Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa.
Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.
“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.
Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”
Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian luar biasa yang menyelamatkan nyawa Jaka. Gema, yang akhirnya siuman setelah beristirahat panjang, mulai merasakan kekuatan yang berbeda dalam dirinya. Meskipun masih bingung dengan apa yang terjadi, dia tahu bahwa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang besar dan tak terelakkan. Roro dan Jaka, meski lelah, tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka harus melanjutkan misi yang telah diwariskan kepada mereka.Siang itu, di bawah langit biru yang cerah, Jaka berdiri di tepi gua kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka selama beberapa hari terakhir. Dia memandang ke arah hutan yang luas, matanya dipenuhi dengan tekad yang baru. "Kita harus melanj
Matahari siang bersinar terik di atas desa pertama di Benua Timur yang mereka temui. Gema, Roro, dan Jaka melangkah perlahan melalui jalanan desa yang berdebu. Desa itu sederhana namun penuh kehidupan. Penduduknya sibuk dengan aktivitas sehari-hari, mulai dari bertani, berdagang, hingga merawat ternak. Suara tawa anak-anak bermain di kejauhan memberikan nuansa damai yang kontras dengan ketegangan yang baru saja mereka alami di dalam Hutan Bayangan Surga.Gema tampak kagum, matanya melirik ke sana kemari dengan penuh rasa ingin tahu. Sejak kecil, dia tidak pernah keluar dari desanya di perbatasan antara Benua Timur dan Barat. Segala sesuatu di sini terasa baru baginya—rumah-rumah dengan atap jerami, orang-orang yang berpakaian berbeda, bahkan aroma masakan yang berasal dari warung-warung kecil di sepanjang jalan.
Desa pertama yang mereka temui di Benua Timur ini bernama Desa Kembang Ilalang. Terletak di lembah yang subur, desa ini dikelilingi oleh ladang-ladang padi yang menguning dan bukit-bukit hijau yang seolah melindungi desa dari dunia luar. Dari kejauhan, desa ini tampak damai dan tenang, namun di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersimpan rapat.Saat Gema, Jaka, dan Roro melangkah lebih ke dalam desa, mereka langsung menarik perhatian penduduk setempat. Mata-mata curiga dan waspada mengikuti setiap gerakan mereka, meskipun beberapa orang mencoba menyambut mereka dengan senyuman ramah.“Mengapa semua orang menatap kita seperti itu?” bisik Gema kepada Jaka, merasa tidak nyaman dengan pandangan yang mereka terima.
Hujan deras menghantam atap-atap rumah di Desa Tanjung Biru, sebuah desa kecil yang damai di tepi Laut Tengah. Kilat menyambar, menerangi langit kelam yang seolah menangis bersama dengan para penghuni desa yang bersembunyi di balik dinding-dinding rapuh. Desa yang dulunya tenteram, kini diselimuti kecemasan dan ketakutan yang tak terungkapkan.“Bu, apakah mereka akan datang ke sini?” tanya Gema dengan suara bergetar, matanya menatap keluar jendela yang buram oleh air hujan.Dewi Sri Lestari, ibu angkat Gema, memeluknya erat. Wajahnya yang selalu tenang kini memancarkan kecemasan yang jarang terlihat. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi kita harus siap. Apapun yang terjadi, kau harus tetap kuat.”Kata-kata itu seakan tak mampu menghapus ketakutan yang menggerogoti hati Gema. Sejak kecil, dia selalu merasa aman dalam dekapan ibunya, namun malam ini, kehangatan itu terasa jauh, seperti bayangan yang perlahan memudar di tengah kegelapan yang merayap.Gema mencoba mengingat masa-masa sebelum ini,
Gema terus berlari, napasnya terengah-engah, dadanya sesak oleh rasa takut dan kesedihan yang tak tertahankan. Hujan masih turun dengan deras, mengaburkan pandangannya dan menyelimuti dunia dengan tirai kelabu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya.Namun, sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berhenti. Entah itu rasa takut, entah itu naluri, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya berpaling ke belakang. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang mungkin dia lihat.Gema menoleh, dan di kejauhan, samar-samar dia melihat rumahnya. Api mulai menjilat atapnya yang sudah rapuh, menyebar dengan cepat. Dia bisa melihat bayangan para prajurit Benua Barat yang bergerak di dalam hujan, mengepung rumahnya dengan niat jahat yang terpampang jelas.Di tengah mereka, seorang pria bertubuh besar, dengan baju zirah berkilauan, tampak berdiri di depan pintu. Tangannya memegang pedang besar yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Gema tidak bisa melihat wajahnya dengan j
Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan. Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk mel