiannya tadi. Sebab itu Darmi juga membuatkan Damar minuman ini agar merasakan apa yang sekarang Nisa rasakan. Dan Damar segera menemui Nisa. Akhirnya Damar pun menenggak minuman pemberian Darmi. "Oh iya Mbok rasanya manis," ujar Damar kembali fokus pada layar laptopnya. Darmi pun undur diri, dia menutup pintu lalu melirik pada ruang baca tadi Fina masuk, Fina masih di dalam terlihat dari celah bawah pintu, lampu masih menyala. Dari dalam tempat Fina berada dia menajamkan pendengaran, pintu ruang kerja terdengar di tutup keras. Fina sedikit mengintip seluit bayangan keluar dari sana. Lagi Fina mencari keberadaan Darmi apakah wanita tua ini sudah masuk ke dalam kamarnya atau belum, Fina merasa geram karna Chandra memberikan wewenang khusus pada Darmi untuk mengawasinya. Fina menunggu Darmi masuk ke dalam kamarnya sedikit lama. Hingga Fina tersenyum sumringah, "Bisa juga aku berduaan sama Damar malam ini." Hai readers. Terimakasih masih setia ngikutin kisah Damar Nisa. Ayo tebak, apakah akhirnya Fina berhasil mendapatkan Damar? Jangan lupa kasih ulasan bintang 5 dan komen terbaik,juga beri vote sebanyak banyaknya untuk mendukung buku ini. Terimakasih. Salam hangat. Salam literasi.Darmi berjalan ke arah ruang baca mengetuk pintu, tak ada jawaban. "Nyonya?" wanita tua ini membuka ruang baca, tetapi tak ada siapapun. "Kebiasaan nggak mau matiin lampu," ujar Darmi menekan saklar mematikan lampu. Setelah itu gegas dia keluar dari ruang baca menuju kamar tidurnya. Fina mebangunkan tubuh dari bawah meja, dia bersembunyi di sini demi melancarkan aksinya. Perlahan dia langkahkan kaki menuju pintu karna ruangan ini begitu gelap, tak ada pencahayaan sama sekali, Fina berjalan dengan meraba tembok.Setelah sampai di depan ruang kerja, Fina menekan jantungnya yang berdegup cukup keras. Netranya awas. Rupanya malam ini dia akan bisa menaklukkan Damar. Bibirnya tersungging licik. Bayangan-bayangan berbagi peluh dengan Damar sudah terlintas di otak kotornya. Fina sudah menyusun rencana ini dengan cukup matang, sebotol spray sudah ada di dalam genggamannya, begitu dia menyemprotkan cairan ini Damar akan segera tak sadarkan diri dan Fina dapat melakukan apapun yang dia ingink
"Mas kamu kenapa pingsan di ruang kerja?" tanya Nisa, mengusap kepala Damar. "Lagian masih cape udah turun. Untung Nisa turun, ambil minum."Damar hanya diam, tak menanggapi ucapan Nisa, "Jam berapa ini Nis?" tanya Damar. "Udah mau subuh, mas mau mandi?" tanya Nisa. "Nanti, kepala mas masih sakit. Sini tidur sampe subuh." Damar menarik tubuh Nisa pada pelukannya. Isi kepala lelaki tampan ini berfikir, punya rencana apa Fina. Damar tidak sabaran menunggu pagi datang. "Mbok!! Fina belum sarapan?" tanya Damar pagi ini sudah duduk di meja makan dengan menggunakan pakaian eksekutif muda. Sungguh terlihat tampan dan berkharisma. "Pagi-pagi sekali nyonya sudah pergi, Den," jawab Darmi. "Ngapain nyariin Fina, Mas?" tanya Nisa masam. Damar tersenyum kikuk. "Iya juga ngapain nanyain Fina di sini," monolognya. "Kamu semalem pingsan, libur kerja aja!" ujar Nisa. "Di rumah ada kamu, mana bisa libur, Nis," jawab Damar, memulai santap paginya."Iisshhh ... Kamu pikirannya mesum terus," ujar
