Damar menyandarkan bahu di sandaran kursi, dia meraup wajahnya kasar. Permasalahan silih berganti terjadi, kini dia harus merelakan saham Rumah Sakit di alihkan tangankan pada perusahaan milik Bagus. Sepandai apapun dia, masih tak bisa mengendalikan apa yang di luar jangkauannya, mungkin memang ini yang terbaik untuknya, kali ini Damar benar-benar introspeksi atas apa yang terjadi pada hidupnya. Kehilangan Kirana, kehilangan satu saham anak perusahaan, kedepannya dia harus bisa lebih baik menggenggam apa yang kini dia kuasai. Dengan tak lupa meminta kemampuan pada sang pemilik kemampuan. Klek ....Pintu terbuka, Bagus masuk dengan wajah sedikit dipaksakan tersenyum. Lelaki bergelar dokter specialist ini duduk di hadapan Damar. Damar menjulurkan tangan, " Selamat Bro. Kemampuan bisnismu semakin berkembang," ucap Damar, dia memang seorang lelaki sejati Bagus menyahut jabat tangan Damar, "Bro, kita tetap berteman 'kan?" "Yaahhh ... Kamu akan selalu menjadi temanku," ujar Damar, si
Hiruk pikuk kota Jakarta menjadi makanan sehari-hari, kemacetan di mana-mana, polusi udara, polusi suara, semua menyatu di sini. Beruntung Nisa menggunakan mobil mewah membuatnya nyaman apapun dan bagaimanapun keadaan di luar.Mobil melaju perlahan masuk ke dalam parkiran Rumah Sakit, Damar menempati tempat parkir yang di khususkan untuk pemilik tempat tersebut. "Parkiran Rumah sakit penuh begini, orang-orang seneng banget healing ke Rumah Sakit," ujar Damar. "Bukan healing kali Mas." "Mereka sedikit-sedikit berobat. Padahal harusnya jika sakit bersihkan hati dan jiwa dulu, baru di sembuhkan dengan pertolongan dokter. Percuma penyakit sembuh hanya sementara kalau jiwanya tetap sakit, akar penyakit itu ada jiwa, kalau hanya penyakit yang diobati akar penyakitnya nggak di obati, maka penyakitnya akan muncul lagi," ujar Damar, sambil fokus memarkir mobil."Yuk, kamu mau ke tempat Papah dulu apa mau liat dedek bayi?" tanya Damar, tersenyum lembut ke arah Nisa, setelah mobil dengan te
Langit sore memancarkan cahaya jingga, Nisa duduk di balkon melihat jauh ke depan. Kali ini hatinya seolah begitu bahagia. "Apakah bahagia seutuhnya akan aku dapat?""Apakah setelah ini Mas Damar akan seutuhnya menjadi milikku."Apakah, apakah, apakah.Banyak sekali pertanyaan apakah bersarang di kepala Nisa, terlihat wanita cantik ini menghela nafas. Kelebatan bayangan kesedihan waktu lalu terlintas. Nisa memejamkan mata, bibirnya merapal doa, berharap Tuhan memberikan kehidupan yang terbaik, kehidupan impian, suami impian.Suara pintu di tutup membuyarkan lamunan Nisa. Wanita cantik ini menengok."Mbok, ketuk-ketuk pintunya, nggak nyaut, mbok kira ke mana?" ujar Darmi. "Mbok ... Aku lagi ngeliatin langit, warnanya bagus banget, senja. Aku berharap bahagiaku bukan hanya seperti waktu senja ini. Indahnya dapat kita nikmati hanya sebentar." Nisa berucap mengungkapkan isi hatinya."Non, pasti akan mendapatkan bahagia yang sesungguhnya. Bahagia dari hati." Darmi menyentuh dadanya. "Asa
"Halaahhh ... Mas Damar apa Non Nisa yang kangen?" ujar Darmi, terus melayangkan candaan. Mendengar Darmi terus menggodanya Nisa langsung melesat meninggalkan Darmi. Nisa membuka pintu kamar perlahan, tak ada lelakinya di dalam sini. Wanita cantik ini mendekat ke arah balkon, dia lihat Damar sedang duduk termenung. Nisa diam beberapa saat memperhatikan seluit wajah suaminya yang terlihat sendu, seperti sedang memikirkan beban berat. Atau dia begitu merindukan Kirana, batin Nisa. Nisa berbalik menuju ranjang, lalu menaiki ranjang menunggu Damar selesai dengan kesendiriannya. Tetapi lama Nisa tunggu tak ada pergerakan dari Damar untuk meninggalkan tempatnya duduk. Nisa kembali turun dari ranjang tetapi belum sempat dia mendekati Damar, ponsel lelaki itu berdering. Nisa mengurungkan langkah sesaat, mendengar obrolan Damar. "Atur semua dengan baik Ron, aku nggak mau satu persatu anak perusahaan kita di akuisisi oleh Bagus. Kita harus lebih waspada kedepannya. Kemarin banyak seka
Darmi berjalan ke arah ruang baca mengetuk pintu, tak ada jawaban. "Nyonya?" wanita tua ini membuka ruang baca, tetapi tak ada siapapun. "Kebiasaan nggak mau matiin lampu," ujar Darmi menekan saklar mematikan lampu. Setelah itu gegas dia keluar dari ruang baca menuju kamar tidurnya. Fina mebangunkan tubuh dari bawah meja, dia bersembunyi di sini demi melancarkan aksinya. Perlahan dia langkahkan kaki menuju pintu karna ruangan ini begitu gelap, tak ada pencahayaan sama sekali, Fina berjalan dengan meraba tembok.Setelah sampai di depan ruang kerja, Fina menekan jantungnya yang berdegup cukup keras. Netranya awas. Rupanya malam ini dia akan bisa menaklukkan Damar. Bibirnya tersungging licik. Bayangan-bayangan berbagi peluh dengan Damar sudah terlintas di otak kotornya. Fina sudah menyusun rencana ini dengan cukup matang, sebotol spray sudah ada di dalam genggamannya, begitu dia menyemprotkan cairan ini Damar akan segera tak sadarkan diri dan Fina dapat melakukan apapun yang dia ingink
"Mas kamu kenapa pingsan di ruang kerja?" tanya Nisa, mengusap kepala Damar. "Lagian masih cape udah turun. Untung Nisa turun, ambil minum."Damar hanya diam, tak menanggapi ucapan Nisa, "Jam berapa ini Nis?" tanya Damar. "Udah mau subuh, mas mau mandi?" tanya Nisa. "Nanti, kepala mas masih sakit. Sini tidur sampe subuh." Damar menarik tubuh Nisa pada pelukannya. Isi kepala lelaki tampan ini berfikir, punya rencana apa Fina. Damar tidak sabaran menunggu pagi datang. "Mbok!! Fina belum sarapan?" tanya Damar pagi ini sudah duduk di meja makan dengan menggunakan pakaian eksekutif muda. Sungguh terlihat tampan dan berkharisma. "Pagi-pagi sekali nyonya sudah pergi, Den," jawab Darmi. "Ngapain nyariin Fina, Mas?" tanya Nisa masam. Damar tersenyum kikuk. "Iya juga ngapain nanyain Fina di sini," monolognya. "Kamu semalem pingsan, libur kerja aja!" ujar Nisa. "Di rumah ada kamu, mana bisa libur, Nis," jawab Damar, memulai santap paginya."Iisshhh ... Kamu pikirannya mesum terus," ujar
Sesedih apapun ekspresi Fina tak membuat Damar simpati, atau kasihan. Pria ini mendengkus kasar. "Aku ingin tau kenapa kamu melakukan itu?" tanya Damar masih dengan wajah tegang menahan amarah. "Aku nggak mau pergi dari rumah itu, waktuku dua minggu lagi di rumah itu, karna si Chandra tua bangka telah menceraikan aku," ujar Fina dengan suara bergetar. Kening Damar mengernyit, dia sama sekali tidak tau ada permasalahan apa antara Chandra dan Fina. Permasalahan yang dia hadapi begitu kompleks belakangan ini. "Akhirnya Papah sadar siapa kamu?" tanya Damar dengan wajah menghina. Fina hanya menundukkan kepala mendapati tatapan Damar yang penuh permusuhan. "Lalu, apa yang kamu lakukan saat aku tak sadarkan diri?"Fina terlihat gelisah, dia menggeser bokong beberapa kali. "Katakan!!" bentak Damar lagi. "A-aku belum melakukan apapun, memang aku berniat emmm ... Tapi Nisa keburu datang," ujar Fina gugup. "Anggap saja aku percaya, kesinikan ponselmu." Damar memerintahkan Fina menyerah
Mobil melaju membelah kota Jakarta. Siang ini kota Jakarta di guyur hujan, membuat jalan padat merayap tak ada pergerakan sama sekali. "Pak, lewat tol aja, nggak bergerak sama sekali jalanannya," ujar Damar. Pak supir mengangguk, mengamati arah jalan menuju masuk pintu tol. Ini lah kondisi kota Jakarta, semakin di perlebar jalan semakin banyak pula penjualan mobil yang dilakukan dealer mobil. Banyak kebijakan yang di berlakukan pemerintah untuk mengendalikan kemacetan, tetapi sepertinya sia-sia, kebijakan ganjil genap pun seperti tak berefek, karna para pemilik uang akan mengakali dengan membeli mobil dengan plat yang di butuhkan. Nisa duduk di pangkuan Damar. "Mas aku duduk di situ aja," Nisa menunjuk bangku kosong, di sebelah Damar duduk. "Sini aja, mas pengen deket-deket sama kamu," ujar Damar, mengendus leher Nisa. "Kamu mau bulan madu lagi nggak?" tanya Damar. "Dulu mas memgecewakan kamu, sekarang mau mas ganti," ucap Damar, terus menyesap leher Nisa. Nisa mendorong muka Da