Home / Pendekar / Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua / Bab 3: Langkah Pertama di Jalan yang Panjang

Share

Bab 3: Langkah Pertama di Jalan yang Panjang

Author: FAISAL FANANI
last update Last Updated: 2024-09-02 12:56:54

Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan.

Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.

“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.

Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”

Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, demi ibunya yang telah gugur.

“Bagaimana dengan tempat kita akan beristirahat?” tanya Gema lagi, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.

Jaka tersenyum tipis, menunjukkan bahwa dia juga memahami kelelahan Gema. “Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah rumah. Teman lamaku tinggal di sana, dan dia bisa memberi kita tempat untuk beristirahat.”

Gema tidak bertanya lebih jauh, hanya mengikuti Jaka dengan kepercayaan yang penuh, meski hatinya masih dipenuhi kesedihan.

Setiap kali dia menutup mata, bayangan ibunya yang terbunuh dengan kejam selalu kembali menghantuinya. Tapi dia tahu, tidak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan sekarang. Dia harus tetap bertahan, seperti yang selalu dikatakan ibunya.

Setelah berjalan beberapa mil, mereka tiba di sebuah rumah sederhana di tepi hutan. Rumah itu tampak hangat dan nyaman, dengan cahaya lampu yang menerangi jendela kecilnya. Ketika mereka mendekat, pintu terbuka perlahan, dan seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang berdiri di ambang pintu.

“Jaka! Sudah lama sekali!” Gadis itu tersenyum lebar, menyambut Jaka dengan hangat.

Jaka Tandingan tersenyum lebar, lalu mengangguk hormat. “Roro, ini adalah Gema. Dia... butuh bantuan kita.”

Roro, gadis yang tampaknya berusia sekitar delapan belas tahun, mengalihkan pandangannya ke arah Gema. Senyumnya menghangat, meski ada kesedihan di matanya saat melihat wajah anak kecil yang tampak terlalu muda untuk memikul beban yang begitu berat.

“Selamat datang, Gema,” kata Roro dengan suara lembut. “Kau aman di sini. Ayo masuk, kita akan segera membuatkanmu makanan.”

Gema, yang merasa sedikit lega melihat sambutan hangat itu, mengikuti Roro dan Jaka masuk ke dalam rumah.

Di dalam, suasana jauh lebih tenang dan hangat, dengan aroma rempah-rempah dan kayu bakar yang memenuhi udara. Untuk sesaat, Gema bisa merasakan kehangatan rumah yang pernah dia tinggali bersama ibunya.

“Roro, bagaimana keadaan di sini?” Jaka bertanya sambil melepaskan mantel basahnya dan menggantungkannya di dekat perapian.

Roro menghela napas panjang, mengisyaratkan Gema untuk duduk di dekat meja. “Keadaan semakin sulit, Jaka. Banyak desa di sekitar sini telah dihancurkan oleh pasukan Barat. Aku mendengar desas-desus bahwa mereka sedang mencari sesuatu... atau seseorang.”

Gema menggigil mendengar kata-kata itu, meski dia berusaha menyembunyikan ketakutannya. Jaka menatapnya sekilas, lalu beralih kembali ke Roro. “Kita harus lebih berhati-hati. Gema... dia mungkin adalah orang yang mereka cari.”

Roro menatap Gema dengan tatapan yang lebih dalam, seolah berusaha memahami apa yang membuat bocah ini begitu istimewa. “Kau masih sangat muda, Gema. Tapi ada sesuatu dalam dirimu yang berbeda... sesuatu yang besar.”

Gema menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak pernah merasa istimewa. Dia hanya ingin menjalani kehidupan normal bersama ibunya, jauh dari segala konflik ini. Tapi sekarang, semuanya telah berubah, dan dia tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang diyakini orang-orang di sekitarnya.

“Mereka... mereka membunuh ibuku,” Gema akhirnya berkata, suaranya pecah oleh kesedihan yang dia tahan selama ini. “Aku tidak tahu harus bagaimana...”

Roro duduk di samping Gema, meraih tangannya dengan lembut. “Aku sangat menyesal, Gema. Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah hal yang paling menyakitkan. Tapi kau harus ingat, ibumu pasti ingin kau terus hidup, terus berjuang.”

Air mata yang selama ini Gema tahan akhirnya mengalir. Dia menangis, membiarkan semua rasa sakit dan kesedihan itu keluar. Roro memeluknya erat, memberikan rasa aman yang dia butuhkan.

“Kita akan melindungimu, Gema,” bisik Roro lembut. “Kau tidak sendirian. Aku, Jaka, dan semua orang yang masih percaya pada perdamaian akan ada di sisimu.”

Jaka, yang mengamati dari kejauhan, mengangguk pelan. “Kita harus menjaga Gema, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita untuk menyatukan dua benua ini.”

Roro menatap Jaka dengan serius, meski senyum hangat tetap tersungging di bibirnya. “Aku akan melakukan apa saja yang bisa aku lakukan, Jaka. Gema, mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga kami.”

Gema, yang masih terisak, mengangguk pelan. Meski kesedihan dan ketakutan masih menguasai hatinya, dia merasakan secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Bersama Jaka dan Roro, dia tidak lagi sendirian. Mereka akan membantunya, membimbingnya di jalan yang penuh bahaya ini.

Malam itu, setelah tangisnya mereda, Gema tertidur di bawah selimut hangat, dengan pikiran yang masih dipenuhi bayangan masa lalu. Namun, di sampingnya, Roro dan Jaka tetap berjaga, memastikan bahwa bocah itu bisa beristirahat dengan tenang.

“Aku tidak tahu apakah kita bisa melindunginya selamanya,” bisik Roro kepada Jaka, suaranya penuh kekhawatiran.

Jaka mengangguk, matanya tetap tertuju pada api yang berkobar di perapian. “Tapi kita harus mencoba, Roro. Dia adalah harapan terakhir kita. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh gagal.”

Roro menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke Gema yang tertidur dengan tenang. “Aku harap kita cukup kuat untuk menjalani ini, Jaka. Karena perang ini... tidak akan berakhir dalam waktu dekat.”

Dan di tengah keheningan malam, dengan cahaya bulan yang perlahan muncul di balik awan, Gema Pratama yang masih berusia sepuluh tahun itu tidur dengan mimpi yang berat—mimpi tentang dunia yang telah dihancurkan oleh perang, dan tanggung jawab besar yang kini menggantung di pundaknya.

Besok, perjalanan mereka akan dilanjutkan. Dan meskipun Gema masih muda dan naif, dia akan belajar, tumbuh, dan akhirnya, menjadi sosok yang akan mengubah nasib dua benua besar ini. Tetapi untuk malam ini, dia hanya ingin merasakan kehangatan rumah, meskipun hanya sementara.

Related chapters

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 4: Malam Berdarah di Desa Tepi Hutan

    Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara

    Last Updated : 2024-09-03
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 5: Kekuatan yang Terbangkitkan

    Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah

    Last Updated : 2024-09-04
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 6: Mimpi dan Pakta Surga

    Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe

    Last Updated : 2024-09-18
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 7: Cahaya Harapan di Tengah Kesedihan

    Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati

    Last Updated : 2024-09-18
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 8: Hutan Bayangan Surga

    Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para

    Last Updated : 2024-09-18
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 9: Pertemuan yang Tak Terduga

    Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma

    Last Updated : 2024-09-19
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 10: Keajaiban dari Pencerahan

    Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m

    Last Updated : 2024-09-19
  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 11: Ramalan yang Mulai Terwujud

    Cahaya matahari siang yang cerah menyinari hutan, mengalir melalui celah-celah dedaunan, membawa kehangatan ke tempat di mana tiga sosok terbaring. Gema masih dalam keadaan tidak sadar, terbaring di dekat api yang nyala-nyalanya mulai redup. Di sampingnya, Roro duduk dengan setia, mengawasi setiap gerakan kecil yang mungkin menandakan bahwa Gema akan segera bangun. Namun, perhatian Roro tiba-tiba teralihkan ketika dia mendengar suara napas yang lebih teratur di sebelahnya.Jaka Tandingan, yang telah terbaring tak sadarkan diri selama berjam-jam, akhirnya membuka matanya. Matanya masih sedikit kabur, tapi dia bisa merasakan kekuatan yang mulai kembali ke tubuhnya. Dengan perlahan, dia berusaha untuk bangun, meskipun rasa sakit masih sedikit terasa di tubuhnya.“Roro...?” suaranya terdengar serak, hampir

    Last Updated : 2024-09-19

Latest chapter

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 150: Hutan Mistik Es

    Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 149: Menuju Pegunungan Utara

    Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 148: Melintasi Badai Salju 

    Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 147: Persiapan dan Perpisahan Terakhir

    Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 146: Raden Jayabaya dan Artefak Kuno

    Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 145: Sambutan Hangat Kembali ke Desa

    Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 144: Amukan Mammoth Raksasa

    Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 143: Amukan di Tengah Es

    Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 142: Pertarungan di Tengah Salju

    Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema

DMCA.com Protection Status