Home / Pernikahan / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 121: Langkah-Langkah Tersirat

Share

Bab 121: Langkah-Langkah Tersirat

Author: Le Vant
last update Last Updated: 2024-11-10 10:03:01

Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja, memastikan suaminya bisa menikmati pagi yang tenang sebelum kembali menghadapi tekanan pekerjaan. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu—sebuah dorongan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Saat Wulan memasuki dapur, ia melihat Bu Ratna sudah ada di sana, memotong sayuran dengan cermat. Ibu mertuanya selalu bangun lebih awal, mungkin sebagai cara untuk mengontrol segalanya di rumah ini. Wulan tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Selamat pagi, Bu," sapa Wulan dengan suara lembut.

Bu Ratna hanya menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada tugasnya. "Pagi. Kamu tidur nyenyak tadi malam?"

"Alhamdulillah, Bu," jawab Wulan sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan.

Diam-diam, Wulan memperhatikan gerak-gerik mertuanya. Ada sesuatu yang lebih dalam cara Bu Ratna menatapnya pagi itu, sesuatu yang t

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 122: Lintasan Pikiran yang Kian Berat

    Malam itu, Wulan duduk sendirian di ruang tamu, ditemani hanya oleh cahaya lampu yang redup. Dimas masih belum pulang dari kantor. Ia bilang ada rapat yang harus dihadiri, sesuatu yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Wulan paham, begitulah pekerjaan Dimas; menuntut waktu dan perhatian yang tidak sedikit.Namun, keheningan rumah semakin mencekiknya. Biasanya, Wulan akan menikmati waktu sendirinya, membaca buku atau menonton drama di televisi. Tapi malam ini, pikirannya terasa penuh dan sesak. Kata-kata Bu Ratna tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinganya.‘Jika kamu benar-benar mencintai Dimas, kamu akan melakukan apa pun yang bisa untuk membuatnya lebih sukses.’Wulan merenung. Ia mencintai Dimas, tentu saja. Tapi mengapa cintanya harus selalu diuji? Kenapa ia harus selalu membuktikan kasih sayangnya dengan cara-cara yang sepertinya lebih menguntungkan pihak lain? Mengapa cintanya tidak cukup?Pikirannya melayang pada percakapannya de

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 123: Jejak Rasa yang Tertinggal

    Pagi berikutnya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Tidur yang hanya beberapa jam membuat kepalanya terasa berat, tetapi ada dorongan dalam dirinya untuk segera bangun dan memulai hari. Mungkin dengan menyibukkan diri, ia bisa melupakan perasaan yang terus mengusik hatinya.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam kesukaan Dimas. Meskipun hatinya sedang kacau, Wulan ingin memastikan bahwa suaminya mendapatkan sarapan yang baik sebelum pergi bekerja.Sambil mengaduk bubur di atas kompor, Wulan teringat lagi pada perkataan Bu Ratna. Perlahan, kata-kata itu menancap semakin dalam di pikirannya, membuat Wulan bertanya-tanya tentang pilihannya selama ini. Apakah ia terlalu fokus pada perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga hingga mengabaikan potensi lain dalam dirinya?Tapi di sisi lain, Wulan juga merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh mertuanya? Ia telah me

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 124: Luka yang Tersembunyi

    Hari-hari berikutnya Wulan menjalani rutinitas seperti biasa, tapi dalam diamnya, ia mulai merasakan kebimbangan yang semakin kuat. Di satu sisi, ia ingin terus menjalani perannya sebagai istri yang mendukung suaminya dengan cara yang sudah ia kenal. Di sisi lain, tuntutan dari Bu Ratna dan perasaan bahwa ia harus melakukan lebih, terus mengusik pikirannya.Malam itu, setelah Dimas pulang kerja, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Wulan memperhatikan suaminya yang tampak kelelahan, namun tetap tersenyum dan bersikap hangat padanya. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul di hati Wulan. Apakah selama ini ia sudah cukup mendukung Dimas? Apakah ia benar-benar memenuhi harapan suaminya?“Mas, apa aku sudah cukup membantu kamu selama ini?” tanya Wulan tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Dimas menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Maksud kamu, Sayang?”“Aku hanya berpikir... apa yang sudah

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 125: Rencana yang Berawal dari Keheningan

    Malam itu, Wulan terjaga lebih lama dari biasanya. Pikiran-pikiran tentang apa yang ia tulis di jurnalnya terus berputar dalam kepalanya. Ia merasa bahwa langkah kecil yang telah ia ambil adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Meski begitu, ada semangat baru dalam dirinya, sebuah keinginan untuk tidak lagi hanya menjadi pengamat dalam kehidupannya sendiri, tetapi juga menjadi penggerak.Esok paginya, Wulan bangun lebih awal. Setelah memastikan Dimas siap berangkat kerja, ia mulai menyusun kegiatan untuk dirinya sendiri. Wulan ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia menemukan brosur tentang kursus keterampilan manajemen waktu secara online. Ia tertarik untuk ikut, bukan hanya karena ingin menambah wawasan, tetapi juga karena ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari.Dengan semangat yang baru, Wulan segera mendaftar untuk kursus tersebut. Ia menyadari bahwa ini a

