Bel berdentang nyaring, waktu menunjukkan murid-murid sudah harus masuk ke dalam kelas. Kantin sekolah pun sudah terlihat sepi. Nisa dan Emran duduk di salah satu bangku di kantin sekolah."Nggak ada rencana ngajar lagi?" tanya Emran, menatap Nisa. "Belum kayanya, Pak," jawab Nisa, menyungginggkan senyum. "Padahal sekolah lagi butuh tenaga pengajar," ujar Emran lagi. Mengambil cangkir kopi menyesap perlahan. "Nisa butuh izin dari paduka raja, Pak." Nisa terkekeh. Emran tertawa sumbang, "Damar memperlakukan Dek Nisa baik, Kan?" tanya Emran menelisik wajah Nisa. "Baik, Pak, Mas Damar 'Kan teman saya dari kecil." Hhmmm ... Emran menganggukkan kepala. Menatap Nisa sendu, entah kenapa dia begitu tertarik pada wanita bersuami ini. Padahal Bagus sudah memperingati jangan ganggu milik Damar. Dan entah mengapa setiap milik Damar kenapa Emran begitu tertarik. Sesaat pikiran Emran berkelana ke masa lalu, Damar memang tipe lelaki bersahaja, dia tidak pernah tebar pesona atau cari perhatian
Kota metropolitan, Kota impian, Kota dengan segala macam aktivitas, Kota dengan kepadatan penduduk, Kota dengan kesenjangan sosial yang tinggi. Ini lah kota Jakarta, setiap hari semua orang berjibaku berusaha menaklukkan isi dunia dengan segala daya dan usaha. Kesuksesan, ketenaran, nama baik, harta berlimpah, semua adalah impian setiap manusia. Bagi seorang lelaki Harta Tahta dan Wanita adalah hal utama dalam kehidupan mereka. Pencapaian terbaik bagi para lelaki adalah jika mereka sudah dapat menaklukkan ketiga hal ini. Damar si lelaki tampan nan kharismatik ini sibuk melakukan meteeng dengan para pemegang saham, membahas prospek masa depan kemajuan perusahaan yang dia pimpin. Dengan gagah lelaki ini ini berdiri menyampaikan progres kerja masa depan guna melebarkan sayap, berusaha menjadikan perusahaan mereka perusahaan terkuat di negri ini, mengikuti arus jaman dan tak akan goyah apapun terjangan jaman yang semakin maju. Tepuk tangan membahana mengisi ruangan setelah lelaki tamp
Seorang perawat telaten merawat Fina. Entah mengapa setelah terdeteksi hamil kondisi Fina semakin melemah, menurut Dokter ini adalah efek dari trismester awal kehamilan. Fina sama sekali tak bergairah menghadapi kehamilannya ini. Mungkin banyak pasangan di luaran sana yang mengharapkan keturunan tetapi tidak dengan Fina. Hati dan raga wanita ini begitu tersiksa atas kehamilan yang dia rasakan kini.Lain di hati Chandra, walau kecewa tetapi Chandra juga sedikit terhibur dengan kabar hamilnya Fina, terlihat dengan kesehatan Chandra yang berangsur pulih, biarpun kecewa dengan kelakuan Fina, tetapi Chandra berharap anak yang ada di dalam rahim Fina adalah anaknya. Akan semakin ramai rumahnya dengan tawa canda anak-anak, apalagi jika Nisa memiliki beberapa anak lagi. Maka akan semakin semarak isi rumah ini. Chandra menatap Fina dari balik pintu yang sedikit terbuka. Hatinya terenyuh melihat Fina yang dalam kondisi payah. Tubuhnya terlihat lemah, setiap apapun yang dia makan pasti akan di
"Ayahhh ...." Seperti biasa Fatta berlari menyambut kedatangan Damar. Lelaki yang walaupun lelah melanda, tetapi masih selalu tampan, langsung merenggangkan tangan menyambut gadis kecilnya, menggendong Fatta lalu mencium pipi tembem kemerahan milik putri kecilnya."Cantik banget anak ayah," ujar Damar, menatap penuh cinta pada gadis kecilnya. "Tadi abis pergi sama Mama," celoteh gadis kecil ini penuh binar. "Mama mana?" tanya Damar. "Nggak tau," jawab Fatta polos. "Opa juga nggak ada? Kamu main sama siapa?" tanya Damar, duduk di kursi ruang makan. 'Tuan barusan masuk kamar Den, kebelet katanya, ini di minum Den." Darmi menyerahkan segelas teh hangat, kebiasaan setiap pulang kerja selalu di sediakan minuman hangat ini. "Terimakasih, Mbok." Damar mengambil gelas menyeruput isinya perlahan. "Fatta mau?" tanya Damar pada gadis kecil yang ada di pangkuannya. Fatta mengangguk. Lalu Damar menyuapi gadis kecilnya. "Sudah? Sana main lagi sama dek Atta." Suruh Damar. "Ayah mandi dulu, n
