Setelah Attala kembali tidur, Damar dan Nisa keluar kamar, Nisa menggelayut manja pada Damar. "Nisa pengen di gendong juga." Damar memalingkan wajah menatap wajah Nisa, bola mata Nisa mengerjab, penuh rajukan. "Iihhh ... Kaya Fatta aja." Damar menarik hidung Nisa. Lalu berjongkok. "Ayo gendong belakang." Nisa langsung menaiki punggung Damar. Perlahan lelaki tampan ini bagun, "Ya Allah semakin berat, ini berat lemak apa berat dosa," ujar Damar. Nisa mencubit dada Damar. "Enak aja berat Dosa, kamu yang banyak dosanya," Nisa berkata judes. "Ya ... tadi Fatta beli mainan berapa? Jujur?" tanya Damar, sambil menaruh bobot tubuh Nisa di pembaringan. He he he ... Nisa tersenyum canggung. "Ayo jawab jujur?" tanya Damar lagi, menatap wajah istri kecilnya penuh selidik. "Nisa mau ke kamar mandi dulu, Mas." wanita cantik ini turun dari ranjang. Membersihkan badan, lalu menggunakan pakaian penggoda yang sudah dia siapkan. Nisa keluar dari kamar mandi, dia lihat lelakinya suda
Setelah semua menyelesaikan makan, Chandra mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang keluarga. Fina mulai gelisah pasti saat ini Chandra akan mengumumkan perceraian mereka. Semua keluarga termasuk semua pelayan mendekat, mencari tempat duduk ternyaman. Setelah semua duduk, Chandra mulai mengutarakan maksud mengumpulkan mereka. Fina yang duduk di sebelah Chandra semakin gelisah ketika Chandra berbicara pada inti permasalahan. "Pah, maafin mamih," Fina tak bisa menahan tangisnya. "Pah! Kenapa harus ada perceraian? Apa nggak bisa di bicarakan secara baik-baik," tanya Nisa. "Pah, kita rujuk, mamih nggak mau pisah dari papah, mamih nggak bisa hidup tanpa papah!" ujar Fina, sesenggukan. Damar tak memberikan respon apapun, wajahnya datar, dia bersyukur Chandra cepat mengambil keputusan ini, Fina harus di singkirkan dari kehidupan mereka, jika Fina masih berada di sini hanya akan menjadi duri dalam daging. Perangai wanita ini tak akan berubah sampai kapan pun.
Mereka menikmati pagi di taman, mengisi liburan Damar dengan mengeratkan keharmonisan, mencoba menjalin kehangatan di keluarga kecil ini, senyum terukir indah di bibir kedua sejoli ini. Nisa mengangkat bayi gembul dari kereta dorong, lalu memangku Attala. Tangan mungil mencoba menggapai wajah Nisa, bibir mungil merekah, netra bulat beriris bersih mengerjab memandang Nisa. Setiap melihat netra bersih ini, Nisa langsung memgingat Kirana. Tatapan bayi kecil ini sama persis seperti tatapan Kirana. Sesekali mulut Nisa mengecup tangan mungil yang mengenai pipinya. Damar di sampingnya mengajak bicara bayi gembul dalam gendongan Nisa. Berusaha menjalin kedekatan atas pertemuan yang sedikit dengan anak-anaknya. Banyak pedagang dadakan mangkal di dekat taman ini, Damar menawari Nisa beberapa makanan yang mungkin tak pernah Nisa makan atau temui. "Kamu di sini dulu, mas beliin makanan, kamu pengen apaan?" tanya Damar. "Apa aja, terserah, Nisa bingung itu tukang apa aja," ujar Nisa.
Pintu kamar Fina tak tertutup rapat, Nisa masuk menghampiri Darmi yang berdiri di tepi ranjang, seorang dokter wanita sedang memeriksa Fina, wanita seksi ini terlihat pucat tidak seperti biasanya. "Mamih kenapa Mbok?" bisik Nisa, pada wanita tua ini. Darmi menggeleng, "belum ketauan Non. Udah semingguan Nyonya keliatan nggak bergairah, jarang pergi-pergi, katanya lemes." Dokter perempuan berhijab yanh sedang memeriksa Fina tersenyum. "Ibu kapan terakhir datang bulan?" Mata Fina memincing, berusaha mengingat, wanita yang sudah berumur kepala empat ini menggeleng. "Saya nggak perhatikan Dok, saya lupa," jawabnya. "Tapi masih lancar datang bulan 'kan?" tanya Dokter wanita ini. "Masih Dok," jawab Fina. "Bisa bangun ke kamar mandi nggak?" tanya Dokter wanita ini. "Mau ngapain, Dok?" tanya Fina. "Saya butuh urin, untuk ini." Dokter perempuan ini memperlihatkan alat tes kehamilan pada Fina. Kepala Fina menggeleng keras. "Nggak Dok! Jangan bilang saya hamil, saya
"Ayahhh ... Aku mau di gendong juga," Fatta mendekap kaki Damar. Damar menengok pada Kila, meng kode dengan tatapan mata agar mengajak Fatta. Tetapi Fatta enggan melepaskan kaki ayahnya. Nisa segera turun dari gendongan lelaki atletis ini. Lalu menunduk menatap Fatta. "Kok belum tidur?" tanya Nisa. Fatta menggeleng."Minta ke kamar Non Nisa, nggak mau tidur dari tadi," Kila menjawab. "Kenapa nggak bisa tidur?" tanya Nisa. "Kangen Bunda," jawab Fatta matanya berembun. Nisa yang sedang berjongkok mendongak menatap Damar. "Mau tidur sama mama?" Tanya Nisa. Seketika senyum di bibir Fatta terbit. Kepalanya mengangguk, netranya memandang netra Nisa penuh harap, berharap Nisa dan Damar mengijinkan. Nisa memberikan senyum terindah, tangannya menggandeng tangan mungil Fatta, "Yuk, tapi nggak boleh sering-sering, ya," ujar Nisa. Fatta mengangguk. Damar terbengong masih berdiri di depan pintu, "Kok di bawa masuk? Kan mas mau membuktikan sesuatu Nis!" ujar Damar dalam hati. Mengikuti Nisa
"Non, ini susunya." Nisa yang sedang rebahan menikmati tontonan di layar segi empat ini mendongak. "Taroh di meja, Mbak," ujar Nisa, masih enggan bangun dari mode rebahan. "Papah udah minum obat, Mbak?" tanya Nisa pada Marni. "Udah Non. Tadi, Tuan. Langsung tidur lagi," jawab Marni. "Mas Damar masih di ruang kerja?" tanya Nisa lagi. "Kayanya tadi udah naik ke kamar Non," jawab Marni. "Kok nggak manggil Nisa," ujar wanita muda ini, bangun dari rebahan, meraih gelas susu lalu meminum perlahan. "Ngapain sih Mbak, pake bikinin Nisa susu terus," ujar Nisa sedikit kesal. "Suruh Den Damar, Non. Katanya biar Non Nisa sehat," jawab Marni pelan. "Nih." Nisa menyerahkan gelas yang sudah kosong, besok ganti rasanya Mbak, bosen Nisa," ujar wanita muda ini. "Iya, Non. Nanti di belikan rasa coklat.""Fatta aja yang di buatin susu, Nisa udah nggak usah lagi." Tanpa menunggu Marni menjawab Nisa meninggalkan wanita yang selalu setia melayani nyaNisa memanyunkan bibir, saat masuk kamar, Damar
Lain di taman, lain pula di dalam kamar. Kamar luas dengan cat tembok berwarna salem, berseprei senada dengan nuansa kamar, milik wanita cantik yang kini sudah dapat menaklukkan lelaki dambaan sejak dia masih terbilang kecil. Tangan wanita cantik ini kini sudah terampil memasangkan dasi pada leher kokoh lelaki bergelar suaminya. Damar mendongakkan wajah saat jemari Nisa menarik simpul dasi agar pas di leher. "Perfect," ucap Alfathunisa ketika selesai memasang simpul dasi dengan rapih. Setelah itu mengambilkan jas lalu memakaikan di tubuh tegap lelakinya. Wajah yang memang tampan di tambah stile elegan menambah ketampanan lelaki atletis ini. "Terimakasih," selalu ucapan ini yang Damar layangkan setiap Nisa selesai membantunya memakai atribut kebesaran setiap pagi, setelah itu Damar selalu mengecup mesra bibir merona wanita cantik ini. Selalu setiap pagi, debar-debar indah bertalu di dada wanita cantik ini. Entah mengapa tubuhnya menghangat, mungkin pipinya merona merah, setiap Dama
Bel berdentang nyaring, waktu menunjukkan murid-murid sudah harus masuk ke dalam kelas. Kantin sekolah pun sudah terlihat sepi. Nisa dan Emran duduk di salah satu bangku di kantin sekolah."Nggak ada rencana ngajar lagi?" tanya Emran, menatap Nisa. "Belum kayanya, Pak," jawab Nisa, menyungginggkan senyum. "Padahal sekolah lagi butuh tenaga pengajar," ujar Emran lagi. Mengambil cangkir kopi menyesap perlahan. "Nisa butuh izin dari paduka raja, Pak." Nisa terkekeh. Emran tertawa sumbang, "Damar memperlakukan Dek Nisa baik, Kan?" tanya Emran menelisik wajah Nisa. "Baik, Pak, Mas Damar 'Kan teman saya dari kecil." Hhmmm ... Emran menganggukkan kepala. Menatap Nisa sendu, entah kenapa dia begitu tertarik pada wanita bersuami ini. Padahal Bagus sudah memperingati jangan ganggu milik Damar. Dan entah mengapa setiap milik Damar kenapa Emran begitu tertarik. Sesaat pikiran Emran berkelana ke masa lalu, Damar memang tipe lelaki bersahaja, dia tidak pernah tebar pesona atau cari perhatian