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 126: Benih Kebebasan yang Mulai Tumbuh

    Keesokan harinya, Wulan merasa lebih bersemangat. Ia bangun pagi-pagi, sebelum Dimas dan Bu Ratna terjaga, untuk melanjutkan rencana bisnis kecilnya. Sambil menyiapkan sarapan, pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara terbaik untuk memulai tanpa menimbulkan kecurigaan.Ketika Dimas bersiap untuk pergi bekerja, Wulan memberinya senyum hangat, seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—sebuah tekad yang mulai tumbuh. Dimas tampaknya tidak menyadari perubahan kecil ini, dan Wulan merasa lega. Baginya, menjaga keseimbangan antara perannya sebagai istri yang setia dan ambisi pribadinya adalah hal yang penting.“Dimas,” panggil Wulan lembut ketika suaminya hendak keluar pintu. Dimas berhenti dan menoleh, menatap istrinya yang tampak seperti biasa, namun dengan sedikit kilatan semangat dalam tatapan matanya. “Hati-hati di jalan, ya.”Dimas tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Wulan. Jangan khawati

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 127: Mimpi yang Terganggu

    Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ada kebanggaan karena toko online-nya mulai menunjukkan hasil, tetapi juga ketakutan akan kemungkinan ketahuan. Ia tahu bahwa rahasianya ini bisa menghancurkan kedamaian yang selama ini ia coba pertahankan dalam keluarga Dimas.Saat ia sedang menyiapkan sarapan, tiba-tiba terdengar langkah kaki Dimas menuruni tangga. Wulan menoleh dan tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaannya yang gelisah. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari wajah Dimas pagi itu. Ekspresinya tampak lebih serius, seolah ada sesuatu yang mengganggunya.“Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Wulan dengan nada lembut, berharap bisa memecah keheningan.Dimas mengangguk, tetapi ia tidak langsung menjawab. Ia mengambil kursi di meja makan dan duduk dengan sedikit menghela napas panjang. Wulan memperhatikan bahwa Dimas tidak seperti biasanya, seolah ada beban yang sedang ia pikul.“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 128: Tekanan yang Kian Menguat

    Keesokan paginya, Wulan bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Mimpi yang ia alami semalam masih membekas, membuatnya merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup. Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan pikirannya, kenyataan hidup sudah kembali memanggilnya.Saat Wulan turun ke dapur, Bu Ratna sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara mertuanya memandangnya pagi ini."Kamu tidur nyenyak, Wulan?" tanya Bu Ratna dengan nada yang hampir terdengar sinis.Wulan mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa cemas. "Alhamdulillah, Bu. Apakah ada yang bisa saya bantu pagi ini?"Bu Ratna tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, seakan ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Aku ingin kita bicara sedikit, Wulan. Tentang rumah ini... dan tentang kamu."Jantung Wulan berdegup kencang. "Tentu, Bu. Apa yang ingin Ibu bicarakan?"

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 129: Rencana yang Tersusun Rapi

    Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa sedikit berat karena kurang tidur, namun tekadnya yang kuat untuk memperbaiki situasi mendorongnya untuk segera bangkit. Di dalam pikirannya, ia sudah menyusun rencana bagaimana menghadapi hari ini—baik sebagai istri yang lebih perhatian maupun sebagai pemilik rahasia dari Solus Group.Wulan memutuskan untuk memulai hari dengan melakukan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat Dimas merasa lebih diperhatikan. Ia memasak sarapan kesukaan Dimas, dan menyiapkan pakaian kerja yang sudah disetrika dengan rapi. Ketika Dimas bangun, Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat dan ciuman di pipi."Selamat pagi, Mas," ucap Wulan dengan suara lembut. "Sarapan sudah siap. Aku masak bubur ayam kesukaanmu."Dimas tampak sedikit terkejut dengan perhatian Wulan pagi itu, tetapi ia menyambutnya dengan senyuman. "Terima kasih, Sayang. Kamu bangun lebih awal hari ini?"Wulan hanya mengangguk. "Iya, aku ing

Latest chapter

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 146: Tanda-Tanda yang Tak Terduga

    Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 145: Pertemuan yang Mengguncang

    Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 144: Bayang-Bayang Keraguan

    Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 143: Menggali Lebih Dalam

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 142: Tanda-tanda yang Mengkhawatirkan

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 141: Mencari Titik Terang

    Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 140: Awal dari Sebuah Rencana

    Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 139: Menelusuri Jejak Kebenaran

    Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 138: Bayangan Kebohongan

    Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya

DMCA.com Protection Status