Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti.
Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.
Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.
Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar.
Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.
“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipenuhi dengan keputusasaan yang dia coba sembunyikan.
Roro merawat Gema dengan penuh kasih sayang, seperti seorang kakak yang merawat adik kecilnya. Dia membersihkan luka-luka Gema, mencoba mengurangi rasa sakit yang mungkin dirasakannya. Setiap malam, Roro tetap terjaga, memastikan api tetap menyala dan Gema tetap hangat.
Namun, meskipun sudah berhari-hari berlalu, Gema tidak kunjung sadar. Wajahnya tampak tenang, namun ada guratan rasa sakit yang terlihat jelas di raut wajahnya. Roro bisa melihat keringat dingin yang terus mengalir di dahi Gema, seolah bocah itu sedang bertarung melawan sesuatu di dalam mimpinya.
Suatu malam, ketika angin di luar gua berhembus dengan keras, Roro mendengar Gema mulai bergumam dalam tidurnya. Suara itu pelan, hampir tak terdengar, namun penuh dengan kecemasan.
“Tidak... jangan... tolong...”
Roro menunduk lebih dekat, berusaha mendengarkan dengan jelas apa yang Gema katakan. Hatinya semakin resah melihat bocah itu terguncang dalam tidurnya. Gema mulai bergerak gelisah, tubuhnya berkeringat lebih deras, dan dia terus bergumam dengan nada yang semakin putus asa.
“Gema, bangun... kumohon bangunlah,” Roro memanggilnya dengan suara lembut, mengguncang bahu Gema dengan hati-hati. Namun, bocah itu tidak merespon. Malah, gumaman Gema semakin jelas dan aneh.
“Api... mereka... semua terbakar...,” suara Gema terdengar getir, penuh dengan rasa takut dan rasa bersalah yang dalam.
Roro mencoba untuk menenangkannya, tetapi Gema tetap terperangkap dalam mimpinya. Dia melihat Gema berkeringat semakin deras, wajahnya penuh dengan ketegangan, seolah dia sedang menyaksikan tragedi besar di dalam mimpinya.
Tiba-tiba, Gema mengucapkan sesuatu yang membuat Roro terdiam. Kata-kata yang dia gumamkan terdengar seperti bahasa kuno, bahasa yang belum pernah didengar oleh Roro sebelumnya. Suara Gema terdengar datar, namun penuh dengan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan.
“Pakta Surga... takdir... terikat dalam darah...”
Roro tertegun, tubuhnya merinding mendengar kalimat-kalimat aneh yang keluar dari mulut Gema. Sebelum dia bisa mencerna lebih jauh, tubuh Gema tiba-tiba mulai bersinar lembut, memancarkan cahaya yang tidak wajar di tengah kegelapan gua.
“Gema...?” Roro berbisik ketakutan, matanya melebar melihat cahaya itu semakin terang.
Lalu, tanpa peringatan, tubuh Gema perlahan-lahan terangkat dari tanah. Dia melayang di udara, mata tertutup rapat, sementara cahaya semakin menguat di sekeliling tubuhnya.
Tulisan-tulisan kuno yang bercahaya mulai muncul di udara, melingkupi tubuh Gema. Tulisan-tulisan itu berputar di sekelilingnya, seolah-olah mereka hidup, menari dalam pola-pola yang tidak bisa dipahami oleh Roro.
“Tidak... ini tidak mungkin...” Roro mundur dengan ketakutan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Tulisan-tulisan itu terus berputar, semakin cepat, semakin terang. Roro hanya bisa menatap dengan penuh ketakutan, namun di dalam hatinya dia merasakan sesuatu yang kuat—sesuatu yang suci dan penuh dengan kekuatan, namun juga sangat mengerikan.
“Pakta Surga...,” Gema bergumam lagi, suaranya kini bergema di seluruh gua, seolah-olah ada kekuatan yang jauh lebih besar berbicara melalui dirinya.
Roro merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya, tetapi dia tetap di tempatnya, berusaha menahan rasa takut yang menggigit. Dia tahu bahwa Gema sedang melalui sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mungkin sangat penting bagi masa depan mereka semua.
Kemudian, dengan tiba-tiba, tulisan-tulisan kuno itu menyatu dengan tubuh Gema, menyatu dalam kulitnya, seperti tinta yang meresap dalam kertas. Cahaya itu kemudian meredup perlahan, meninggalkan Gema yang masih melayang di udara, sebelum perlahan turun kembali ke tanah.