Sesedih apapun ekspresi Fina tak membuat Damar simpati, atau kasihan. Pria ini mendengkus kasar. "Aku ingin tau kenapa kamu melakukan itu?" tanya Damar masih dengan wajah tegang menahan amarah. "Aku nggak mau pergi dari rumah itu, waktuku dua minggu lagi di rumah itu, karna si Chandra tua bangka telah menceraikan aku," ujar Fina dengan suara bergetar. Kening Damar mengernyit, dia sama sekali tidak tau ada permasalahan apa antara Chandra dan Fina. Permasalahan yang dia hadapi begitu kompleks belakangan ini. "Akhirnya Papah sadar siapa kamu?" tanya Damar dengan wajah menghina. Fina hanya menundukkan kepala mendapati tatapan Damar yang penuh permusuhan. "Lalu, apa yang kamu lakukan saat aku tak sadarkan diri?"Fina terlihat gelisah, dia menggeser bokong beberapa kali. "Katakan!!" bentak Damar lagi. "A-aku belum melakukan apapun, memang aku berniat emmm ... Tapi Nisa keburu datang," ujar Fina gugup. "Anggap saja aku percaya, kesinikan ponselmu." Damar memerintahkan Fina menyerah
Mobil melaju membelah kota Jakarta. Siang ini kota Jakarta di guyur hujan, membuat jalan padat merayap tak ada pergerakan sama sekali. "Pak, lewat tol aja, nggak bergerak sama sekali jalanannya," ujar Damar. Pak supir mengangguk, mengamati arah jalan menuju masuk pintu tol. Ini lah kondisi kota Jakarta, semakin di perlebar jalan semakin banyak pula penjualan mobil yang dilakukan dealer mobil. Banyak kebijakan yang di berlakukan pemerintah untuk mengendalikan kemacetan, tetapi sepertinya sia-sia, kebijakan ganjil genap pun seperti tak berefek, karna para pemilik uang akan mengakali dengan membeli mobil dengan plat yang di butuhkan. Nisa duduk di pangkuan Damar. "Mas aku duduk di situ aja," Nisa menunjuk bangku kosong, di sebelah Damar duduk. "Sini aja, mas pengen deket-deket sama kamu," ujar Damar, mengendus leher Nisa. "Kamu mau bulan madu lagi nggak?" tanya Damar. "Dulu mas memgecewakan kamu, sekarang mau mas ganti," ucap Damar, terus menyesap leher Nisa. Nisa mendorong muka Da
Chandra sudah duduk bersebelahan dengan Nisa, Damar duduk di sebelah Pak supir. "Udah nyaman Pah?" tanya Nisa. Chandra mengangguk. Mobil pun melaju perlahan, membelah jalan Kota Jakarta. Tak berapa lama mobil hitam terparkir di depan rumah tak sebesar rumah yang ditinggali Nisa. "Pah ayo turun dulu, kita ketemu sama ibunya almarhum Kak Kirana," ajak Nisa. Chandra pun turun, menemui Murni, berbincang sejenak, beberapa pakaian Fatta sudah di siapkan wanita setengah tua ini. "Nak, titip Fatta,"ucap Murni pada Nisa. Fatta masih di pangkuan wanita setengah tua ini. Nisa mengangguk, "Iya Bu, saya juga sayang sama Fatta," ujar Nisa. Lalu Murni menatap Damar, "Nak Damar, kalau lagi jalan-jalan ke Bandung, mampir ke rumah Ibu," ucap Murni, sedih. Dia berasa kehilangan dua anak sekaligus, juga kehilangan cucu. "Nanti Ambu kalo kangen Fatta boleh ya nengok ke rumah, Nak Nisa." Murni berkata gerogi, pasalnya dia hanya orang kampung, tanpa adanya Damar mungkin dia masih menjadi wanita tua
"Pah ikut jalan-jalan ke Mall, kita refresing," ajak Nisa pada Chandra. "Papah di rumah saja," jawab lelaki tua ini. "Mau ngapain di rumah? Oh iya, Mamih kenapa sekarang tidur di kamar tamu?" tanya Nisa. "Nisa udah lama mau nanya lupa mulu."Chandra melirik pada Nisa. "Kamu belum tau?" tanya Chandra pada putri cantiknya. Nisa menggeleng."Papah sudah menceraikan Fina," jawab Chandra pelan. Mulut Nisa ternganga tak percaya, "Kenapa Pah?" tanya Nisa. "Sudah sana kalau mau jalan-jalan, sama siapa?" tanya Chandra, mengalihkan pertanyaan Nisa mengapa Chandra mencerakan Fina, dia tak ingin membuka aib mantan istrinya itu."Sama Fatta, terus mau sampai kapan Mamih di sini Pah?" tanya Nisa, "Papah sudah bercerai nggak baik tinggal serumah. "Semingguan lagi, selama masa idah papah masih wajib menanggung semua kebutuhan Fina," ujar Chandra. "Setelah ini mau tinggal di mana Mamih?" tanya Nisa, dia memang memiliki hati bersih, masih juga memikirkan Fina yang selama ini telah merebut Chand
Rumah terasa hangat. Baby Attala di ayun oleh Atun. Fatta sedang asik menjajar mainan yang tadi siang dia beli bermain bersama Kila, Nisa duduk menikmati film kesukaannya, Chandra duduk di sebelah Nisa. "Mama, ini aku buatin buger!" Fatta menyerahkan burger mainan kepada Nisa. "Oohh ... Makasih, buat Opa mana? Kok mamah doang yang di kasih?" ujar Nisa. "Sebentar Fatta buatkan sosis jumbo buat Opa!" ujar gadis kecil ini sedikit berlari ke tempat dia menjejer mainannya tadi. "Sekalian minum Fatta," ujar Nisa terkikik. Chandra hanya tersenyum melihat kelakuan putrinya, ternyata tak serumit kelihatannya, walau Nisa mengasuh dua anak Damar dan Kirana, tetapi Damar tak membiarkan istri kecilnya lelah, lelaki tampan ini menyiapkan beberapa pengasuh untuk menangani dua anaknya. Selama ini Nisa belum pernah memandikan atau hanya membuatkan susu Atalla, Nisa hanya sebagai status Mamah untuk kedua putra putri Damar. Sesekali Nisa menggendong Attala, bagaimanapun Nisa ingin mempun
Setelah Attala kembali tidur, Damar dan Nisa keluar kamar, Nisa menggelayut manja pada Damar. "Nisa pengen di gendong juga." Damar memalingkan wajah menatap wajah Nisa, bola mata Nisa mengerjab, penuh rajukan. "Iihhh ... Kaya Fatta aja." Damar menarik hidung Nisa. Lalu berjongkok. "Ayo gendong belakang." Nisa langsung menaiki punggung Damar. Perlahan lelaki tampan ini bagun, "Ya Allah semakin berat, ini berat lemak apa berat dosa," ujar Damar. Nisa mencubit dada Damar. "Enak aja berat Dosa, kamu yang banyak dosanya," Nisa berkata judes. "Ya ... tadi Fatta beli mainan berapa? Jujur?" tanya Damar, sambil menaruh bobot tubuh Nisa di pembaringan. He he he ... Nisa tersenyum canggung. "Ayo jawab jujur?" tanya Damar lagi, menatap wajah istri kecilnya penuh selidik. "Nisa mau ke kamar mandi dulu, Mas." wanita cantik ini turun dari ranjang. Membersihkan badan, lalu menggunakan pakaian penggoda yang sudah dia siapkan. Nisa keluar dari kamar mandi, dia lihat lelakinya suda
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal