Wulan merasa hari-hari berlalu dengan lambat setelah percakapan mereka di teras belakang. Ketidakpastian mulai menyelimuti setiap sudut kehidupannya, terutama ketika ia berada di rumah bersama keluarga Dimas. Meskipun Dimas berusaha keras untuk tetap mendekatkan diri padanya, ketegangan di antara mereka mulai tampak jelas—seperti sebuah benang halus yang perlahan-lahan terurai.Pagi itu, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Wulan, seperti biasa, mulai menyiapkan sarapan untuk mertuanya. Ia tahu, ibu mertuanya, Bu Ratna, tidak akan melewatkan kesempatan untuk memberikan komentar sinis atau menyindirnya, meskipun selalu dilakukan dengan senyuman di wajahnya. Wulan sudah cukup paham dengan dinamika ini.Saat Wulan sibuk di dapur, Bu Ratna masuk dengan wajah dingin. “Wulan, kamu buatkan teh untuk Bapak, ya. Jangan lupa, beliau suka tehnya panas, bukan hangat,” kata Bu Ratna tanpa menatap Wulan, suaranya terdengar seperti perintah, buk
Read more