Keesokan paginya, Wulan bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Mimpi yang ia alami semalam masih membekas, membuatnya merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup. Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan pikirannya, kenyataan hidup sudah kembali memanggilnya.
Saat Wulan turun ke dapur, Bu Ratna sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara mertuanya memandangnya pagi ini.
"Kamu tidur nyenyak, Wulan?" tanya Bu Ratna dengan nada yang hampir terdengar sinis.
Wulan mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa cemas. "Alhamdulillah, Bu. Apakah ada yang bisa saya bantu pagi ini?"
Bu Ratna tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, seakan ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Aku ingin kita bicara sedikit, Wulan. Tentang rumah ini... dan tentang kamu."
Jantung Wulan berdegup kencang. "Tentu, Bu. Apa yang ingin Ibu bicarakan?"
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa sedikit berat karena kurang tidur, namun tekadnya yang kuat untuk memperbaiki situasi mendorongnya untuk segera bangkit. Di dalam pikirannya, ia sudah menyusun rencana bagaimana menghadapi hari ini—baik sebagai istri yang lebih perhatian maupun sebagai pemilik rahasia dari Solus Group.Wulan memutuskan untuk memulai hari dengan melakukan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat Dimas merasa lebih diperhatikan. Ia memasak sarapan kesukaan Dimas, dan menyiapkan pakaian kerja yang sudah disetrika dengan rapi. Ketika Dimas bangun, Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat dan ciuman di pipi."Selamat pagi, Mas," ucap Wulan dengan suara lembut. "Sarapan sudah siap. Aku masak bubur ayam kesukaanmu."Dimas tampak sedikit terkejut dengan perhatian Wulan pagi itu, tetapi ia menyambutnya dengan senyuman. "Terima kasih, Sayang. Kamu bangun lebih awal hari ini?"Wulan hanya mengangguk. "Iya, aku ing
Hari itu, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan yang sedang sibuk di dapur, tidak menyadari kehadirannya hingga ia mendengar suara pintu depan yang tertutup perlahan. Ia bergegas keluar dari dapur dan menemukan Dimas sedang melepas sepatunya di ruang tamu.“Kok pulang cepat, Mas?” Wulan menyapa dengan senyum manis.Dimas menatap Wulan dengan lembut. “Hari ini pekerjaan di kantor selesai lebih cepat. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu.”Mendengar ucapan Dimas, hati Wulan menghangat. Ia merasa bersyukur memiliki suami yang begitu peduli, meskipun Dimas tidak tahu apa yang sebenarnya ia alami di rumah ini. Sementara itu, Bu Ratna dan Aisyah, adik iparnya, diam-diam memperhatikan dari kejauhan. Mereka tahu bahwa dengan Dimas di rumah, mereka harus bersikap baik pada Wulan.“Kita habiskan sore ini bersama-sama, ya?” usul Dimas sambil tersenyum.Wulan mengangguk setuju, namun di balik senyumnya,
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas