Share

Bab 2: Darah di Tengah Hujan

Gema terus berlari, napasnya terengah-engah, dadanya sesak oleh rasa takut dan kesedihan yang tak tertahankan. Hujan masih turun dengan deras, mengaburkan pandangannya dan menyelimuti dunia dengan tirai kelabu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya.

Namun, sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berhenti. Entah itu rasa takut, entah itu naluri, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya berpaling ke belakang. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang mungkin dia lihat.

Gema menoleh, dan di kejauhan, samar-samar dia melihat rumahnya. Api mulai menjilat atapnya yang sudah rapuh, menyebar dengan cepat. Dia bisa melihat bayangan para prajurit Benua Barat yang bergerak di dalam hujan, mengepung rumahnya dengan niat jahat yang terpampang jelas.

Di tengah mereka, seorang pria bertubuh besar, dengan baju zirah berkilauan, tampak berdiri di depan pintu. Tangannya memegang pedang besar yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Gema tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi dia bisa merasakan aura kebencian yang memancar dari sosok itu.

“Bu!” Gema berteriak, suaranya tenggelam dalam suara hujan dan angin yang menderu.

Detik berikutnya, pedang itu meluncur turun dengan kecepatan kilat, dan suara keras mengoyak malam yang kelam.

Gema hanya bisa menyaksikan dari kejauhan saat kepala ibunya terpisah dari tubuhnya, jatuh ke tanah dengan kejam. Darah merah gelap mengalir di antara genangan air hujan, menyatu dengan lumpur yang ada di sekelilingnya.

Dunia seakan berhenti berputar. Gema merasakan tubuhnya melemah, lututnya gemetar, dan kesadarannya nyaris terhenti. Hatinya terasa seperti dirobek dari dalam, rasa sakit yang tidak terkatakan menggema di dalam dadanya. Ibunya, satu-satunya orang yang dia miliki, kini telah tiada.

“Tidak...” Gema meratap, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam raungan hujan.

Di tengah keputusasaan itu, Gema merasa dunianya hancur. Dia tidak tahu harus ke mana atau apa yang harus dia lakukan. Yang dia tahu hanyalah rasa sakit yang menusuk, dan pemandangan mengerikan yang terus berulang di kepalanya.

Namun, sebelum dia benar-benar tenggelam dalam keputusasaan, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Langkah yang tenang namun penuh kekuatan. Gema tidak punya energi untuk berbalik, tetapi dia merasakan kehadiran seseorang yang kuat mendekat.

“Gema Pratama,” suara itu terdengar berat namun penuh wibawa. “Kau harus bangkit.”

Gema mengangkat wajahnya, pandangannya kabur oleh air mata dan hujan.

Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan tubuh berotot, rambut panjang tergerai basah oleh hujan, dan tatapan mata yang tajam seperti elang. Pria itu mengenakan pakaian hitam yang sederhana, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan.

“Siapa... siapa kau?” Gema berusaha bertanya, suaranya parau dan tercekik oleh kesedihan.

Pria itu berlutut di hadapan Gema, lalu mengulurkan tangannya. “Namaku Jaka Tandingan. Aku adalah murid dari Raden Jayabaya, dan aku datang untuk menemuimu, Gema. Takdir kita terjalin erat, lebih dari yang kau bayangkan.”

Gema menatap Jaka Tandingan dengan bingung. “Kenapa... kenapa kau di sini? Ibuku... dia... dia...”

Jaka Tandingan menunduk, ekspresinya penuh empati. “Aku tahu, Gema. Aku melihat apa yang terjadi. Tapi kau harus kuat. Ini bukan saatnya untuk menyerah. Dunia ini membutuhkanmu.”

Gema merasakan tangan Jaka yang kuat menggenggam bahunya, memberinya sedikit kenyamanan di tengah badai yang melanda hatinya. “Aku tidak tahu... aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkannya. Ibuku... dia segalanya bagiku.”

“Dan itulah mengapa kau harus terus berjalan,” Jaka menjawab tegas. “Ibumu telah mengorbankan hidupnya untuk memastikan kau bisa melanjutkan perjalanan ini. Kau harus menghormati pengorbanannya dengan tetap hidup dan bertarung.”

Gema menundukkan kepalanya, air mata terus mengalir. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku hanya seorang pemuda, Jaka. Bagaimana aku bisa menyelamatkan dunia?”

Jaka Tandingan berdiri, lalu membantu Gema untuk bangkit. “Kau bukan hanya seorang pemuda, Gema. Kau adalah yang diramalkan dalam Sajak Abadi. Dan kau tidak sendirian. Aku di sini untuk membantumu, untuk membimbingmu.”

Gema mendongak, menatap Jaka dengan harapan yang mulai tumbuh kembali. Meski kesedihan masih menguasai hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa berhenti di sini. Ibunya telah memberikan hidupnya untuknya. Tidak ada pilihan lain selain maju.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Gema bertanya, suaranya masih bergetar namun lebih tegas.

“Kita harus pergi ke Kerajaan Langit Timur,” Jaka menjawab. “Di sana, Raden Jayabaya menunggumu. Dia memiliki jawaban atas semua pertanyaanmu, dan dia akan membantumu menemukan kekuatan yang sebenarnya.”

Gema mengangguk pelan, meski rasa takut masih membelenggu. Dia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang panjang dan penuh bahaya. Tetapi dengan Jaka Tandingan di sisinya, dia merasa ada sedikit harapan yang tersisa.

Mereka mulai berjalan menjauh dari desa, meninggalkan rumahnya yang kini hanya menjadi puing-puing dan kenangan yang tak mungkin dilupakan. Di belakang mereka, api terus membakar, seolah-olah ingin menghapus semua jejak dari kehidupan yang pernah ada di sana.

“Gema,” Jaka berkata saat mereka berjalan, “kau harus tahu bahwa apa yang terjadi malam ini hanyalah permulaan. Dunia ini berada di ambang kehancuran, dan hanya kau yang bisa menghentikannya.”

Gema terdiam, mencerna kata-kata itu. Beban di pundaknya terasa semakin berat, namun dia tahu dia tidak bisa mundur lagi. Dunia yang hancur dan dua benua yang terus berperang membutuhkan sosok yang bisa menyatukan mereka, meski itu berarti harus mengorbankan segalanya.

“Aku akan melakukannya, Jaka,” kata Gema akhirnya, meski dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Aku akan menghentikan perang ini. Untuk ibuku, untuk desa ini, dan untuk dunia yang lebih baik.”

Jaka Tandingan tersenyum tipis, meski matanya tetap waspada. “Itulah semangat yang kubutuhkan darimu. Kita akan melakukannya bersama, Gema. Kau dan aku, kita akan menaklukkan semua rintangan yang ada di depan.”

Malam itu, di bawah hujan yang masih mengguyur, Gema Pratama melangkah pergi dari desa yang telah menjadi kuburan bagi ibu tercintanya. Dia berjalan dengan hati yang terluka, namun dengan tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status