Gema terus berlari, napasnya terengah-engah, dadanya sesak oleh rasa takut dan kesedihan yang tak tertahankan. Hujan masih turun dengan deras, mengaburkan pandangannya dan menyelimuti dunia dengan tirai kelabu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya.
Namun, sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berhenti. Entah itu rasa takut, entah itu naluri, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya berpaling ke belakang. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang mungkin dia lihat.
Gema menoleh, dan di kejauhan, samar-samar dia melihat rumahnya. Api mulai menjilat atapnya yang sudah rapuh, menyebar dengan cepat. Dia bisa melihat bayangan para prajurit Benua Barat yang bergerak di dalam hujan, mengepung rumahnya dengan niat jahat yang terpampang jelas.
Di tengah mereka, seorang pria bertubuh besar, dengan baju zirah berkilauan, tampak berdiri di depan pintu. Tangannya memegang pedang besar yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Gema tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi dia bisa merasakan aura kebencian yang memancar dari sosok itu.
“Bu!” Gema berteriak, suaranya tenggelam dalam suara hujan dan angin yang menderu.
Detik berikutnya, pedang itu meluncur turun dengan kecepatan kilat, dan suara keras mengoyak malam yang kelam.
Gema hanya bisa menyaksikan dari kejauhan saat kepala ibunya terpisah dari tubuhnya, jatuh ke tanah dengan kejam. Darah merah gelap mengalir di antara genangan air hujan, menyatu dengan lumpur yang ada di sekelilingnya.
Dunia seakan berhenti berputar. Gema merasakan tubuhnya melemah, lututnya gemetar, dan kesadarannya nyaris terhenti. Hatinya terasa seperti dirobek dari dalam, rasa sakit yang tidak terkatakan menggema di dalam dadanya. Ibunya, satu-satunya orang yang dia miliki, kini telah tiada.
“Tidak...” Gema meratap, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam raungan hujan.
Di tengah keputusasaan itu, Gema merasa dunianya hancur. Dia tidak tahu harus ke mana atau apa yang harus dia lakukan. Yang dia tahu hanyalah rasa sakit yang menusuk, dan pemandangan mengerikan yang terus berulang di kepalanya.
Namun, sebelum dia benar-benar tenggelam dalam keputusasaan, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Langkah yang tenang namun penuh kekuatan. Gema tidak punya energi untuk berbalik, tetapi dia merasakan kehadiran seseorang yang kuat mendekat.
“Gema Pratama,” suara itu terdengar berat namun penuh wibawa. “Kau harus bangkit.”
Gema mengangkat wajahnya, pandangannya kabur oleh air mata dan hujan.
Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan tubuh berotot, rambut panjang tergerai basah oleh hujan, dan tatapan mata yang tajam seperti elang. Pria itu mengenakan pakaian hitam yang sederhana, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan.
“Siapa... siapa kau?” Gema berusaha bertanya, suaranya parau dan tercekik oleh kesedihan.
Pria itu berlutut di hadapan Gema, lalu mengulurkan tangannya. “Namaku Jaka Tandingan. Aku adalah murid dari Raden Jayabaya, dan aku datang untuk menemuimu, Gema. Takdir kita terjalin erat, lebih dari yang kau bayangkan.”
Gema menatap Jaka Tandingan dengan bingung. “Kenapa... kenapa kau di sini? Ibuku... dia... dia...”
Jaka Tandingan menunduk, ekspresinya penuh empati. “Aku tahu, Gema. Aku melihat apa yang terjadi. Tapi kau harus kuat. Ini bukan saatnya untuk menyerah. Dunia ini membutuhkanmu.”
Gema merasakan tangan Jaka yang kuat menggenggam bahunya, memberinya sedikit kenyamanan di tengah badai yang melanda hatinya. “Aku tidak tahu... aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkannya. Ibuku... dia segalanya bagiku.”
“Dan itulah mengapa kau harus terus berjalan,” Jaka menjawab tegas. “Ibumu telah mengorbankan hidupnya untuk memastikan kau bisa melanjutkan perjalanan ini. Kau harus menghormati pengorbanannya dengan tetap hidup dan bertarung.”
Gema menundukkan kepalanya, air mata terus mengalir. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku hanya seorang pemuda, Jaka. Bagaimana aku bisa menyelamatkan dunia?”
Jaka Tandingan berdiri, lalu membantu Gema untuk bangkit. “Kau bukan hanya seorang pemuda, Gema. Kau adalah yang diramalkan dalam Sajak Abadi. Dan kau tidak sendirian. Aku di sini untuk membantumu, untuk membimbingmu.”
Gema mendongak, menatap Jaka dengan harapan yang mulai tumbuh kembali. Meski kesedihan masih menguasai hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa berhenti di sini. Ibunya telah memberikan hidupnya untuknya. Tidak ada pilihan lain selain maju.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Gema bertanya, suaranya masih bergetar namun lebih tegas.
“Kita harus pergi ke Kerajaan Langit Timur,” Jaka menjawab. “Di sana, Raden Jayabaya menunggumu. Dia memiliki jawaban atas semua pertanyaanmu, dan dia akan membantumu menemukan kekuatan yang sebenarnya.”
Gema mengangguk pelan, meski rasa takut masih membelenggu. Dia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang panjang dan penuh bahaya. Tetapi dengan Jaka Tandingan di sisinya, dia merasa ada sedikit harapan yang tersisa.
Mereka mulai berjalan menjauh dari desa, meninggalkan rumahnya yang kini hanya menjadi puing-puing dan kenangan yang tak mungkin dilupakan. Di belakang mereka, api terus membakar, seolah-olah ingin menghapus semua jejak dari kehidupan yang pernah ada di sana.
“Gema,” Jaka berkata saat mereka berjalan, “kau harus tahu bahwa apa yang terjadi malam ini hanyalah permulaan. Dunia ini berada di ambang kehancuran, dan hanya kau yang bisa menghentikannya.”
Gema terdiam, mencerna kata-kata itu. Beban di pundaknya terasa semakin berat, namun dia tahu dia tidak bisa mundur lagi. Dunia yang hancur dan dua benua yang terus berperang membutuhkan sosok yang bisa menyatukan mereka, meski itu berarti harus mengorbankan segalanya.
“Aku akan melakukannya, Jaka,” kata Gema akhirnya, meski dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Aku akan menghentikan perang ini. Untuk ibuku, untuk desa ini, dan untuk dunia yang lebih baik.”
Jaka Tandingan tersenyum tipis, meski matanya tetap waspada. “Itulah semangat yang kubutuhkan darimu. Kita akan melakukannya bersama, Gema. Kau dan aku, kita akan menaklukkan semua rintangan yang ada di depan.”
Malam itu, di bawah hujan yang masih mengguyur, Gema Pratama melangkah pergi dari desa yang telah menjadi kuburan bagi ibu tercintanya. Dia berjalan dengan hati yang terluka, namun dengan tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan. Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk mel
Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara
Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah
Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma
Malam itu, di tengah hutan yang gelap dan sunyi, Gema, Roro, dan Jaka terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa putus asa. Jaka, yang terbaring lemah dengan luka yang menganga di dadanya, tampak semakin dekat dengan ambang kematian. Roro menangis terisak di samping kakaknya, sementara Gema berdiri tak berdaya, melihat pria yang telah menyelamatkan hidupnya terbaring sekarat.Namun, di tengah keputusasaan itu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.Tanpa peringatan, Medali Nusantara yang tergantung di leher Gema mulai bersinar dengan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu awalnya hanya berupa sinar lembut, namun dalam sekejap, sinarnya berubah menjadi pancaran yang begitu kuat hingga menerangi seluruh area di sekitar mereka. Roro, yang terkejut melihat cahaya itu, m