Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja, memastikan suaminya bisa menikmati pagi yang tenang sebelum kembali menghadapi tekanan pekerjaan. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu—sebuah dorongan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat Wulan memasuki dapur, ia melihat Bu Ratna sudah ada di sana, memotong sayuran dengan cermat. Ibu mertuanya selalu bangun lebih awal, mungkin sebagai cara untuk mengontrol segalanya di rumah ini. Wulan tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Wulan dengan suara lembut.
Bu Ratna hanya menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada tugasnya. "Pagi. Kamu tidur nyenyak tadi malam?"
"Alhamdulillah, Bu," jawab Wulan sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan.
Diam-diam, Wulan memperhatikan gerak-gerik mertuanya. Ada sesuatu yang lebih dalam cara Bu Ratna menatapnya pagi itu, sesuatu yang t
Malam itu, Wulan duduk sendirian di ruang tamu, ditemani hanya oleh cahaya lampu yang redup. Dimas masih belum pulang dari kantor. Ia bilang ada rapat yang harus dihadiri, sesuatu yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Wulan paham, begitulah pekerjaan Dimas; menuntut waktu dan perhatian yang tidak sedikit.Namun, keheningan rumah semakin mencekiknya. Biasanya, Wulan akan menikmati waktu sendirinya, membaca buku atau menonton drama di televisi. Tapi malam ini, pikirannya terasa penuh dan sesak. Kata-kata Bu Ratna tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinganya.‘Jika kamu benar-benar mencintai Dimas, kamu akan melakukan apa pun yang bisa untuk membuatnya lebih sukses.’Wulan merenung. Ia mencintai Dimas, tentu saja. Tapi mengapa cintanya harus selalu diuji? Kenapa ia harus selalu membuktikan kasih sayangnya dengan cara-cara yang sepertinya lebih menguntungkan pihak lain? Mengapa cintanya tidak cukup?Pikirannya melayang pada percakapannya de
Pagi berikutnya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Tidur yang hanya beberapa jam membuat kepalanya terasa berat, tetapi ada dorongan dalam dirinya untuk segera bangun dan memulai hari. Mungkin dengan menyibukkan diri, ia bisa melupakan perasaan yang terus mengusik hatinya.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam kesukaan Dimas. Meskipun hatinya sedang kacau, Wulan ingin memastikan bahwa suaminya mendapatkan sarapan yang baik sebelum pergi bekerja.Sambil mengaduk bubur di atas kompor, Wulan teringat lagi pada perkataan Bu Ratna. Perlahan, kata-kata itu menancap semakin dalam di pikirannya, membuat Wulan bertanya-tanya tentang pilihannya selama ini. Apakah ia terlalu fokus pada perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga hingga mengabaikan potensi lain dalam dirinya?Tapi di sisi lain, Wulan juga merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh mertuanya? Ia telah me
Hari-hari berikutnya Wulan menjalani rutinitas seperti biasa, tapi dalam diamnya, ia mulai merasakan kebimbangan yang semakin kuat. Di satu sisi, ia ingin terus menjalani perannya sebagai istri yang mendukung suaminya dengan cara yang sudah ia kenal. Di sisi lain, tuntutan dari Bu Ratna dan perasaan bahwa ia harus melakukan lebih, terus mengusik pikirannya.Malam itu, setelah Dimas pulang kerja, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Wulan memperhatikan suaminya yang tampak kelelahan, namun tetap tersenyum dan bersikap hangat padanya. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul di hati Wulan. Apakah selama ini ia sudah cukup mendukung Dimas? Apakah ia benar-benar memenuhi harapan suaminya?“Mas, apa aku sudah cukup membantu kamu selama ini?” tanya Wulan tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Dimas menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Maksud kamu, Sayang?”“Aku hanya berpikir... apa yang sudah
Malam itu, Wulan terjaga lebih lama dari biasanya. Pikiran-pikiran tentang apa yang ia tulis di jurnalnya terus berputar dalam kepalanya. Ia merasa bahwa langkah kecil yang telah ia ambil adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Meski begitu, ada semangat baru dalam dirinya, sebuah keinginan untuk tidak lagi hanya menjadi pengamat dalam kehidupannya sendiri, tetapi juga menjadi penggerak.Esok paginya, Wulan bangun lebih awal. Setelah memastikan Dimas siap berangkat kerja, ia mulai menyusun kegiatan untuk dirinya sendiri. Wulan ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia menemukan brosur tentang kursus keterampilan manajemen waktu secara online. Ia tertarik untuk ikut, bukan hanya karena ingin menambah wawasan, tetapi juga karena ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari.Dengan semangat yang baru, Wulan segera mendaftar untuk kursus tersebut. Ia menyadari bahwa ini a
