Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka.
Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup. “Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam. Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.” Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah mereka. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, dua sosok muncul, menghalangi jalan mereka. Gema dan Roro berhenti seketika, tubuh mereka tegang dan penuh waspada. Di depan mereka, berdiri dua pemimpin pasukan Benua Barat yang menakutkan—dua sosok yang telah lama ditakuti oleh siapa pun yang mendengar nama mereka. Yang pertama, seorang pria tinggi dengan rambut putih dan jubah hitam yang panjang. Matanya merah menyala, penuh dengan kebencian yang mendalam. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seolah-olah dia menikmati setiap detik pengejaran ini. Dialah Raden Senapati, seorang jenderal besar dari Benua Barat, yang terkenal karena kekejamannya di medan perang. Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut hitam yang tergerai hingga pinggang, mengenakan gaun merah darah yang tampak hidup, seperti dilumuri oleh darah korbannya. Matanya yang berwarna hijau memancarkan kekuatan sihir gelap yang kuat. Wanita itu adalah Dewi Larasati, seorang penyihir yang terkenal dengan sihir gelapnya yang mampu menghancurkan siapa saja yang berdiri di hadapannya. “Lihat siapa yang kita temukan di sini,” suara Raden Senapati menggema di antara pepohonan. “Bocah yang telah kita cari, dan... ah, siapa ini? Gadis kecil yang malang.” Gema merasakan bulu kuduknya berdiri, namun dia tetap berdiri di depan Roro, melindunginya dari kedua musuh yang menakutkan itu. “Apa yang kalian inginkan dari kami?” Gema bertanya, meski suaranya bergetar. Dewi Larasati tertawa kecil, suara tawanya seperti racun yang merayap di kulit. “Kami menginginkanmu, Gema. Kau adalah kunci untuk menghentikan perang ini. Tapi bukan dengan cara yang kau bayangkan.” Roro memandang mereka dengan mata penuh kebencian. “Kami tidak akan menyerah begitu saja!” Namun, sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, Raden Senapati mengangkat tangannya. “Kau terlalu naif, gadis kecil. Kau pikir bisa melarikan diri dari kami?” Dengan gerakan cepat, Raden Senapati mengangkat tangannya dan melontarkan panah sihir gelap ke arah mereka. Gema dan Roro berusaha menghindar, tapi panah itu melesat terlalu cepat. Panah itu menembus lengan Gema, membuatnya terjatuh, sementara panah lainnya melukai kaki Roro, membuatnya tersandung dan jatuh di samping Gema. “Akh!” Gema menjerit kesakitan, merasakan rasa terbakar yang menyebar dari luka di lengannya. Roro juga merintih, berusaha menahan rasa sakit di kakinya. “Gema, kita tidak bisa menyerah di sini...” Raden Senapati dan Dewi Larasati mendekat, mata mereka penuh kemenangan. Pasukan mereka juga mengepung dari segala arah, membuat Gema dan Roro benar-benar terpojok. Tidak ada jalan keluar. Kematian seolah sudah di depan mata. “Sudah selesai, bocah. Kau tidak akan bisa lolos kali ini,” ucap Dewi Larasati, mengangkat tangannya yang bersinar dengan kekuatan sihir gelap, siap untuk memberikan pukulan terakhir. Namun, tepat saat Dewi Larasati hendak melepaskan serangan, sesuatu yang aneh terjadi. Medali Nusantara, yang tergantung di leher Gema, tiba-tiba bersinar terang, memancarkan cahaya yang begitu kuat hingga menerangi seluruh hutan. Cahaya itu semakin lama semakin terang, seolah-olah merespon ancaman yang akan menghancurkan Gema dan Roro. “Apa ini?” Raden Senapati terkejut, menutupi matanya dari cahaya yang menyilaukan. Gema tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia merasakan sesuatu yang kuat bangkit di dalam dirinya—sebuah kekuatan yang tidak pernah dia sadari sebelumnya. Cahaya dari medali itu menyatu dengan tubuhnya, mengalir melalui nadinya, dan tiba-tiba, dia merasakan kekuatan besar mengalir di sekujur tubuhnya. “Gema... apa yang terjadi?” Roro bertanya dengan suara lemah, masih berjuang untuk tetap sadar. “Aku... tidak tahu...” Gema menjawab, meski dalam hatinya, dia tahu bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Dewi Larasati mengerutkan alis, merasa ada sesuatu yang salah. “Kita harus membunuhnya sekarang sebelum...” Tapi kata-katanya terputus saat Gema tiba-tiba berdiri, tubuhnya kini dilingkupi oleh aura yang bersinar terang. Sihir dan kultivasi yang selama ini tersembunyi di dalam dirinya bangkit bersamaan, menciptakan kekuatan yang menggetarkan bumi di bawah kaki mereka. Mata Gema, yang sebelumnya penuh dengan ketakutan, kini menyala dengan kekuatan yang tak terbendung. Dengan gerakan yang tak terkendali namun penuh kekuatan, Gema mengangkat tangannya. Sihir kuno dan energi kultivasi dari Timur menyatu di dalam dirinya, membentuk serangan yang begitu kuat hingga membuat udara di sekitarnya bergetar. Dalam sekejap, ribuan prajurit yang mengepung mereka terangkat ke udara, lalu tubuh mereka terhempas dengan keras ke tanah, darah mereka berserakan di mana-mana. “Ini... mustahil!” Raden Senapati berteriak, mencoba melindungi dirinya dengan perisai sihir, namun kekuatan Gema terlalu besar. Dengan satu gerakan, Gema melepaskan serangan besar, sebuah kombinasi antara sihir kuno dan energi kultivasi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Gelombang energi yang mengerikan meluncur ke arah pasukan musuh, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya. Jeritan kematian dan suara tubuh yang hancur menggema di seluruh hutan. Dewi Larasati, yang menyadari bahaya yang semakin dekat, mencoba mundur. Namun, serangan Gema terlalu cepat. Cahaya dari medali itu terus menyatu dengan tubuh Gema, memperkuat setiap serangan yang dia lepaskan. Dalam hitungan detik, ribuan prajurit tewas, darah mereka membasahi tanah hutan. Hanya Raden Senapati dan Dewi Larasati yang tersisa, namun mereka pun terhuyung-huyung, kekuatan mereka terkuras oleh kekuatan Gema yang bangkit secara tiba-tiba. “Ini tidak mungkin...! Dia hanya bocah!” teriak Dewi Larasati dengan marah, namun matanya dipenuhi ketakutan. Gema, dengan tubuhnya yang kini mulai kehilangan kendali, melihat mereka dengan mata yang bersinar terang. Namun, tepat saat dia hendak melepaskan serangan terakhir, kekuatannya tiba-tiba lenyap. Cahaya dari medali menghilang, dan tubuh Gema jatuh ke tanah dengan keras. “Gema!” Roro berteriak, meski dia sendiri hampir tidak bisa bergerak. Dia merangkak menuju Gema, berusaha memeriksa apakah dia masih hidup. Gema terbaring tak bergerak, tubuhnya lemah setelah mengeluarkan kekuatan yang begitu besar. Namun, napasnya masih ada, meski sangat lemah. Medali Nusantara yang tergantung di lehernya kini tampak menyatu dengan kulitnya, seolah-olah menjadi bagian dari dirinya. Dewi Larasati dan Raden Senapati, yang masih terhuyung, saling memandang. Mereka tahu bahwa serangan ini bukan akhir, tetapi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya. “Kita harus mundur... untuk saat ini,” bisik Raden Senapati, meski kebencian dan dendam masih terlihat jelas di matanya. Dewi Larasati mengangguk lemah, lalu keduanya memutuskan untuk mundur, meninggalkan hutan dengan pasukan yang tersisa. Mereka tahu bahwa mereka telah kalah untuk malam ini, tapi pertempuran belum berakhir. Di tengah hutan yang kini sunyi setelah pembantaian besar, Roro merangkak mendekati tubuh Gema yang tak bergerak. Hati gadis itu dipenuhi ketakutan, namun dia tahu bahwa dia harus tetap tenang. Gema adalah harapan terakhir mereka, dan dia tidak bisa membiarkan bocah itu terluka lebih parah, apalagi mati. “Gema... bangun, Gema,” bisik Roro, mengguncang bahu Gema dengan lembut. Namun, Gema tidak merespon. Tubuhnya tampak lelah, seolah seluruh energinya telah terkuras habis oleh kekuatan luar biasa yang baru saja dia lepaskan. Medali Nusantara yang sebelumnya bersinar terang kini tampak tenang, menyatu dengan kulitnya, seakan menjadi satu dengan tubuh Gema. Air mata mulai mengalir di pipi Roro. “Kumohon, Gema... bangunlah... kita harus pergi dari sini...” Meski panik, Roro mencoba mengingat ajaran pengobatan tradisional yang dia pelajari sejak kecil. Dengan tangan gemetar, dia memeriksa nadi Gema dan merasakan denyut yang lemah, tetapi masih ada. Itu memberikan sedikit harapan di hatinya. “Aku harus membawanya ke tempat yang aman,” bisik Roro pada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi. Meskipun pasukan musuh telah mundur, mereka bisa kembali kapan saja. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, Roro mulai mengangkat tubuh Gema. Meski tubuh Gema lebih besar dan lebih berat dari yang bisa dia tanggung, Roro tidak menyerah. Dia memanggul Gema di punggungnya dan mulai berjalan dengan tertatih-tatih melalui hutan, berusaha mencari tempat berlindung.Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian luar biasa yang menyelamatkan nyawa Jaka. Gema, yang akhirnya siuman setelah beristirahat panjang, mulai merasakan kekuatan yang berbeda dalam dirinya. Meskipun masih bingung dengan apa yang terjadi, dia tahu bahwa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang besar dan tak terelakkan. Roro dan Jaka, meski lelah, tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka harus melanjutkan misi yang telah diwariskan kepada mereka.Siang itu, di bawah langit biru yang cerah, Jaka berdiri di tepi gua kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka selama beberapa hari terakhir. Dia memandang ke arah hutan yang luas, matanya dipenuhi dengan tekad yang baru. "Kita harus melanj
Matahari siang bersinar terik di atas desa pertama di Benua Timur yang mereka temui. Gema, Roro, dan Jaka melangkah perlahan melalui jalanan desa yang berdebu. Desa itu sederhana namun penuh kehidupan. Penduduknya sibuk dengan aktivitas sehari-hari, mulai dari bertani, berdagang, hingga merawat ternak. Suara tawa anak-anak bermain di kejauhan memberikan nuansa damai yang kontras dengan ketegangan yang baru saja mereka alami di dalam Hutan Bayangan Surga.Gema tampak kagum, matanya melirik ke sana kemari dengan penuh rasa ingin tahu. Sejak kecil, dia tidak pernah keluar dari desanya di perbatasan antara Benua Timur dan Barat. Segala sesuatu di sini terasa baru baginya—rumah-rumah dengan atap jerami, orang-orang yang berpakaian berbeda, bahkan aroma masakan yang berasal dari warung-warung kecil di sepanjang jalan.
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema