Share

Bab 3: Langkah Pertama di Jalan yang Panjang

Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan.

Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.

“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.

Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”

Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, demi ibunya yang telah gugur.

“Bagaimana dengan tempat kita akan beristirahat?” tanya Gema lagi, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.

Jaka tersenyum tipis, menunjukkan bahwa dia juga memahami kelelahan Gema. “Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah rumah. Teman lamaku tinggal di sana, dan dia bisa memberi kita tempat untuk beristirahat.”

Gema tidak bertanya lebih jauh, hanya mengikuti Jaka dengan kepercayaan yang penuh, meski hatinya masih dipenuhi kesedihan.

Setiap kali dia menutup mata, bayangan ibunya yang terbunuh dengan kejam selalu kembali menghantuinya. Tapi dia tahu, tidak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan sekarang. Dia harus tetap bertahan, seperti yang selalu dikatakan ibunya.

Setelah berjalan beberapa mil, mereka tiba di sebuah rumah sederhana di tepi hutan. Rumah itu tampak hangat dan nyaman, dengan cahaya lampu yang menerangi jendela kecilnya. Ketika mereka mendekat, pintu terbuka perlahan, dan seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang berdiri di ambang pintu.

“Jaka! Sudah lama sekali!” Gadis itu tersenyum lebar, menyambut Jaka dengan hangat.

Jaka Tandingan tersenyum lebar, lalu mengangguk hormat. “Roro, ini adalah Gema. Dia... butuh bantuan kita.”

Roro, gadis yang tampaknya berusia sekitar delapan belas tahun, mengalihkan pandangannya ke arah Gema. Senyumnya menghangat, meski ada kesedihan di matanya saat melihat wajah anak kecil yang tampak terlalu muda untuk memikul beban yang begitu berat.

“Selamat datang, Gema,” kata Roro dengan suara lembut. “Kau aman di sini. Ayo masuk, kita akan segera membuatkanmu makanan.”

Gema, yang merasa sedikit lega melihat sambutan hangat itu, mengikuti Roro dan Jaka masuk ke dalam rumah.

Di dalam, suasana jauh lebih tenang dan hangat, dengan aroma rempah-rempah dan kayu bakar yang memenuhi udara. Untuk sesaat, Gema bisa merasakan kehangatan rumah yang pernah dia tinggali bersama ibunya.

“Roro, bagaimana keadaan di sini?” Jaka bertanya sambil melepaskan mantel basahnya dan menggantungkannya di dekat perapian.

Roro menghela napas panjang, mengisyaratkan Gema untuk duduk di dekat meja. “Keadaan semakin sulit, Jaka. Banyak desa di sekitar sini telah dihancurkan oleh pasukan Barat. Aku mendengar desas-desus bahwa mereka sedang mencari sesuatu... atau seseorang.”

Gema menggigil mendengar kata-kata itu, meski dia berusaha menyembunyikan ketakutannya. Jaka menatapnya sekilas, lalu beralih kembali ke Roro. “Kita harus lebih berhati-hati. Gema... dia mungkin adalah orang yang mereka cari.”

Roro menatap Gema dengan tatapan yang lebih dalam, seolah berusaha memahami apa yang membuat bocah ini begitu istimewa. “Kau masih sangat muda, Gema. Tapi ada sesuatu dalam dirimu yang berbeda... sesuatu yang besar.”

Gema menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak pernah merasa istimewa. Dia hanya ingin menjalani kehidupan normal bersama ibunya, jauh dari segala konflik ini. Tapi sekarang, semuanya telah berubah, dan dia tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang diyakini orang-orang di sekitarnya.

“Mereka... mereka membunuh ibuku,” Gema akhirnya berkata, suaranya pecah oleh kesedihan yang dia tahan selama ini. “Aku tidak tahu harus bagaimana...”

Roro duduk di samping Gema, meraih tangannya dengan lembut. “Aku sangat menyesal, Gema. Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah hal yang paling menyakitkan. Tapi kau harus ingat, ibumu pasti ingin kau terus hidup, terus berjuang.”

Air mata yang selama ini Gema tahan akhirnya mengalir. Dia menangis, membiarkan semua rasa sakit dan kesedihan itu keluar. Roro memeluknya erat, memberikan rasa aman yang dia butuhkan.

“Kita akan melindungimu, Gema,” bisik Roro lembut. “Kau tidak sendirian. Aku, Jaka, dan semua orang yang masih percaya pada perdamaian akan ada di sisimu.”

Jaka, yang mengamati dari kejauhan, mengangguk pelan. “Kita harus menjaga Gema, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita untuk menyatukan dua benua ini.”

Roro menatap Jaka dengan serius, meski senyum hangat tetap tersungging di bibirnya. “Aku akan melakukan apa saja yang bisa aku lakukan, Jaka. Gema, mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga kami.”

Gema, yang masih terisak, mengangguk pelan. Meski kesedihan dan ketakutan masih menguasai hatinya, dia merasakan secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Bersama Jaka dan Roro, dia tidak lagi sendirian. Mereka akan membantunya, membimbingnya di jalan yang penuh bahaya ini.

Malam itu, setelah tangisnya mereda, Gema tertidur di bawah selimut hangat, dengan pikiran yang masih dipenuhi bayangan masa lalu. Namun, di sampingnya, Roro dan Jaka tetap berjaga, memastikan bahwa bocah itu bisa beristirahat dengan tenang.

“Aku tidak tahu apakah kita bisa melindunginya selamanya,” bisik Roro kepada Jaka, suaranya penuh kekhawatiran.

Jaka mengangguk, matanya tetap tertuju pada api yang berkobar di perapian. “Tapi kita harus mencoba, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh gagal.”

Roro menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke Gema yang tertidur dengan tenang. “Aku harap kita cukup kuat untuk menjalani ini, Jaka. Karena perang ini... tidak akan berakhir dalam waktu dekat.”

Dan di tengah keheningan malam, dengan cahaya bulan yang perlahan muncul di balik awan, Gema Pratama yang masih berusia sepuluh tahun itu tidur dengan mimpi yang berat—mimpi tentang dunia yang telah dihancurkan oleh perang, dan tanggung jawab besar yang kini menggantung di pundaknya.

Besok, perjalanan mereka akan dilanjutkan. Dan meskipun Gema masih muda dan naif, dia akan belajar, tumbuh, dan akhirnya, menjadi sosok yang akan mengubah nasib dua benua besar ini. Tetapi untuk malam ini, dia hanya ingin merasakan kehangatan rumah, meskipun hanya sementara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status