Keesokan harinya, Wulan merasa lebih bersemangat. Ia bangun pagi-pagi, sebelum Dimas dan Bu Ratna terjaga, untuk melanjutkan rencana bisnis kecilnya. Sambil menyiapkan sarapan, pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara terbaik untuk memulai tanpa menimbulkan kecurigaan.Ketika Dimas bersiap untuk pergi bekerja, Wulan memberinya senyum hangat, seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—sebuah tekad yang mulai tumbuh. Dimas tampaknya tidak menyadari perubahan kecil ini, dan Wulan merasa lega. Baginya, menjaga keseimbangan antara perannya sebagai istri yang setia dan ambisi pribadinya adalah hal yang penting.“Dimas,” panggil Wulan lembut ketika suaminya hendak keluar pintu. Dimas berhenti dan menoleh, menatap istrinya yang tampak seperti biasa, namun dengan sedikit kilatan semangat dalam tatapan matanya. “Hati-hati di jalan, ya.”Dimas tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Wulan. Jangan khawati
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ada kebanggaan karena toko online-nya mulai menunjukkan hasil, tetapi juga ketakutan akan kemungkinan ketahuan. Ia tahu bahwa rahasianya ini bisa menghancurkan kedamaian yang selama ini ia coba pertahankan dalam keluarga Dimas.Saat ia sedang menyiapkan sarapan, tiba-tiba terdengar langkah kaki Dimas menuruni tangga. Wulan menoleh dan tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaannya yang gelisah. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari wajah Dimas pagi itu. Ekspresinya tampak lebih serius, seolah ada sesuatu yang mengganggunya.“Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Wulan dengan nada lembut, berharap bisa memecah keheningan.Dimas mengangguk, tetapi ia tidak langsung menjawab. Ia mengambil kursi di meja makan dan duduk dengan sedikit menghela napas panjang. Wulan memperhatikan bahwa Dimas tidak seperti biasanya, seolah ada beban yang sedang ia pikul.“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan
Keesokan paginya, Wulan bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Mimpi yang ia alami semalam masih membekas, membuatnya merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup. Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan pikirannya, kenyataan hidup sudah kembali memanggilnya.Saat Wulan turun ke dapur, Bu Ratna sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara mertuanya memandangnya pagi ini."Kamu tidur nyenyak, Wulan?" tanya Bu Ratna dengan nada yang hampir terdengar sinis.Wulan mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa cemas. "Alhamdulillah, Bu. Apakah ada yang bisa saya bantu pagi ini?"Bu Ratna tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, seakan ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Aku ingin kita bicara sedikit, Wulan. Tentang rumah ini... dan tentang kamu."Jantung Wulan berdegup kencang. "Tentu, Bu. Apa yang ingin Ibu bicarakan?"
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa sedikit berat karena kurang tidur, namun tekadnya yang kuat untuk memperbaiki situasi mendorongnya untuk segera bangkit. Di dalam pikirannya, ia sudah menyusun rencana bagaimana menghadapi hari ini—baik sebagai istri yang lebih perhatian maupun sebagai pemilik rahasia dari Solus Group.Wulan memutuskan untuk memulai hari dengan melakukan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat Dimas merasa lebih diperhatikan. Ia memasak sarapan kesukaan Dimas, dan menyiapkan pakaian kerja yang sudah disetrika dengan rapi. Ketika Dimas bangun, Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat dan ciuman di pipi."Selamat pagi, Mas," ucap Wulan dengan suara lembut. "Sarapan sudah siap. Aku masak bubur ayam kesukaanmu."Dimas tampak sedikit terkejut dengan perhatian Wulan pagi itu, tetapi ia menyambutnya dengan senyuman. "Terima kasih, Sayang. Kamu bangun lebih awal hari ini?"Wulan hanya mengangguk. "Iya, aku ing