Semua Bab Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua: Bab 1 - Bab 10

14 Bab

Bab 1: Kemunculan Sajak Abadi

Hujan deras menghantam atap-atap rumah di Desa Tanjung Biru, sebuah desa kecil yang damai di tepi Laut Tengah. Kilat menyambar, menerangi langit kelam yang seolah menangis bersama dengan para penghuni desa yang bersembunyi di balik dinding-dinding rapuh. Desa yang dulunya tenteram, kini diselimuti kecemasan dan ketakutan yang tak terungkapkan.“Bu, apakah mereka akan datang ke sini?” tanya Gema dengan suara bergetar, matanya menatap keluar jendela yang buram oleh air hujan.Dewi Sri Lestari, ibu angkat Gema, memeluknya erat. Wajahnya yang selalu tenang kini memancarkan kecemasan yang jarang terlihat. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi kita harus siap. Apapun yang terjadi, kau harus tetap kuat.”Kata-kata itu seakan tak mampu menghapus ketakutan yang menggerogoti hati Gema. Sejak kecil, dia selalu merasa aman dalam dekapan ibunya, namun malam ini, kehangatan itu terasa jauh, seperti bayangan yang perlahan memudar di tengah kegelapan yang merayap.Gema mencoba mengingat masa-masa sebelum ini,
Baca selengkapnya

Bab 2: Darah di Tengah Hujan

Gema terus berlari, napasnya terengah-engah, dadanya sesak oleh rasa takut dan kesedihan yang tak tertahankan. Hujan masih turun dengan deras, mengaburkan pandangannya dan menyelimuti dunia dengan tirai kelabu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya.Namun, sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berhenti. Entah itu rasa takut, entah itu naluri, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya berpaling ke belakang. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang mungkin dia lihat.Gema menoleh, dan di kejauhan, samar-samar dia melihat rumahnya. Api mulai menjilat atapnya yang sudah rapuh, menyebar dengan cepat. Dia bisa melihat bayangan para prajurit Benua Barat yang bergerak di dalam hujan, mengepung rumahnya dengan niat jahat yang terpampang jelas.Di tengah mereka, seorang pria bertubuh besar, dengan baju zirah berkilauan, tampak berdiri di depan pintu. Tangannya memegang pedang besar yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Gema tidak bisa melihat wajahnya dengan j
Baca selengkapnya

Bab 3: Langkah Pertama di Jalan yang Panjang

Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan. Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk mel
Baca selengkapnya

Bab 4: Malam Berdarah di Desa Tepi Hutan

Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara
Baca selengkapnya

Bab 5: Kekuatan yang Terbangkitkan

Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah
Baca selengkapnya

Bab 6: Mimpi dan Pakta Surga

Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Baca selengkapnya

Bab 7: Cahaya Harapan di Tengah Kesedihan

Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Baca selengkapnya

Bab 8: Hutan Bayangan Surga

Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Baca selengkapnya

Bab 9: Pertemuan yang Tak Terduga

Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Baca selengkapnya

Bab 10: Keajaiban dari Pencerahan

Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status