Tubuh Gema tergeletak di tanah, kembali tak bergerak. Namun, aura di sekelilingnya terasa berbeda—lebih kuat, lebih penuh dengan energi yang tidak pernah ada sebelumnya. Roro mendekat, berlutut di samping Gema, mencoba membangunkannya sekali lagi.
“Gema... Gema, apa yang terjadi padamu? Tolong, bangunlah,” Roro merintih, menggenggam tangan Gema dengan erat.
Tiba-tiba, mata Gema terbuka dengan cepat, seolah-olah dia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar, dan matanya tampak bingung dan penuh ketakutan.
“Roro... apa yang...?” Gema berbisik dengan suara serak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Roro tersenyum lega, meski air mata masih mengalir di pipinya. “Kau akhirnya bangun, Gema. Aku... aku sangat takut kau tidak akan pernah bangun lagi.”
Gema masih terlihat bingung, tetapi dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang kuat, yang tidak dia miliki sebelumnya. “Aku... merasa aneh, Roro. Seperti ada sesuatu yang baru di dalam diriku... sesuatu yang besar.”
Roro memeluk Gema erat, seolah-olah takut dia akan kehilangan bocah itu lagi. “Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama, Gema. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Gema balas memeluk Roro, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Medali yang diberikan oleh ibunya, tulisan-tulisan kuno yang muncul, dan kekuatan yang tiba-tiba meledak dari dalam dirinya—semuanya terasa seperti bagian dari takdir yang jauh lebih besar dari yang dia pahami.
Malam itu, di dalam gua kecil yang tersembunyi di kedalaman hutan, Gema dan Roro duduk bersama, mencoba memahami apa yang baru saja mereka alami.
Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh bahaya, tapi sekarang, ada sesuatu yang baru dalam diri Gema—sesuatu yang mungkin bisa mengubah nasib dunia.
Di tengah keheningan malam, mereka berdua menyadari bahwa takdir telah memilih jalan yang sulit untuk mereka. Tapi apa pun yang akan datang, mereka siap untuk menghadapi semuanya bersama.
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian luar biasa yang menyelamatkan nyawa Jaka. Gema, yang akhirnya siuman setelah beristirahat panjang, mulai merasakan kekuatan yang berbeda dalam dirinya. Meskipun masih bingung dengan apa yang terjadi, dia tahu bahwa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang besar dan tak terelakkan. Roro dan Jaka, meski lelah, tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka harus melanjutkan misi yang telah diwariskan kepada mereka.Siang itu, di bawah langit biru yang cerah, Jaka berdiri di tepi gua kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka selama beberapa hari terakhir. Dia memandang ke arah hutan yang luas, matanya dipenuhi dengan tekad yang baru. "Kita harus melanj
Matahari siang bersinar terik di atas desa pertama di Benua Timur yang mereka temui. Gema, Roro, dan Jaka melangkah perlahan melalui jalanan desa yang berdebu. Desa itu sederhana namun penuh kehidupan. Penduduknya sibuk dengan aktivitas sehari-hari, mulai dari bertani, berdagang, hingga merawat ternak. Suara tawa anak-anak bermain di kejauhan memberikan nuansa damai yang kontras dengan ketegangan yang baru saja mereka alami di dalam Hutan Bayangan Surga.Gema tampak kagum, matanya melirik ke sana kemari dengan penuh rasa ingin tahu. Sejak kecil, dia tidak pernah keluar dari desanya di perbatasan antara Benua Timur dan Barat. Segala sesuatu di sini terasa baru baginya—rumah-rumah dengan atap jerami, orang-orang yang berpakaian berbeda, bahkan aroma masakan yang berasal dari warung-warung kecil di sepanjang jalan.
Desa pertama yang mereka temui di Benua Timur ini bernama Desa Kembang Ilalang. Terletak di lembah yang subur, desa ini dikelilingi oleh ladang-ladang padi yang menguning dan bukit-bukit hijau yang seolah melindungi desa dari dunia luar. Dari kejauhan, desa ini tampak damai dan tenang, namun di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersimpan rapat.Saat Gema, Jaka, dan Roro melangkah lebih ke dalam desa, mereka langsung menarik perhatian penduduk setempat. Mata-mata curiga dan waspada mengikuti setiap gerakan mereka, meskipun beberapa orang mencoba menyambut mereka dengan senyuman ramah.“Mengapa semua orang menatap kita seperti itu?” bisik Gema kepada Jaka, merasa tidak nyaman dengan pandangan yang mereka terima.