Fatta berceloteh riang di taman bersama Kila, Fina duduk di samping Fatta ikut berjemur, di temani seorang perawat yang selalu menemani Fina. chandra duduk tak jauh dari mereka, bercanda dengan bayi Attala. Nisa dan Damar selalu terlihat mesra dan bahagia mereka sedang mengarungi kolam renang, menyegarkan diri setelah pergulatan panjang semalam.Ponsel Damar yang tergeletak di atas meja berdering, lelaki ini naik dari kolam renang, Nisa masih menyelami kolam, sudah beberapa kali bolak balik tapi belum terlihat wanita ini lelah. Damar meraih ponsel, ternyata Roni yang mengabarkan jika dia sudah mereservasi tempat untuk pasangan ini berkencan. "Oke, tapi aku tidak ingin diganggu setelah pertemuan ini, jadi jangan ada jadwal setelah pertemuan," ujar Damar, lalu mematikan ponsel. setelah mematikan ponsel, lelaki ini naik ke papan loncat di pinggir kolam. Bersiap berdiri tegak lalu melambugkan tubuh, meliuk di udara lalu, "byuurrrr," tubuh tegap itu tercebur di air membuat air tercipra
Chandra duduk, di kursi tempat biasa dia duduk, kursi terdepan. Hanya Candra yang menduduki kursi ini. "Nis panggil Fina, suruh makan di sini," suruh lelaki tua ini, pada putri cantiknya."Memang Mamih, mau?" tanya Nisa. "Coba panggil dulu, bilang suruh Papah."Nisa meninggalkan ruang makan, tak lama Nisa kembali, "Nggak mau katanya Pah, bau makanan Mamih mual," ujar nisa duduk di dekat Damar. Wanita muda ini mengambilkan makanan untuk Damar, lalu ayahnya. Awalnya Nisa mengambilkan nasi untuk Chandra terlebih dahulu tetapi Chandra menolak, menurut Chandra Nisa harus melayani suaminya terlebih dahulu, baru setelah itu ayahnya."Pah, hari ini Nisa di ajak Mas Damar ke Puncak, dua hari, Insha Allah lusa pulang, Papah mau di beliin apa?" tanya Nisa antusias, setelah menyelesaiakan makan. "Papah nggak kepengen apa-apa, bersenang-senang saja kalian," ujar Chandra. "Berangkat jam berapa?" "Ini udah mau berangkat, ada pertemuan dengan beberapa kolega yang baru menempati jabatan-jabatan p
Tak kalah tersenta kaget, wanita yang menyapa Damar pun membolakan mata. "Nisa!!" ujar Ivana. "Kok elo ada di sini?" tanya wanita cantik, walau wajahnya hanya dengan riasan seadanya. Nisa melingkarkan tangan ke lengan Damar, memangkas jarak, mendekatkan tubuh pada Damar, menunjukkan pada Ivana bahwa Damar lelakinya. "Gue lagi nemenin suami." Netra Ivana beralih mentap Damar, seolah tak percaya lelaki tampan ini milik Nisa, rivalnya ketika SMA, "Ternyata dia suami Nisa," monolog Ivana, kembali netranya menatap Nisa dan Damar bergantian. "Bu Ivana menginap di Villa yang mana?" tanya Damar basa basi. "Saya di sebelah, Pak," ujar Ivana penuh percaya diri, menjawab pertanyaan Damar, jemari tangannya menunjuk villa tepat di sebelah Vila yang di tempati Nisa.Nisa menatap Ivana jengah, "Mas." Nisa menyentuh telapak tangan Damar. Damar pun mengerti kode remasan tangan Nisa. "Bu Ivana, saya masuk dulu, istri saya lelah! Tadi kami terjebak macet," pamit Damar. "Saya mau menanyakan hal pe
Seolah tak tau Damar menatap ke arahnya, Ivana santai mengenakan pakaian renang di tempat tadi dia berdiri. Sektika Damar, mengalihkan pandangan, mengangkat tubuhnya menghindar dari melihat bayangan Ivana. Damar lelaki normal, Ivana wanita berkelas yang terbilang cantik. Tak mungkin Damar tak tergoda jika di beri tontonan menggiurkan seperti tadi. Setelah duduk di tepi ranjang, Damar mencoba mengalihkan pandangan dan pikiran, dengan menfokuskan mata pada gawai. Ivana menyeringai penuh kemenangan, dia tau Damar melihatnya tanpa busana tadi, sebab itu lelaki tampan ini bangun dari kursi mencoba mengalihkan tatapan. Ivana meninggalkan kamar, padahal hati dan tubuh masih ingin menggoda lelaki tampan ini, tetapi dia ingin menjalankan rencana yang lebih dahsyat lagi dengan mendekati Nisa. "Elo tersingkir, atau gue jadi madu, Nis. Tak apalah jadi madu jika benar-benar tak bisa menyingkirkan elo." Sepanjang jalan pikiran Ivana terus berbincang sendiri. Sesampainya Ivana di area kola
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal