Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.
Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.
Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.
“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.
Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara ini... terlalu banyak...”
Kata-katanya terputus ketika mereka mulai mendengar suara langkah kaki yang berat, ribuan langkah yang mendekat dari segala arah. Tanah bergetar di bawah tekanan pasukan besar yang bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang tak tertahankan.
“Mereka datang! Cepat, bangunkan Gema!” Jaka memerintahkan dengan suara penuh urgensi.
Roro segera berlari ke kamar di mana Gema tidur, mengguncang tubuh bocah itu dengan cepat. “Gema, bangun! Kita harus pergi sekarang!”
Gema membuka matanya dengan bingung, masih setengah tertidur. “Apa yang terjadi, Roro? Apa yang salah?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Gema. Kita harus keluar dari sini sekarang!” Roro menarik tangan Gema, membawanya keluar dari tempat tidur.
Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu, suara jeritan pertama terdengar dari luar. Jeritan yang memecah keheningan malam dan diikuti oleh suara benturan senjata serta jeritan orang-orang yang ketakutan.
Jaka, yang berada di depan pintu, memegang pedangnya dengan erat. “Roro, bawa Gema ke tempat aman! Aku akan mencoba menahan mereka!”
Roro mengangguk cepat, lalu menggandeng Gema, berlari keluar melalui pintu belakang. Namun, di luar, pemandangan yang menyambut mereka jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.
Pasukan Barat, bersenjata lengkap dengan pedang, tombak, dan panah, menyerbu desa dari semua sisi. Api mulai menyebar, membakar rumah-rumah kayu yang lemah, sementara pasukan itu membantai siapa pun yang mereka temui tanpa belas kasihan.
Darah mengalir di jalanan seperti sungai merah yang mengerikan, dan teriakan orang-orang yang terluka dan sekarat memenuhi udara malam yang dingin.
“Roro, ke mana kita harus pergi?” tanya Gema dengan suara gemetar, matanya membesar melihat pemandangan yang mengerikan di sekelilingnya.
“Kita harus menemukan jalan keluar dari desa ini,” Roro menjawab tegas, meski hatinya juga penuh ketakutan. “Ikuti aku, Gema. Jangan lepaskan tanganku!”
Mereka berlari di antara rumah-rumah yang terbakar, menghindari panah yang beterbangan di atas kepala mereka. Di setiap sudut, mayat-mayat berserakan, dan darah menodai tanah di mana-mana. Suara dentingan pedang dan jeritan terus menghantui setiap langkah mereka.
Gema hampir tidak bisa bernapas, kepalanya pusing oleh semua yang dia lihat dan dengar. “Kenapa ini terjadi, Roro? Kenapa mereka membunuh semua orang?”
“Ini adalah perang, Gema. Perang yang tidak mengenal belas kasihan,” jawab Roro, meski dia juga tidak bisa menahan rasa ngeri yang merayap di hatinya. “Kita harus terus bergerak jika ingin selamat.”
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sekelompok prajurit dari Barat muncul di depan mereka, menghalangi jalan keluar. Mata mereka merah penuh kebencian, dan senyum kejam terlukis di wajah mereka saat mereka mendekat dengan senjata terhunus.
“Tidak ada yang bisa lari dari sini hidup-hidup!” seru salah satu prajurit, mengacungkan pedangnya ke arah Roro dan Gema.
Roro berdiri di depan Gema, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Kau harus lari, Gema. Aku akan menahan mereka!”
“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu, Roro!” Gema memprotes, suaranya pecah oleh rasa takut dan kebingungan.
Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, salah satu prajurit melompat ke arah mereka dengan pedang terhunus, siap untuk menyerang. Tapi sebelum pedang itu bisa mengenai Roro, Jaka Tandingan muncul dari kegelapan, menghentikan serangan dengan pedangnya sendiri.
“Lari sekarang!” teriak Jaka, sambil mendorong prajurit itu mundur dengan kekuatan yang luar biasa.
Roro menarik Gema, memaksanya untuk berlari secepat mungkin. Mereka berdua berlari melewati reruntuhan desa, meninggalkan Jaka yang bertarung mati-matian untuk melindungi mereka.
Namun, meski mereka berusaha sekuat tenaga, pasukan musuh semakin banyak berdatangan, dan Gema merasakan dirinya semakin terjebak dalam lingkaran kematian yang tak berujung ini. Di setiap sisi, ada orang-orang yang jatuh, darah yang mengalir, dan nyawa yang melayang tanpa arti.
“Aku tidak bisa...” Gema mulai merasa putus asa, kakinya hampir tidak bisa bergerak lagi.
“Jangan berhenti, Gema! Kau harus bertahan!” Roro terus menariknya, meski dia sendiri hampir kehabisan tenaga.
Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah jalan keluar tampak di depan mereka—sebuah celah kecil di antara dua rumah yang hancur, yang mungkin bisa membawa mereka keluar dari neraka ini.
“Di sana, Gema! Cepat!” Roro memimpin, berharap bahwa mereka bisa keluar hidup-hidup dari desa yang kini telah berubah menjadi kuburan massal ini.
Tapi ketika mereka hampir mencapai celah itu, suara keras terdengar dari belakang. Gema menoleh, dan apa yang dia lihat membuat darahnya membeku.
Jaka Tandingan, yang telah bertarung mati-matian, dikepung oleh puluhan prajurit. Meski dia berhasil menahan serangan mereka, jumlah musuh terlalu banyak. Mereka menyerang Jaka dari segala arah, dan meskipun Jaka berjuang dengan sekuat tenaga, dia mulai kewalahan.
“Jaka!” Gema berteriak, berusaha berlari kembali, namun Roro menahannya.
“Kita tidak bisa kembali, Gema! Kita harus pergi sekarang!” Roro bersikeras, matanya penuh dengan air mata yang dia tahan.
Namun, Gema tidak bisa membiarkan Jaka berjuang sendirian. “Aku tidak bisa meninggalkannya, Roro! Dia telah menyelamatkan kita!”
Sebelum Roro bisa berkata lebih jauh, suara teriakan Jaka terdengar. Dia dipukul jatuh ke tanah, dan prajurit-prajurit itu mengerumuninya seperti sekawanan serigala yang haus darah.
Roro menarik Gema dengan lebih kuat. “Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Gema! Kita harus pergi sekarang!”
Dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, Gema akhirnya membiarkan Roro menariknya keluar dari desa. Mereka melewati celah itu dan berlari ke dalam hutan, meninggalkan desa yang telah hancur dan teriakan-teriakan yang menghantui mereka.
Malam itu, di bawah langit yang penuh awan gelap dan tanah yang berlumuran darah, Gema Pratama kehilangan lagi orang-orang yang berharga baginya. Jaka Tandingan yang berusaha melindunginya, dan desa yang pernah memberinya harapan, semuanya lenyap dalam sekejap.
Namun, meskipun dunia di sekitarnya terus-menerus dihancurkan, Gema tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Air matanya mungkin tak akan pernah berhenti mengalir, tapi dia harus terus melangkah. Perjalanan ini belum berakhir, dan meski jalannya penuh darah dan kematian, dia harus terus berjalan.
Dan di sisinya, Roro tetap berlari, memimpin Gema melalui kegelapan hutan, mencari tempat di mana mereka bisa berlindung dari dunia yang telah berubah menjadi neraka.
Mereka berdua tahu bahwa ini baru permulaan, dan malam berdarah ini akan terus menghantui mereka, tetapi di dalam hati mereka, ada tekad yang tak tergoyahkan untuk bertahan hidup dan melanjutkan perjalanan yang berat ini.
Malam itu, Gema Pratama mulai menyadari bahwa perang ini bukan hanya tentang dua benua yang saling bertarung, tetapi tentang dirinya yang harus bertahan hidup di tengah dunia yang terus mencoba menghancurkannya.
Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah
Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian luar biasa yang menyelamatkan nyawa Jaka. Gema, yang akhirnya siuman setelah beristirahat panjang, mulai merasakan kekuatan yang berbeda dalam dirinya. Meskipun masih bingung dengan apa yang terjadi, dia tahu bahwa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang besar dan tak terelakkan. Roro dan Jaka, meski lelah, tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka harus melanjutkan misi yang telah diwariskan kepada mereka.Siang itu, di bawah langit biru yang cerah, Jaka berdiri di tepi gua kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka selama beberapa hari terakhir. Dia memandang ke arah hutan yang luas, matanya dipenuhi dengan tekad yang baru. "Kita harus melanj
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema