Malam itu, Wulan terjaga lebih lama dari biasanya. Pikiran-pikiran tentang apa yang ia tulis di jurnalnya terus berputar dalam kepalanya. Ia merasa bahwa langkah kecil yang telah ia ambil adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Meski begitu, ada semangat baru dalam dirinya, sebuah keinginan untuk tidak lagi hanya menjadi pengamat dalam kehidupannya sendiri, tetapi juga menjadi penggerak.
Esok paginya, Wulan bangun lebih awal. Setelah memastikan Dimas siap berangkat kerja, ia mulai menyusun kegiatan untuk dirinya sendiri. Wulan ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia menemukan brosur tentang kursus keterampilan manajemen waktu secara online. Ia tertarik untuk ikut, bukan hanya karena ingin menambah wawasan, tetapi juga karena ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari.
Dengan semangat yang baru, Wulan segera mendaftar untuk kursus tersebut. Ia menyadari bahwa ini a
Keesokan harinya, Wulan merasa lebih bersemangat. Ia bangun pagi-pagi, sebelum Dimas dan Bu Ratna terjaga, untuk melanjutkan rencana bisnis kecilnya. Sambil menyiapkan sarapan, pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara terbaik untuk memulai tanpa menimbulkan kecurigaan.Ketika Dimas bersiap untuk pergi bekerja, Wulan memberinya senyum hangat, seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—sebuah tekad yang mulai tumbuh. Dimas tampaknya tidak menyadari perubahan kecil ini, dan Wulan merasa lega. Baginya, menjaga keseimbangan antara perannya sebagai istri yang setia dan ambisi pribadinya adalah hal yang penting.“Dimas,” panggil Wulan lembut ketika suaminya hendak keluar pintu. Dimas berhenti dan menoleh, menatap istrinya yang tampak seperti biasa, namun dengan sedikit kilatan semangat dalam tatapan matanya. “Hati-hati di jalan, ya.”Dimas tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Wulan. Jangan khawati
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ada kebanggaan karena toko online-nya mulai menunjukkan hasil, tetapi juga ketakutan akan kemungkinan ketahuan. Ia tahu bahwa rahasianya ini bisa menghancurkan kedamaian yang selama ini ia coba pertahankan dalam keluarga Dimas.Saat ia sedang menyiapkan sarapan, tiba-tiba terdengar langkah kaki Dimas menuruni tangga. Wulan menoleh dan tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaannya yang gelisah. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari wajah Dimas pagi itu. Ekspresinya tampak lebih serius, seolah ada sesuatu yang mengganggunya.“Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Wulan dengan nada lembut, berharap bisa memecah keheningan.Dimas mengangguk, tetapi ia tidak langsung menjawab. Ia mengambil kursi di meja makan dan duduk dengan sedikit menghela napas panjang. Wulan memperhatikan bahwa Dimas tidak seperti biasanya, seolah ada beban yang sedang ia pikul.“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan
Keesokan paginya, Wulan bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Mimpi yang ia alami semalam masih membekas, membuatnya merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup. Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan pikirannya, kenyataan hidup sudah kembali memanggilnya.Saat Wulan turun ke dapur, Bu Ratna sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara mertuanya memandangnya pagi ini."Kamu tidur nyenyak, Wulan?" tanya Bu Ratna dengan nada yang hampir terdengar sinis.Wulan mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa cemas. "Alhamdulillah, Bu. Apakah ada yang bisa saya bantu pagi ini?"Bu Ratna tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, seakan ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Aku ingin kita bicara sedikit, Wulan. Tentang rumah ini... dan tentang kamu."Jantung Wulan berdegup kencang. "Tentu, Bu. Apa yang ingin Ibu bicarakan?"
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa sedikit berat karena kurang tidur, namun tekadnya yang kuat untuk memperbaiki situasi mendorongnya untuk segera bangkit. Di dalam pikirannya, ia sudah menyusun rencana bagaimana menghadapi hari ini—baik sebagai istri yang lebih perhatian maupun sebagai pemilik rahasia dari Solus Group.Wulan memutuskan untuk memulai hari dengan melakukan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat Dimas merasa lebih diperhatikan. Ia memasak sarapan kesukaan Dimas, dan menyiapkan pakaian kerja yang sudah disetrika dengan rapi. Ketika Dimas bangun, Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat dan ciuman di pipi."Selamat pagi, Mas," ucap Wulan dengan suara lembut. "Sarapan sudah siap. Aku masak bubur ayam kesukaanmu."Dimas tampak sedikit terkejut dengan perhatian Wulan pagi itu, tetapi ia menyambutnya dengan senyuman. "Terima kasih, Sayang. Kamu bangun lebih awal hari ini?"Wulan hanya mengangguk. "Iya, aku ing
Hari itu, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan yang sedang sibuk di dapur, tidak menyadari kehadirannya hingga ia mendengar suara pintu depan yang tertutup perlahan. Ia bergegas keluar dari dapur dan menemukan Dimas sedang melepas sepatunya di ruang tamu.“Kok pulang cepat, Mas?” Wulan menyapa dengan senyum manis.Dimas menatap Wulan dengan lembut. “Hari ini pekerjaan di kantor selesai lebih cepat. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu.”Mendengar ucapan Dimas, hati Wulan menghangat. Ia merasa bersyukur memiliki suami yang begitu peduli, meskipun Dimas tidak tahu apa yang sebenarnya ia alami di rumah ini. Sementara itu, Bu Ratna dan Aisyah, adik iparnya, diam-diam memperhatikan dari kejauhan. Mereka tahu bahwa dengan Dimas di rumah, mereka harus bersikap baik pada Wulan.“Kita habiskan sore ini bersama-sama, ya?” usul Dimas sambil tersenyum.Wulan mengangguk setuju, namun di balik senyumnya,
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan