Beranda / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 117: Cinta yang Tergores

Share

Bab 117: Cinta yang Tergores

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 10:14:38

Wulan tidak bisa tidur malam itu. Setelah kejadian di ruang tamu, pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban dari semua pertanyaan yang memenuhi benaknya. Dimas telah kembali ke kamar setelah beberapa jam duduk di ruang tamu, tapi suasana di antara mereka tetap tegang. Tidak ada percakapan lebih lanjut, hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

Ketika akhirnya Wulan terlelap, mimpinya dipenuhi dengan bayangan-bayangan masa lalu—momen-momen indah yang pernah mereka bagi bersama, saat cinta mereka masih murni, jauh sebelum masalah dan rahasia mulai merusak hubungan mereka. Namun, bahkan dalam mimpi, bayangan-bayangan itu tampak buram, seperti lukisan yang warnanya memudar karena waktu.

Pagi harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap Dimas yang masih tertidur di sampingnya, wajahnya tampak lelah. Wulan merasa simpati, tetapi juga masih ada rasa sakit yang mengganjal di hatinya. Tanpa membangunkannya, Wulan bangkit dari tempat tidur dan memutu

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 118: Bayangan Masa Lalu

    Beberapa hari setelah percakapan mendalam mereka, Wulan berusaha keras untuk memulihkan keadaan. Ia melakukan yang terbaik untuk menunjukkan bahwa ia masih mencintai dan mempercayai Dimas. Namun, di balik senyumnya, ada perasaan was-was yang terus menggelayuti hatinya. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca tipis—rapuh, dan bisa pecah kapan saja.Suatu sore, saat Wulan sedang duduk di teras belakang sambil menikmati teh hangat, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Dimas—seorang pria yang penuh percaya diri, penuh dengan impian dan ambisi besar. Wulan terpesona oleh semangatnya, oleh bagaimana Dimas berbicara tentang masa depan mereka dengan begitu yakin.Di awal pernikahan mereka, Dimas selalu berusaha membuat Wulan bahagia. Ia adalah suami yang penuh perhatian, yang selalu memprioritaskan kebahagiaan Wulan di atas segalanya. Namun, seiring berjalannya waktu, Wulan mulai merasakan adanya perubahan. Dima

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 119: Ketegangan yang Tak Terelakkan

    Wulan merasa hari-hari berlalu dengan lambat setelah percakapan mereka di teras belakang. Ketidakpastian mulai menyelimuti setiap sudut kehidupannya, terutama ketika ia berada di rumah bersama keluarga Dimas. Meskipun Dimas berusaha keras untuk tetap mendekatkan diri padanya, ketegangan di antara mereka mulai tampak jelas—seperti sebuah benang halus yang perlahan-lahan terurai.Pagi itu, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Wulan, seperti biasa, mulai menyiapkan sarapan untuk mertuanya. Ia tahu, ibu mertuanya, Bu Ratna, tidak akan melewatkan kesempatan untuk memberikan komentar sinis atau menyindirnya, meskipun selalu dilakukan dengan senyuman di wajahnya. Wulan sudah cukup paham dengan dinamika ini.Saat Wulan sibuk di dapur, Bu Ratna masuk dengan wajah dingin. “Wulan, kamu buatkan teh untuk Bapak, ya. Jangan lupa, beliau suka tehnya panas, bukan hangat,” kata Bu Ratna tanpa menatap Wulan, suaranya terdengar seperti perintah, buk

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 120: Dalam Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Meskipun malam sebelumnya Dimas telah memberikan sedikit ketenangan dengan kata-kata penghargaannya, ada sesuatu yang mengganjal di hati Wulan. Seperti ada awan gelap yang menggantung di atas rumah mereka, menunggu saat yang tepat untuk menurunkan badai.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ada beban yang semakin menekan pundaknya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah dan mempersiapkan makan siang untuk mertuanya, tetapi kegelisahan itu tetap ada.Saat jam makan siang tiba, Bu Ratna dan Pak Hendra duduk di meja makan, berbicara dengan suara pelan seperti biasa. Wulan menyajikan makanan dengan senyum di wajahnya, meskipun hatinya merasa hampa. Ia duduk di ujung meja, menanti reaksi dari mertuanya."Terima kasih, Wulan," kata Pak Hendra dengan singkat, menatap makananny

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 121: Langkah-Langkah Tersirat

    Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja, memastikan suaminya bisa menikmati pagi yang tenang sebelum kembali menghadapi tekanan pekerjaan. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu—sebuah dorongan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Saat Wulan memasuki dapur, ia melihat Bu Ratna sudah ada di sana, memotong sayuran dengan cermat. Ibu mertuanya selalu bangun lebih awal, mungkin sebagai cara untuk mengontrol segalanya di rumah ini. Wulan tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya."Selamat pagi, Bu," sapa Wulan dengan suara lembut.Bu Ratna hanya menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada tugasnya. "Pagi. Kamu tidur nyenyak tadi malam?""Alhamdulillah, Bu," jawab Wulan sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan.Diam-diam, Wulan memperhatikan gerak-gerik mertuanya. Ada sesuatu yang lebih dalam cara Bu Ratna menatapnya pagi itu, sesuatu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 122: Lintasan Pikiran yang Kian Berat

    Malam itu, Wulan duduk sendirian di ruang tamu, ditemani hanya oleh cahaya lampu yang redup. Dimas masih belum pulang dari kantor. Ia bilang ada rapat yang harus dihadiri, sesuatu yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Wulan paham, begitulah pekerjaan Dimas; menuntut waktu dan perhatian yang tidak sedikit.Namun, keheningan rumah semakin mencekiknya. Biasanya, Wulan akan menikmati waktu sendirinya, membaca buku atau menonton drama di televisi. Tapi malam ini, pikirannya terasa penuh dan sesak. Kata-kata Bu Ratna tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinganya.‘Jika kamu benar-benar mencintai Dimas, kamu akan melakukan apa pun yang bisa untuk membuatnya lebih sukses.’Wulan merenung. Ia mencintai Dimas, tentu saja. Tapi mengapa cintanya harus selalu diuji? Kenapa ia harus selalu membuktikan kasih sayangnya dengan cara-cara yang sepertinya lebih menguntungkan pihak lain? Mengapa cintanya tidak cukup?Pikirannya melayang pada percakapannya de

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 123: Jejak Rasa yang Tertinggal

    Pagi berikutnya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Tidur yang hanya beberapa jam membuat kepalanya terasa berat, tetapi ada dorongan dalam dirinya untuk segera bangun dan memulai hari. Mungkin dengan menyibukkan diri, ia bisa melupakan perasaan yang terus mengusik hatinya.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam kesukaan Dimas. Meskipun hatinya sedang kacau, Wulan ingin memastikan bahwa suaminya mendapatkan sarapan yang baik sebelum pergi bekerja.Sambil mengaduk bubur di atas kompor, Wulan teringat lagi pada perkataan Bu Ratna. Perlahan, kata-kata itu menancap semakin dalam di pikirannya, membuat Wulan bertanya-tanya tentang pilihannya selama ini. Apakah ia terlalu fokus pada perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga hingga mengabaikan potensi lain dalam dirinya?Tapi di sisi lain, Wulan juga merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh mertuanya? Ia telah me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 124: Luka yang Tersembunyi

    Hari-hari berikutnya Wulan menjalani rutinitas seperti biasa, tapi dalam diamnya, ia mulai merasakan kebimbangan yang semakin kuat. Di satu sisi, ia ingin terus menjalani perannya sebagai istri yang mendukung suaminya dengan cara yang sudah ia kenal. Di sisi lain, tuntutan dari Bu Ratna dan perasaan bahwa ia harus melakukan lebih, terus mengusik pikirannya.Malam itu, setelah Dimas pulang kerja, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Wulan memperhatikan suaminya yang tampak kelelahan, namun tetap tersenyum dan bersikap hangat padanya. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul di hati Wulan. Apakah selama ini ia sudah cukup mendukung Dimas? Apakah ia benar-benar memenuhi harapan suaminya?“Mas, apa aku sudah cukup membantu kamu selama ini?” tanya Wulan tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Dimas menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Maksud kamu, Sayang?”“Aku hanya berpikir... apa yang sudah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 125: Rencana yang Berawal dari Keheningan

