Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan.
Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.
“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.
Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”
Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, demi ibunya yang telah gugur.
“Bagaimana dengan tempat kita akan beristirahat?” tanya Gema lagi, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.
Jaka tersenyum tipis, menunjukkan bahwa dia juga memahami kelelahan Gema. “Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah rumah. Teman lamaku tinggal di sana, dan dia bisa memberi kita tempat untuk beristirahat.”
Gema tidak bertanya lebih jauh, hanya mengikuti Jaka dengan kepercayaan yang penuh, meski hatinya masih dipenuhi kesedihan.
Setiap kali dia menutup mata, bayangan ibunya yang terbunuh dengan kejam selalu kembali menghantuinya. Tapi dia tahu, tidak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan sekarang. Dia harus tetap bertahan, seperti yang selalu dikatakan ibunya.
Setelah berjalan beberapa mil, mereka tiba di sebuah rumah sederhana di tepi hutan. Rumah itu tampak hangat dan nyaman, dengan cahaya lampu yang menerangi jendela kecilnya. Ketika mereka mendekat, pintu terbuka perlahan, dan seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang berdiri di ambang pintu.
“Jaka! Sudah lama sekali!” Gadis itu tersenyum lebar, menyambut Jaka dengan hangat.
Jaka Tandingan tersenyum lebar, lalu mengangguk hormat. “Roro, ini adalah Gema. Dia... butuh bantuan kita.”
Roro, gadis yang tampaknya berusia sekitar delapan belas tahun, mengalihkan pandangannya ke arah Gema. Senyumnya menghangat, meski ada kesedihan di matanya saat melihat wajah anak kecil yang tampak terlalu muda untuk memikul beban yang begitu berat.
“Selamat datang, Gema,” kata Roro dengan suara lembut. “Kau aman di sini. Ayo masuk, kita akan segera membuatkanmu makanan.”
Gema, yang merasa sedikit lega melihat sambutan hangat itu, mengikuti Roro dan Jaka masuk ke dalam rumah.
Di dalam, suasana jauh lebih tenang dan hangat, dengan aroma rempah-rempah dan kayu bakar yang memenuhi udara. Untuk sesaat, Gema bisa merasakan kehangatan rumah yang pernah dia tinggali bersama ibunya.
“Roro, bagaimana keadaan di sini?” Jaka bertanya sambil melepaskan mantel basahnya dan menggantungkannya di dekat perapian.
Roro menghela napas panjang, mengisyaratkan Gema untuk duduk di dekat meja. “Keadaan semakin sulit, Jaka. Banyak desa di sekitar sini telah dihancurkan oleh pasukan Barat. Aku mendengar desas-desus bahwa mereka sedang mencari sesuatu... atau seseorang.”
Gema menggigil mendengar kata-kata itu, meski dia berusaha menyembunyikan ketakutannya. Jaka menatapnya sekilas, lalu beralih kembali ke Roro. “Kita harus lebih berhati-hati. Gema... dia mungkin adalah orang yang mereka cari.”
Roro menatap Gema dengan tatapan yang lebih dalam, seolah berusaha memahami apa yang membuat bocah ini begitu istimewa. “Kau masih sangat muda, Gema. Tapi ada sesuatu dalam dirimu yang berbeda... sesuatu yang besar.”
Gema menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak pernah merasa istimewa. Dia hanya ingin menjalani kehidupan normal bersama ibunya, jauh dari segala konflik ini. Tapi sekarang, semuanya telah berubah, dan dia tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang diyakini orang-orang di sekitarnya.
“Mereka... mereka membunuh ibuku,” Gema akhirnya berkata, suaranya pecah oleh kesedihan yang dia tahan selama ini. “Aku tidak tahu harus bagaimana...”
Roro duduk di samping Gema, meraih tangannya dengan lembut. “Aku sangat menyesal, Gema. Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah hal yang paling menyakitkan. Tapi kau harus ingat, ibumu pasti ingin kau terus hidup, terus berjuang.”
Air mata yang selama ini Gema tahan akhirnya mengalir. Dia menangis, membiarkan semua rasa sakit dan kesedihan itu keluar. Roro memeluknya erat, memberikan rasa aman yang dia butuhkan.
“Kita akan melindungimu, Gema,” bisik Roro lembut. “Kau tidak sendirian. Aku, Jaka, dan semua orang yang masih percaya pada perdamaian akan ada di sisimu.”
Jaka, yang mengamati dari kejauhan, mengangguk pelan. “Kita harus menjaga Gema, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita untuk menyatukan dua benua ini.”
Roro menatap Jaka dengan serius, meski senyum hangat tetap tersungging di bibirnya. “Aku akan melakukan apa saja yang bisa aku lakukan, Jaka. Gema, mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga kami.”
Gema, yang masih terisak, mengangguk pelan. Meski kesedihan dan ketakutan masih menguasai hatinya, dia merasakan secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Bersama Jaka dan Roro, dia tidak lagi sendirian. Mereka akan membantunya, membimbingnya di jalan yang penuh bahaya ini.
Malam itu, setelah tangisnya mereda, Gema tertidur di bawah selimut hangat, dengan pikiran yang masih dipenuhi bayangan masa lalu. Namun, di sampingnya, Roro dan Jaka tetap berjaga, memastikan bahwa bocah itu bisa beristirahat dengan tenang.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa melindunginya selamanya,” bisik Roro kepada Jaka, suaranya penuh kekhawatiran.
Jaka mengangguk, matanya tetap tertuju pada api yang berkobar di perapian. “Tapi kita harus mencoba, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh gagal.”
Roro menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke Gema yang tertidur dengan tenang. “Aku harap kita cukup kuat untuk menjalani ini, Jaka. Karena perang ini... tidak akan berakhir dalam waktu dekat.”
Dan di tengah keheningan malam, dengan cahaya bulan yang perlahan muncul di balik awan, Gema Pratama yang masih berusia sepuluh tahun itu tidur dengan mimpi yang berat—mimpi tentang dunia yang telah dihancurkan oleh perang, dan tanggung jawab besar yang kini menggantung di pundaknya.
Besok, perjalanan mereka akan dilanjutkan. Dan meskipun Gema masih muda dan naif, dia akan belajar, tumbuh, dan akhirnya, menjadi sosok yang akan mengubah nasib dua benua besar ini. Tetapi untuk malam ini, dia hanya ingin merasakan kehangatan rumah, meskipun hanya sementara.
Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara
Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah
Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m
Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir