Share

Bab 4: Malam Berdarah di Desa Tepi Hutan

Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.

Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.

Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.

“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.

Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara ini... terlalu banyak...”

Kata-katanya terputus ketika mereka mulai mendengar suara langkah kaki yang berat, ribuan langkah yang mendekat dari segala arah. Tanah bergetar di bawah tekanan pasukan besar yang bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang tak tertahankan.

“Mereka datang! Cepat, bangunkan Gema!” Jaka memerintahkan dengan suara penuh urgensi.

Roro segera berlari ke kamar di mana Gema tidur, mengguncang tubuh bocah itu dengan cepat. “Gema, bangun! Kita harus pergi sekarang!”

Gema membuka matanya dengan bingung, masih setengah tertidur. “Apa yang terjadi, Roro? Apa yang salah?”

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Gema. Kita harus keluar dari sini sekarang!” Roro menarik tangan Gema, membawanya keluar dari tempat tidur.

Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu, suara jeritan pertama terdengar dari luar. Jeritan yang memecah keheningan malam dan diikuti oleh suara benturan senjata serta jeritan orang-orang yang ketakutan.

Jaka, yang berada di depan pintu, memegang pedangnya dengan erat. “Roro, bawa Gema ke tempat aman! Aku akan mencoba menahan mereka!”

Roro mengangguk cepat, lalu menggandeng Gema, berlari keluar melalui pintu belakang. Namun, di luar, pemandangan yang menyambut mereka jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.

Pasukan Barat, bersenjata lengkap dengan pedang, tombak, dan panah, menyerbu desa dari semua sisi. Api mulai menyebar, membakar rumah-rumah kayu yang lemah, sementara pasukan itu membantai siapa pun yang mereka temui tanpa belas kasihan.

Darah mengalir di jalanan seperti sungai merah yang mengerikan, dan teriakan orang-orang yang terluka dan sekarat memenuhi udara malam yang dingin.

“Roro, ke mana kita harus pergi?” tanya Gema dengan suara gemetar, matanya membesar melihat pemandangan yang mengerikan di sekelilingnya.

“Kita harus menemukan jalan keluar dari desa ini,” Roro menjawab tegas, meski hatinya juga penuh ketakutan. “Ikuti aku, Gema. Jangan lepaskan tanganku!”

Mereka berlari di antara rumah-rumah yang terbakar, menghindari panah yang beterbangan di atas kepala mereka. Di setiap sudut, mayat-mayat berserakan, dan darah menodai tanah di mana-mana. Suara dentingan pedang dan jeritan terus menghantui setiap langkah mereka.

Gema hampir tidak bisa bernapas, kepalanya pusing oleh semua yang dia lihat dan dengar. “Kenapa ini terjadi, Roro? Kenapa mereka membunuh semua orang?”

“Ini adalah perang, Gema. Perang yang tidak mengenal belas kasihan,” jawab Roro, meski dia juga tidak bisa menahan rasa ngeri yang merayap di hatinya. “Kita harus terus bergerak jika ingin selamat.”

Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sekelompok prajurit dari Barat muncul di depan mereka, menghalangi jalan keluar. Mata mereka merah penuh kebencian, dan senyum kejam terlukis di wajah mereka saat mereka mendekat dengan senjata terhunus.

“Tidak ada yang bisa lari dari sini hidup-hidup!” seru salah satu prajurit, mengacungkan pedangnya ke arah Roro dan Gema.

Roro berdiri di depan Gema, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Kau harus lari, Gema. Aku akan menahan mereka!”

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu, Roro!” Gema memprotes, suaranya pecah oleh rasa takut dan kebingungan.

Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, salah satu prajurit melompat ke arah mereka dengan pedang terhunus, siap untuk menyerang. Tapi sebelum pedang itu bisa mengenai Roro, Jaka Tandingan muncul dari kegelapan, menghentikan serangan dengan pedangnya sendiri.

“Lari sekarang!” teriak Jaka, sambil mendorong prajurit itu mundur dengan kekuatan yang luar biasa.

Roro menarik Gema, memaksanya untuk berlari secepat mungkin. Mereka berdua berlari melewati reruntuhan desa, meninggalkan Jaka yang bertarung mati-matian untuk melindungi mereka.

Namun, meski mereka berusaha sekuat tenaga, pasukan musuh semakin banyak berdatangan, dan Gema merasakan dirinya semakin terjebak dalam lingkaran kematian yang tak berujung ini. Di setiap sisi, ada orang-orang yang jatuh, darah yang mengalir, dan nyawa yang melayang tanpa arti.

“Aku tidak bisa...” Gema mulai merasa putus asa, kakinya hampir tidak bisa bergerak lagi.

“Jangan berhenti, Gema! Kau harus bertahan!” Roro terus menariknya, meski dia sendiri hampir kehabisan tenaga.

Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah jalan keluar tampak di depan mereka—sebuah celah kecil di antara dua rumah yang hancur, yang mungkin bisa membawa mereka keluar dari neraka ini.

“Di sana, Gema! Cepat!” Roro memimpin, berharap bahwa mereka bisa keluar hidup-hidup dari desa yang kini telah berubah menjadi kuburan massal ini.

Tapi ketika mereka hampir mencapai celah itu, suara keras terdengar dari belakang. Gema menoleh, dan apa yang dia lihat membuat darahnya membeku.

Jaka Tandingan, yang telah bertarung mati-matian, dikepung oleh puluhan prajurit. Meski dia berhasil menahan serangan mereka, jumlah musuh terlalu banyak. Mereka menyerang Jaka dari segala arah, dan meskipun Jaka berjuang dengan sekuat tenaga, dia mulai kewalahan.

“Jaka!” Gema berteriak, berusaha berlari kembali, namun Roro menahannya.

“Kita tidak bisa kembali, Gema! Kita harus pergi sekarang!” Roro bersikeras, matanya penuh dengan air mata yang dia tahan.

Namun, Gema tidak bisa membiarkan Jaka berjuang sendirian. “Aku tidak bisa meninggalkannya, Roro! Dia telah menyelamatkan kita!”

Sebelum Roro bisa berkata lebih jauh, suara teriakan Jaka terdengar. Dia dipukul jatuh ke tanah, dan prajurit-prajurit itu mengerumuninya seperti sekawanan serigala yang haus darah.

Roro menarik Gema dengan lebih kuat. “Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Gema! Kita harus pergi sekarang!”

Dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, Gema akhirnya membiarkan Roro menariknya keluar dari desa. Mereka melewati celah itu dan berlari ke dalam hutan, meninggalkan desa yang telah hancur dan teriakan-teriakan yang menghantui mereka.

Malam itu, di bawah langit yang penuh awan gelap dan tanah yang berlumuran darah, Gema Pratama kehilangan lagi orang-orang yang berharga baginya. Jaka Tandingan yang berusaha melindunginya, dan desa yang pernah memberinya harapan, semuanya lenyap dalam sekejap.

Namun, meskipun dunia di sekitarnya terus-menerus dihancurkan, Gema tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Air matanya mungkin tak akan pernah berhenti mengalir, tapi dia harus terus melangkah. Perjalanan ini belum berakhir, dan meski jalannya penuh darah dan kematian, dia harus terus berjalan.

Dan di sisinya, Roro tetap berlari, memimpin Gema melalui kegelapan hutan, mencari tempat di mana mereka bisa berlindung dari dunia yang telah berubah menjadi neraka.

Mereka berdua tahu bahwa ini baru permulaan, dan malam berdarah ini akan terus menghantui mereka, tetapi di dalam hati mereka, ada tekad yang tak tergoyahkan untuk bertahan hidup dan melanjutkan perjalanan yang berat ini.

Malam itu, Gema Pratama mulai menyadari bahwa perang ini bukan hanya tentang dua benua yang saling bertarung, tetapi tentang dirinya yang harus bertahan hidup di tengah dunia yang terus mencoba menghancurkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status