Hari-hari berlalu, dan meskipun Wulan berusaha untuk melanjutkan rutinitasnya, bayang-bayang keraguan terus menghantui pikirannya. Dimas, seperti biasa, berangkat kerja pagi-pagi dan pulang larut malam. Namun, Wulan mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Suaminya tampak lebih sering melamun, dan meskipun ia tetap bersikap hangat di hadapannya, Wulan bisa merasakan jarak yang semakin besar di antara mereka.
Pagi itu, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Wulan duduk di ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya. Ia memandangi dinding putih di hadapannya, mencoba memutuskan apa yang harus dilakukan. Pikirannya terus berputar pada dokumen yang ia temukan di kamar kerja Dimas. Rasa ingin tahu dan khawatir yang terus bertambah membuatnya sulit untuk berpikir jernih.
"Apakah aku harus bertanya langsung pada Dimas?" pikir Wulan. Namun, bayangan akan kemarahan suaminya jika ia mengetahui bahwa Wulan telah memeriksa dokumen-dokumennya membuatnya ragu. Mungkin saja semua ini
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Perasaan aneh yang muncul sejak percakapan dengan Dimas malam sebelumnya membuatnya gelisah sepanjang malam. Ia ingin mempercayai suaminya, tapi ada bagian dari dirinya yang merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah proyek di kantor.Setelah menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan mengantar mereka ke sekolah, Wulan kembali ke rumah dengan hati yang berat. Ia merasa seolah ada beban besar yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang ia tidak bisa ungkapkan atau bahkan pahami sepenuhnya.Ia menuju kamar tidur, lalu berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Di cermin itu, Wulan melihat wajah seorang wanita yang lelah, baik secara fisik maupun emosional. "Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?" gumamnya pelan, seakan berharap bayangannya bisa memberikan jawaban.Tak lama setelah itu, telepon rumah berdering, mengagetkan Wulan dari lamunannya. Ia segera mengangkatnya, berharap itu Dimas yang me
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Ia melihat ke arah jendela kamar yang masih setengah terbuka, cahaya matahari pagi menyelinap masuk, tetapi sinarnya tidak mampu mengusir awan kecemasan yang menyelimuti hatinya. Dimas sudah pergi bekerja lebih awal, meninggalkan Wulan sendiri dengan pikiran-pikirannya.Hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-10, sebuah hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan dan kenangan indah. Namun, bukannya merasa bersemangat seperti biasanya, Wulan malah diliputi perasaan resah yang semakin menjadi-jadi. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas harian—membersihkan rumah, mempersiapkan sarapan untuk anak-anak, dan merapikan halaman depan. Tapi, semua itu tidak berhasil membuat pikirannya tenang.Sekitar pukul sepuluh pagi, bel pintu rumah berbunyi. Wulan bergegas membuka pintu dan terkejut melihat seorang kurir berdiri di sana, membawa sebuah paket besar dengan pita merah di
Wulan tidak bisa tidur malam itu. Setelah kejadian di ruang tamu, pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban dari semua pertanyaan yang memenuhi benaknya. Dimas telah kembali ke kamar setelah beberapa jam duduk di ruang tamu, tapi suasana di antara mereka tetap tegang. Tidak ada percakapan lebih lanjut, hanya keheningan yang menyelimuti mereka.Ketika akhirnya Wulan terlelap, mimpinya dipenuhi dengan bayangan-bayangan masa lalu—momen-momen indah yang pernah mereka bagi bersama, saat cinta mereka masih murni, jauh sebelum masalah dan rahasia mulai merusak hubungan mereka. Namun, bahkan dalam mimpi, bayangan-bayangan itu tampak buram, seperti lukisan yang warnanya memudar karena waktu.Pagi harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap Dimas yang masih tertidur di sampingnya, wajahnya tampak lelah. Wulan merasa simpati, tetapi juga masih ada rasa sakit yang mengganjal di hatinya. Tanpa membangunkannya, Wulan bangkit dari tempat tidur dan memutu
Beberapa hari setelah percakapan mendalam mereka, Wulan berusaha keras untuk memulihkan keadaan. Ia melakukan yang terbaik untuk menunjukkan bahwa ia masih mencintai dan mempercayai Dimas. Namun, di balik senyumnya, ada perasaan was-was yang terus menggelayuti hatinya. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca tipis—rapuh, dan bisa pecah kapan saja.Suatu sore, saat Wulan sedang duduk di teras belakang sambil menikmati teh hangat, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Dimas—seorang pria yang penuh percaya diri, penuh dengan impian dan ambisi besar. Wulan terpesona oleh semangatnya, oleh bagaimana Dimas berbicara tentang masa depan mereka dengan begitu yakin.Di awal pernikahan mereka, Dimas selalu berusaha membuat Wulan bahagia. Ia adalah suami yang penuh perhatian, yang selalu memprioritaskan kebahagiaan Wulan di atas segalanya. Namun, seiring berjalannya waktu, Wulan mulai merasakan adanya perubahan. Dima
Wulan merasa hari-hari berlalu dengan lambat setelah percakapan mereka di teras belakang. Ketidakpastian mulai menyelimuti setiap sudut kehidupannya, terutama ketika ia berada di rumah bersama keluarga Dimas. Meskipun Dimas berusaha keras untuk tetap mendekatkan diri padanya, ketegangan di antara mereka mulai tampak jelas—seperti sebuah benang halus yang perlahan-lahan terurai.Pagi itu, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Wulan, seperti biasa, mulai menyiapkan sarapan untuk mertuanya. Ia tahu, ibu mertuanya, Bu Ratna, tidak akan melewatkan kesempatan untuk memberikan komentar sinis atau menyindirnya, meskipun selalu dilakukan dengan senyuman di wajahnya. Wulan sudah cukup paham dengan dinamika ini.Saat Wulan sibuk di dapur, Bu Ratna masuk dengan wajah dingin. “Wulan, kamu buatkan teh untuk Bapak, ya. Jangan lupa, beliau suka tehnya panas, bukan hangat,” kata Bu Ratna tanpa menatap Wulan, suaranya terdengar seperti perintah, buk
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Meskipun malam sebelumnya Dimas telah memberikan sedikit ketenangan dengan kata-kata penghargaannya, ada sesuatu yang mengganjal di hati Wulan. Seperti ada awan gelap yang menggantung di atas rumah mereka, menunggu saat yang tepat untuk menurunkan badai.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ada beban yang semakin menekan pundaknya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah dan mempersiapkan makan siang untuk mertuanya, tetapi kegelisahan itu tetap ada.Saat jam makan siang tiba, Bu Ratna dan Pak Hendra duduk di meja makan, berbicara dengan suara pelan seperti biasa. Wulan menyajikan makanan dengan senyum di wajahnya, meskipun hatinya merasa hampa. Ia duduk di ujung meja, menanti reaksi dari mertuanya."Terima kasih, Wulan," kata Pak Hendra dengan singkat, menatap makananny
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja, memastikan suaminya bisa menikmati pagi yang tenang sebelum kembali menghadapi tekanan pekerjaan. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu—sebuah dorongan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Saat Wulan memasuki dapur, ia melihat Bu Ratna sudah ada di sana, memotong sayuran dengan cermat. Ibu mertuanya selalu bangun lebih awal, mungkin sebagai cara untuk mengontrol segalanya di rumah ini. Wulan tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya."Selamat pagi, Bu," sapa Wulan dengan suara lembut.Bu Ratna hanya menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada tugasnya. "Pagi. Kamu tidur nyenyak tadi malam?""Alhamdulillah, Bu," jawab Wulan sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan.Diam-diam, Wulan memperhatikan gerak-gerik mertuanya. Ada sesuatu yang lebih dalam cara Bu Ratna menatapnya pagi itu, sesuatu yang t
Malam itu, Wulan duduk sendirian di ruang tamu, ditemani hanya oleh cahaya lampu yang redup. Dimas masih belum pulang dari kantor. Ia bilang ada rapat yang harus dihadiri, sesuatu yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Wulan paham, begitulah pekerjaan Dimas; menuntut waktu dan perhatian yang tidak sedikit.Namun, keheningan rumah semakin mencekiknya. Biasanya, Wulan akan menikmati waktu sendirinya, membaca buku atau menonton drama di televisi. Tapi malam ini, pikirannya terasa penuh dan sesak. Kata-kata Bu Ratna tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinganya.‘Jika kamu benar-benar mencintai Dimas, kamu akan melakukan apa pun yang bisa untuk membuatnya lebih sukses.’Wulan merenung. Ia mencintai Dimas, tentu saja. Tapi mengapa cintanya harus selalu diuji? Kenapa ia harus selalu membuktikan kasih sayangnya dengan cara-cara yang sepertinya lebih menguntungkan pihak lain? Mengapa cintanya tidak cukup?Pikirannya melayang pada percakapannya de