"Non, ini susunya." Nisa yang sedang rebahan menikmati tontonan di layar segi empat ini mendongak. "Taroh di meja, Mbak," ujar Nisa, masih enggan bangun dari mode rebahan. "Papah udah minum obat, Mbak?" tanya Nisa pada Marni. "Udah Non. Tadi, Tuan. Langsung tidur lagi," jawab Marni. "Mas Damar masih di ruang kerja?" tanya Nisa lagi. "Kayanya tadi udah naik ke kamar Non," jawab Marni. "Kok nggak manggil Nisa," ujar wanita muda ini, bangun dari rebahan, meraih gelas susu lalu meminum perlahan. "Ngapain sih Mbak, pake bikinin Nisa susu terus," ujar Nisa sedikit kesal. "Suruh Den Damar, Non. Katanya biar Non Nisa sehat," jawab Marni pelan. "Nih." Nisa menyerahkan gelas yang sudah kosong, besok ganti rasanya Mbak, bosen Nisa," ujar wanita muda ini. "Iya, Non. Nanti di belikan rasa coklat.""Fatta aja yang di buatin susu, Nisa udah nggak usah lagi." Tanpa menunggu Marni menjawab Nisa meninggalkan wanita yang selalu setia melayani nyaNisa memanyunkan bibir, saat masuk kamar, Damar
Lain di taman, lain pula di dalam kamar. Kamar luas dengan cat tembok berwarna salem, berseprei senada dengan nuansa kamar, milik wanita cantik yang kini sudah dapat menaklukkan lelaki dambaan sejak dia masih terbilang kecil. Tangan wanita cantik ini kini sudah terampil memasangkan dasi pada leher kokoh lelaki bergelar suaminya. Damar mendongakkan wajah saat jemari Nisa menarik simpul dasi agar pas di leher. "Perfect," ucap Alfathunisa ketika selesai memasang simpul dasi dengan rapih. Setelah itu mengambilkan jas lalu memakaikan di tubuh tegap lelakinya. Wajah yang memang tampan di tambah stile elegan menambah ketampanan lelaki atletis ini. "Terimakasih," selalu ucapan ini yang Damar layangkan setiap Nisa selesai membantunya memakai atribut kebesaran setiap pagi, setelah itu Damar selalu mengecup mesra bibir merona wanita cantik ini. Selalu setiap pagi, debar-debar indah bertalu di dada wanita cantik ini. Entah mengapa tubuhnya menghangat, mungkin pipinya merona merah, setiap Dama
Bel berdentang nyaring, waktu menunjukkan murid-murid sudah harus masuk ke dalam kelas. Kantin sekolah pun sudah terlihat sepi. Nisa dan Emran duduk di salah satu bangku di kantin sekolah."Nggak ada rencana ngajar lagi?" tanya Emran, menatap Nisa. "Belum kayanya, Pak," jawab Nisa, menyungginggkan senyum. "Padahal sekolah lagi butuh tenaga pengajar," ujar Emran lagi. Mengambil cangkir kopi menyesap perlahan. "Nisa butuh izin dari paduka raja, Pak." Nisa terkekeh. Emran tertawa sumbang, "Damar memperlakukan Dek Nisa baik, Kan?" tanya Emran menelisik wajah Nisa. "Baik, Pak, Mas Damar 'Kan teman saya dari kecil." Hhmmm ... Emran menganggukkan kepala. Menatap Nisa sendu, entah kenapa dia begitu tertarik pada wanita bersuami ini. Padahal Bagus sudah memperingati jangan ganggu milik Damar. Dan entah mengapa setiap milik Damar kenapa Emran begitu tertarik. Sesaat pikiran Emran berkelana ke masa lalu, Damar memang tipe lelaki bersahaja, dia tidak pernah tebar pesona atau cari perhatian
Kota metropolitan, Kota impian, Kota dengan segala macam aktivitas, Kota dengan kepadatan penduduk, Kota dengan kesenjangan sosial yang tinggi. Ini lah kota Jakarta, setiap hari semua orang berjibaku berusaha menaklukkan isi dunia dengan segala daya dan usaha. Kesuksesan, ketenaran, nama baik, harta berlimpah, semua adalah impian setiap manusia. Bagi seorang lelaki Harta Tahta dan Wanita adalah hal utama dalam kehidupan mereka. Pencapaian terbaik bagi para lelaki adalah jika mereka sudah dapat menaklukkan ketiga hal ini. Damar si lelaki tampan nan kharismatik ini sibuk melakukan meteeng dengan para pemegang saham, membahas prospek masa depan kemajuan perusahaan yang dia pimpin. Dengan gagah lelaki ini ini berdiri menyampaikan progres kerja masa depan guna melebarkan sayap, berusaha menjadikan perusahaan mereka perusahaan terkuat di negri ini, mengikuti arus jaman dan tak akan goyah apapun terjangan jaman yang semakin maju. Tepuk tangan membahana mengisi ruangan setelah lelaki tamp
Seorang perawat telaten merawat Fina. Entah mengapa setelah terdeteksi hamil kondisi Fina semakin melemah, menurut Dokter ini adalah efek dari trismester awal kehamilan. Fina sama sekali tak bergairah menghadapi kehamilannya ini. Mungkin banyak pasangan di luaran sana yang mengharapkan keturunan tetapi tidak dengan Fina. Hati dan raga wanita ini begitu tersiksa atas kehamilan yang dia rasakan kini.Lain di hati Chandra, walau kecewa tetapi Chandra juga sedikit terhibur dengan kabar hamilnya Fina, terlihat dengan kesehatan Chandra yang berangsur pulih, biarpun kecewa dengan kelakuan Fina, tetapi Chandra berharap anak yang ada di dalam rahim Fina adalah anaknya. Akan semakin ramai rumahnya dengan tawa canda anak-anak, apalagi jika Nisa memiliki beberapa anak lagi. Maka akan semakin semarak isi rumah ini. Chandra menatap Fina dari balik pintu yang sedikit terbuka. Hatinya terenyuh melihat Fina yang dalam kondisi payah. Tubuhnya terlihat lemah, setiap apapun yang dia makan pasti akan di
"Ayahhh ...." Seperti biasa Fatta berlari menyambut kedatangan Damar. Lelaki yang walaupun lelah melanda, tetapi masih selalu tampan, langsung merenggangkan tangan menyambut gadis kecilnya, menggendong Fatta lalu mencium pipi tembem kemerahan milik putri kecilnya."Cantik banget anak ayah," ujar Damar, menatap penuh cinta pada gadis kecilnya. "Tadi abis pergi sama Mama," celoteh gadis kecil ini penuh binar. "Mama mana?" tanya Damar. "Nggak tau," jawab Fatta polos. "Opa juga nggak ada? Kamu main sama siapa?" tanya Damar, duduk di kursi ruang makan. 'Tuan barusan masuk kamar Den, kebelet katanya, ini di minum Den." Darmi menyerahkan segelas teh hangat, kebiasaan setiap pulang kerja selalu di sediakan minuman hangat ini. "Terimakasih, Mbok." Damar mengambil gelas menyeruput isinya perlahan. "Fatta mau?" tanya Damar pada gadis kecil yang ada di pangkuannya. Fatta mengangguk. Lalu Damar menyuapi gadis kecilnya. "Sudah? Sana main lagi sama dek Atta." Suruh Damar. "Ayah mandi dulu, n
Bab 1. Tak Percaya. "Lan, itu kaya mobil laki gue, deh!" Nisa menunjuk sebuah mobil yang menyalip mobil yang Lana kendarai. "Emang laki elo doang, yang punya mobil begituan?" canda Lana masih fokus pada jalan raya yang selalu padat merayap. Apalagi ini weekend. Daerah puncak sudah dipastikan sulit bergerak. "Gue yakin itu mobil laki gue. Ada logo perusahaannya di kaca belakang," ujar Nisa masih kekeuh dengan penglihatannya. Alfathunisa Dalilla berusaha melihat plat nomor mobil yang dia yakini milik suaminya yang berada setelah beberapa mobil di depannya. "Katanya, dia mau ke Semarang. Kenapa lewat arah Bandung ya?" gumam Nisa. Mobil-mobil melaju perlahan. " Fix! Itu mobil laki gue!" seru Nisa. " Eehhh kok, dia belok? Mau ke mana dia, Lan?""Meneketehe!" sahut Lana mengendikan bahu. "Ikutin, Lan!" Sesuai perintah, Lana membelokkan mobil mengikuti mobil hitam milik Damar—suami Nisa. "Pelan-pelan aja, Lanaaa ...! Jangan deket-deket. Gak bisa banget jadi mata-mata, ih!" keluh Nis
2. Uring-uringan Tetapi sedetik kemudian dia mengurungkan langkah, Nisa berbalik meninggalkan rumah sederhana ini dengan perasaan campur aduk. Tanda tanya besar bersarang di kepala Nisa. Siapa perempuan itu, ada hubungan apa dengan suaminya, dan mengapa Damar ingin menceraikan dirinya. Nisa melangkah lebar menuju tempat Lana menunggu. Pikirannya diliputi banyak pertanyaan. Blugh! "Baru gue mau turun! Beneran laki loe bukan?" tanya Lana dengan wajah bingung, karna penampakan Nisa yang tiba-tiba murung. "Buruan jalan Lan, jangan sampe ada yang liat kita," ajak Nisa lemah. . . "Nis, makan dulu bagaimana pun suasana hati elo, elo itu tetep harus kuat. Harus punya tenaga, biar bisa ngumpulin bukti perselingkuhan laki elo." Lana menyemangati Nisa. "Tapi masa iya, Mas Damar selingkuh?" pikir Nisa, dia menggelengkan kepala samar. Selama ini perlakuan Damar terhadapnya begitu baik. Damar cinta keduanya setelah ayahnya. Selama ini Damar terlihat begitu menyayanginya. Tidak perna