    Malam itu, Wulan terjaga lebih lama dari biasanya. Pikiran-pikiran tentang apa yang ia tulis di jurnalnya terus berputar dalam kepalanya. Ia merasa bahwa langkah kecil yang telah ia ambil adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Meski begitu, ada semangat baru dalam dirinya, sebuah keinginan untuk tidak lagi hanya menjadi pengamat dalam kehidupannya sendiri, tetapi juga menjadi penggerak.Esok paginya, Wulan bangun lebih awal. Setelah memastikan Dimas siap berangkat kerja, ia mulai menyusun kegiatan untuk dirinya sendiri. Wulan ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia menemukan brosur tentang kursus keterampilan manajemen waktu secara online. Ia tertarik untuk ikut, bukan hanya karena ingin menambah wawasan, tetapi juga karena ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari.Dengan semangat yang baru, Wulan segera mendaftar untuk kursus tersebut. Ia menyadari bahwa ini a

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 170: Pertemuan yang Menentukan

    Hari pertemuan dengan keluarga Dimas tiba. Wulan merasakan campur aduk antara cemas dan bersemangat. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan, berharap penampilannya dapat menunjukkan keseriusannya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan dukungan dan kekhawatiran yang sama.Mereka tiba di rumah keluarga Dimas yang megah, dikelilingi oleh taman yang indah. Suasana terasa menegangkan. Wulan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dimas memegang tangannya erat, memberi dorongan.“Ini adalah kesempatan kita untuk menjelaskan semuanya,” kata Dimas, mengangkat dagu Wulan sedikit agar mereka bisa saling menatap. “Kau tidak sendirian.”Ketika mereka memasuki ruang tamu, Wulan merasakan tatapan tajam dari anggota keluarga Dimas. Ibu mertuanya, Bu Sari, duduk dengan sikap angkuh, sementara kakak Dimas, Rina, memperhatikan dengan skeptis. Wulan berusaha untuk tidak merasa terintimidasi. Ia tahu bahwa ini adalah waktunya un

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 169: Menyusun Rencana

    Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh tantangan bagi Wulan. Ia kembali ke rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga, tetapi pikirannya selalu terbayang pada pertemuan yang baru saja dilalui. Meskipun Dimas terus menunjukkan dukungannya, Wulan merasa beban yang berat di pundaknya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan dan membuktikan nilainya.Dalam hati, Wulan mulai menyusun rencana. Ia ingin membuktikan kepada keluarga Dimas bahwa ia bukan sekadar istri yang diabaikan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan dan semangat untuk berkontribusi, baik untuk keluarga maupun komunitas. Namun, ia juga tahu bahwa untuk mencapai tujuan itu, ia harus memanfaatkan keahlian yang selama ini ia sembunyikan — sebagai pemilik Solus Group.Suatu malam, saat Dimas tertidur, Wulan duduk di meja kerjanya dengan laptop di depan. Cahaya lembut dari layar menerangi ruangan, memberikan suasana yang menenangkan. Ia membuka dokumen-dokumen peru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 168: Rencana yang Bersemi

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan suasana di rumah Wulan semakin hangat. Keterlibatan Dimas dalam proyek sosialnya tidak hanya meningkatkan hubungan mereka, tetapi juga memberikan dampak positif bagi komunitas. Wulan merasa bahagia melihat suaminya kembali ke sosok yang ia kenal — penuh semangat dan antusiasme.Satu sore, setelah menghabiskan waktu di kantor, Dimas kembali dengan berita yang menggetarkan hati. “Aku sudah menghubungi beberapa artis untuk acara amal kita,” ujarnya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Benarkah? Siapa saja yang akan tampil?” tanya Wulan, matanya berbinar-binar.Dimas menyebutkan beberapa nama, termasuk penyanyi dan kelompok musik lokal yang terkenal. Wulan merasa bersemangat. “Ini luar biasa! Kita bisa mengundang lebih banyak orang dan meningkatkan kesadaran tentang proyek kita.”Mereka mulai merencanakan semua detail acara, dari pemilihan tempat hingga strategi promosi. Setiap detil

DMCA.com Protection Status