Rumah terasa hangat. Baby Attala di ayun oleh Atun. Fatta sedang asik menjajar mainan yang tadi siang dia beli bermain bersama Kila, Nisa duduk menikmati film kesukaannya, Chandra duduk di sebelah Nisa. "Mama, ini aku buatin buger!" Fatta menyerahkan burger mainan kepada Nisa. "Oohh ... Makasih, buat Opa mana? Kok mamah doang yang di kasih?" ujar Nisa. "Sebentar Fatta buatkan sosis jumbo buat Opa!" ujar gadis kecil ini sedikit berlari ke tempat dia menjejer mainannya tadi. "Sekalian minum Fatta," ujar Nisa terkikik. Chandra hanya tersenyum melihat kelakuan putrinya, ternyata tak serumit kelihatannya, walau Nisa mengasuh dua anak Damar dan Kirana, tetapi Damar tak membiarkan istri kecilnya lelah, lelaki tampan ini menyiapkan beberapa pengasuh untuk menangani dua anaknya. Selama ini Nisa belum pernah memandikan atau hanya membuatkan susu Atalla, Nisa hanya sebagai status Mamah untuk kedua putra putri Damar. Sesekali Nisa menggendong Attala, bagaimanapun Nisa ingin mempun
Setelah Attala kembali tidur, Damar dan Nisa keluar kamar, Nisa menggelayut manja pada Damar. "Nisa pengen di gendong juga." Damar memalingkan wajah menatap wajah Nisa, bola mata Nisa mengerjab, penuh rajukan. "Iihhh ... Kaya Fatta aja." Damar menarik hidung Nisa. Lalu berjongkok. "Ayo gendong belakang." Nisa langsung menaiki punggung Damar. Perlahan lelaki tampan ini bagun, "Ya Allah semakin berat, ini berat lemak apa berat dosa," ujar Damar. Nisa mencubit dada Damar. "Enak aja berat Dosa, kamu yang banyak dosanya," Nisa berkata judes. "Ya ... tadi Fatta beli mainan berapa? Jujur?" tanya Damar, sambil menaruh bobot tubuh Nisa di pembaringan. He he he ... Nisa tersenyum canggung. "Ayo jawab jujur?" tanya Damar lagi, menatap wajah istri kecilnya penuh selidik. "Nisa mau ke kamar mandi dulu, Mas." wanita cantik ini turun dari ranjang. Membersihkan badan, lalu menggunakan pakaian penggoda yang sudah dia siapkan. Nisa keluar dari kamar mandi, dia lihat lelakinya suda
Setelah semua menyelesaikan makan, Chandra mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang keluarga. Fina mulai gelisah pasti saat ini Chandra akan mengumumkan perceraian mereka. Semua keluarga termasuk semua pelayan mendekat, mencari tempat duduk ternyaman. Setelah semua duduk, Chandra mulai mengutarakan maksud mengumpulkan mereka. Fina yang duduk di sebelah Chandra semakin gelisah ketika Chandra berbicara pada inti permasalahan. "Pah, maafin mamih," Fina tak bisa menahan tangisnya. "Pah! Kenapa harus ada perceraian? Apa nggak bisa di bicarakan secara baik-baik," tanya Nisa. "Pah, kita rujuk, mamih nggak mau pisah dari papah, mamih nggak bisa hidup tanpa papah!" ujar Fina, sesenggukan. Damar tak memberikan respon apapun, wajahnya datar, dia bersyukur Chandra cepat mengambil keputusan ini, Fina harus di singkirkan dari kehidupan mereka, jika Fina masih berada di sini hanya akan menjadi duri dalam daging. Perangai wanita ini tak akan berubah sampai kapan pun.
Mereka menikmati pagi di taman, mengisi liburan Damar dengan mengeratkan keharmonisan, mencoba menjalin kehangatan di keluarga kecil ini, senyum terukir indah di bibir kedua sejoli ini. Nisa mengangkat bayi gembul dari kereta dorong, lalu memangku Attala. Tangan mungil mencoba menggapai wajah Nisa, bibir mungil merekah, netra bulat beriris bersih mengerjab memandang Nisa. Setiap melihat netra bersih ini, Nisa langsung memgingat Kirana. Tatapan bayi kecil ini sama persis seperti tatapan Kirana. Sesekali mulut Nisa mengecup tangan mungil yang mengenai pipinya. Damar di sampingnya mengajak bicara bayi gembul dalam gendongan Nisa. Berusaha menjalin kedekatan atas pertemuan yang sedikit dengan anak-anaknya. Banyak pedagang dadakan mangkal di dekat taman ini, Damar menawari Nisa beberapa makanan yang mungkin tak pernah Nisa makan atau temui. "Kamu di sini dulu, mas beliin makanan, kamu pengen apaan?" tanya Damar. "Apa aja, terserah, Nisa bingung itu tukang apa aja," ujar Nisa.
Pintu kamar Fina tak tertutup rapat, Nisa masuk menghampiri Darmi yang berdiri di tepi ranjang, seorang dokter wanita sedang memeriksa Fina, wanita seksi ini terlihat pucat tidak seperti biasanya. "Mamih kenapa Mbok?" bisik Nisa, pada wanita tua ini. Darmi menggeleng, "belum ketauan Non. Udah semingguan Nyonya keliatan nggak bergairah, jarang pergi-pergi, katanya lemes." Dokter perempuan berhijab yanh sedang memeriksa Fina tersenyum. "Ibu kapan terakhir datang bulan?" Mata Fina memincing, berusaha mengingat, wanita yang sudah berumur kepala empat ini menggeleng. "Saya nggak perhatikan Dok, saya lupa," jawabnya. "Tapi masih lancar datang bulan 'kan?" tanya Dokter wanita ini. "Masih Dok," jawab Fina. "Bisa bangun ke kamar mandi nggak?" tanya Dokter wanita ini. "Mau ngapain, Dok?" tanya Fina. "Saya butuh urin, untuk ini." Dokter perempuan ini memperlihatkan alat tes kehamilan pada Fina. Kepala Fina menggeleng keras. "Nggak Dok! Jangan bilang saya hamil, saya
"Ayahhh ... Aku mau di gendong juga," Fatta mendekap kaki Damar. Damar menengok pada Kila, meng kode dengan tatapan mata agar mengajak Fatta. Tetapi Fatta enggan melepaskan kaki ayahnya. Nisa segera turun dari gendongan lelaki atletis ini. Lalu menunduk menatap Fatta. "Kok belum tidur?" tanya Nisa. Fatta menggeleng."Minta ke kamar Non Nisa, nggak mau tidur dari tadi," Kila menjawab. "Kenapa nggak bisa tidur?" tanya Nisa. "Kangen Bunda," jawab Fatta matanya berembun. Nisa yang sedang berjongkok mendongak menatap Damar. "Mau tidur sama mama?" Tanya Nisa. Seketika senyum di bibir Fatta terbit. Kepalanya mengangguk, netranya memandang netra Nisa penuh harap, berharap Nisa dan Damar mengijinkan. Nisa memberikan senyum terindah, tangannya menggandeng tangan mungil Fatta, "Yuk, tapi nggak boleh sering-sering, ya," ujar Nisa. Fatta mengangguk. Damar terbengong masih berdiri di depan pintu, "Kok di bawa masuk? Kan mas mau membuktikan sesuatu Nis!" ujar Damar dalam hati. Mengikuti Nisa
"Non, ini susunya." Nisa yang sedang rebahan menikmati tontonan di layar segi empat ini mendongak. "Taroh di meja, Mbak," ujar Nisa, masih enggan bangun dari mode rebahan. "Papah udah minum obat, Mbak?" tanya Nisa pada Marni. "Udah Non. Tadi, Tuan. Langsung tidur lagi," jawab Marni. "Mas Damar masih di ruang kerja?" tanya Nisa lagi. "Kayanya tadi udah naik ke kamar Non," jawab Marni. "Kok nggak manggil Nisa," ujar wanita muda ini, bangun dari rebahan, meraih gelas susu lalu meminum perlahan. "Ngapain sih Mbak, pake bikinin Nisa susu terus," ujar Nisa sedikit kesal. "Suruh Den Damar, Non. Katanya biar Non Nisa sehat," jawab Marni pelan. "Nih." Nisa menyerahkan gelas yang sudah kosong, besok ganti rasanya Mbak, bosen Nisa," ujar wanita muda ini. "Iya, Non. Nanti di belikan rasa coklat.""Fatta aja yang di buatin susu, Nisa udah nggak usah lagi." Tanpa menunggu Marni menjawab Nisa meninggalkan wanita yang selalu setia melayani nyaNisa memanyunkan bibir, saat masuk kamar, Damar
Lain di taman, lain pula di dalam kamar. Kamar luas dengan cat tembok berwarna salem, berseprei senada dengan nuansa kamar, milik wanita cantik yang kini sudah dapat menaklukkan lelaki dambaan sejak dia masih terbilang kecil. Tangan wanita cantik ini kini sudah terampil memasangkan dasi pada leher kokoh lelaki bergelar suaminya. Damar mendongakkan wajah saat jemari Nisa menarik simpul dasi agar pas di leher. "Perfect," ucap Alfathunisa ketika selesai memasang simpul dasi dengan rapih. Setelah itu mengambilkan jas lalu memakaikan di tubuh tegap lelakinya. Wajah yang memang tampan di tambah stile elegan menambah ketampanan lelaki atletis ini. "Terimakasih," selalu ucapan ini yang Damar layangkan setiap Nisa selesai membantunya memakai atribut kebesaran setiap pagi, setelah itu Damar selalu mengecup mesra bibir merona wanita cantik ini. Selalu setiap pagi, debar-debar indah bertalu di dada wanita cantik ini. Entah mengapa tubuhnya menghangat, mungkin pipinya merona merah, setiap Dama
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal