Hujan deras menghantam atap-atap rumah di Desa Tanjung Biru, sebuah desa kecil yang damai di tepi Laut Tengah.
Kilat menyambar, menerangi langit kelam yang seolah menangis bersama dengan para penghuni desa yang bersembunyi di balik dinding-dinding rapuh. Desa yang dulunya tenteram, kini diselimuti kecemasan dan ketakutan yang tak terungkapkan.
“Bu, apakah mereka akan datang ke sini?” tanya Gema dengan suara bergetar, matanya menatap keluar jendela yang buram oleh air hujan.
Dewi Sri Lestari, ibu angkat Gema, memeluknya erat. Wajahnya yang selalu tenang kini memancarkan kecemasan yang jarang terlihat. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi kita harus siap. Apapun yang terjadi, kau harus tetap kuat.”
Kata-kata itu seakan tak mampu menghapus ketakutan yang menggerogoti hati Gema. Sejak kecil, dia selalu merasa aman dalam dekapan ibunya, namun malam ini, kehangatan itu terasa jauh, seperti bayangan yang perlahan memudar di tengah kegelapan yang merayap.
Gema mencoba mengingat masa-masa sebelum ini, ketika desa mereka masih tenang dan jauh dari konflik. Sebuah dunia di mana dia bisa bermain dengan anak-anak lain, memetik buah-buahan liar di hutan, dan belajar kultivasi jiwa di bawah bimbingan Dewi Sri Lestari.
Tapi semua itu berubah sejak kemunculan Sajak Abadi, yang digemakan oleh Pertapa dari Wilayah Tengah.
“Kau tahu tentang Sajak Abadi, Bu? Apakah benar itu tentang aku?” Gema menatap ibunya, berharap jawaban yang menenangkan.
Dewi Sri Lestari tersenyum lemah, meski hatinya penuh kekhawatiran. “Sajak itu telah ada sejak ribuan tahun lalu, diwariskan dari mulut ke mulut. Tidak ada yang tahu pasti artinya, Nak. Tapi... ada yang percaya bahwa sajak itu adalah pertanda dari akhir perang ini.”
Gema menelan ludahnya. Perang antara Benua Barat dan Benua Timur telah berlangsung selama ribuan tahun. Sihir kuno dari Barat dan kultivasi jiwa dari Timur terus beradu, menghancurkan segala yang ada di tengah-tengahnya.
Desa Tanjung Biru, yang awalnya jauh dari konflik, kini tak lebih dari sekadar sasaran empuk bagi pasukan yang terus mencari jalan untuk memenangkan perang yang seolah tiada akhir.
“Dunia kita sudah terlalu lama terpecah belah, Bu. Apakah benar aku bisa menghentikan semua ini?” Gema bertanya, suara rendahnya mengandung keraguan.
Dewi Sri Lestari mengangguk pelan, lalu meraih wajah Gema, menatap dalam-dalam ke matanya. “Gema, kau mungkin masih muda, tapi aku percaya ada sesuatu yang besar di dalam dirimu. Sesuatu yang bahkan aku tidak bisa sepenuhnya mengerti. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.”
Tiba-tiba, pintu rumah mereka didobrak dengan keras. Seorang prajurit, dengan baju zirah penuh lumpur dan darah, berdiri di ambang pintu. Nafasnya tersengal-sengal, dan tatapannya penuh dengan ketakutan.
“Mereka datang! Pasukan dari Barat! Mereka sudah di tepi desa!” teriaknya panik.
Gema merasakan jantungnya berdebar kencang. “Apa yang harus kita lakukan, Bu?”
Dewi Sri Lestari segera bergerak. “Kita harus pergi sekarang! Gema, kau harus lari ke hutan, aku akan menahan mereka di sini.”
Gema memegang lengan ibunya erat. “Tidak, Bu! Aku tidak akan meninggalkanmu!”
Wajah Dewi Sri Lestari menegang sejenak, lalu dia menatap Gema dengan penuh cinta dan keberanian. “Kau harus pergi, Gema. Aku tidak bisa membiarkanmu tertangkap. Mereka tidak boleh tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Gema menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Bu! Kita harus pergi bersama!”
Suara dentuman keras terdengar dari luar. Tanah bergetar, dan suara jeritan mulai terdengar semakin dekat. Pasukan Barat telah tiba, membawa kehancuran dan kematian dalam langkah mereka.
“Gema!” Dewi Sri Lestari membentak, suaranya pecah oleh rasa sakit. “Dengarkan aku! Pergilah sekarang! Cari Raden Jayabaya di Kerajaan Langit Timur. Hanya dia yang bisa membantumu mengerti siapa dirimu dan apa yang harus kau lakukan!”
Dengan enggan, Gema mulai melangkah mundur, hatinya berat. Tapi sebelum dia bisa menjawab, pintu depan rumah mereka dihancurkan, dan pasukan musuh menyerbu masuk. Pedang mereka berkilat, siap untuk menumpahkan darah.
Dewi Sri Lestari mendorong Gema keluar dari pintu belakang. “Lari, Nak! Jangan lihat ke belakang!”
Gema berlari, air mata mengalir di pipinya, mendengar suara pertempuran yang pecah di belakangnya. Dia ingin berbalik, tapi kata-kata ibunya bergema di telinganya. Dia harus pergi. Dia harus bertahan.
Gema terus berlari, menyelinap di antara pepohonan, mencoba mengabaikan rasa takut dan kesedihan yang mencengkeram hatinya. Namun, suara bentrokan pedang dan teriakan dari rumahnya terus menghantuinya.
“Gema!” Suara ibunya terdengar samar, seolah memanggilnya dari jauh. Gema berhenti, terengah-engah, kakinya gemetar.
“Bu!” teriaknya putus asa, meski dia tahu tidak ada jawaban yang akan datang.
Hujan semakin deras, seolah langit menangis atas tragedi yang tengah berlangsung. Gema terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar. Dia merasa hancur. Dunia yang dia kenal telah lenyap, ditelan oleh api perang yang tak terpadamkan.
“Tolong... Bu...” Gema meratap, memeluk tanah basah di bawahnya. Dia ingin kembali, ingin menyelamatkan ibunya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang pemuda, tidak lebih dari bayangan di tengah perang yang telah menghancurkan segalanya.
Namun di dalam hatinya, terngiang-ngiang Sajak Abadi. Kata-kata yang mengerikan namun penuh harapan. Pahlawan Pratama, nama yang dibisikkan angin...
Gema bangkit perlahan, menyeka air matanya. Di tengah kesedihan dan ketakutan, dia merasa ada sesuatu yang membara di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan.
Dia mengingat kembali kata-kata ibunya. “Cari Raden Jayabaya...”
Dengan langkah yang berat namun penuh tekad, Gema mulai berjalan menuju arah Timur. Hatinya hancur, tetapi di dalam kepedihan itu, ada kekuatan yang mulai tumbuh. Kekuatan untuk mengakhiri perang ini, untuk menyatukan dua benua yang telah lama bermusuhan.
Dan meski dia tidak tahu bagaimana caranya, dia tahu satu hal pasti: dia tidak akan membiarkan pengorbanan ibunya sia-sia.
Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Gema Pratama memulai perjalanan yang akan mengubah nasib dua benua besar. Sebuah perjalanan yang dipenuhi oleh darah, air mata, dan kehancuran.
Namun di balik semua itu, tersimpan harapan baru untuk Nusantara. Harapan yang bersemayam dalam sosok seorang pemuda yang tak terduga, yang akan menghadapi kegelapan, tragedi, dan kematian dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Gema terus berlari, napasnya terengah-engah, dadanya sesak oleh rasa takut dan kesedihan yang tak tertahankan. Hujan masih turun dengan deras, mengaburkan pandangannya dan menyelimuti dunia dengan tirai kelabu. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dunia ada di pundaknya.Namun, sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berhenti. Entah itu rasa takut, entah itu naluri, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya berpaling ke belakang. Hatinya berdebar-debar, takut akan apa yang mungkin dia lihat.Gema menoleh, dan di kejauhan, samar-samar dia melihat rumahnya. Api mulai menjilat atapnya yang sudah rapuh, menyebar dengan cepat. Dia bisa melihat bayangan para prajurit Benua Barat yang bergerak di dalam hujan, mengepung rumahnya dengan niat jahat yang terpampang jelas.Di tengah mereka, seorang pria bertubuh besar, dengan baju zirah berkilauan, tampak berdiri di depan pintu. Tangannya memegang pedang besar yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Gema tidak bisa melihat wajahnya dengan j
Hujan mulai mereda ketika Gema dan Jaka Tandingan akhirnya meninggalkan desa yang dulu penuh dengan kehidupan. Malam semakin larut, dan hanya ada bayangan kelam dari kehancuran yang tersisa di belakang mereka. Gema, meski masih muda dan naif, merasakan beban dunia yang mendesak pundaknya, membuat setiap langkah terasa semakin berat.“Apakah kita akan berjalan sepanjang malam, Jaka?” tanya Gema, suaranya lelah dan penuh kebingungan. Matanya terus melirik ke sekeliling, berharap namun takut akan apa yang mungkin mereka temui di tengah kegelapan.Jaka Tandingan melirik ke arah bocah yang kini berada di bawah tanggung jawabnya. “Kita harus menjauh dari sini sejauh mungkin sebelum fajar. Pasukan dari Barat mungkin masih mencari kita.”Gema mengangguk pelan, meski kakinya mulai terasa lelah. Dia baru berusia sepuluh tahun, dan perjalanan ini bukanlah sesuatu yang pernah dia bayangkan. Namun, di tengah semua rasa takut dan lelah itu, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya—tekad untuk mel
Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara
Malam semakin pekat saat Gema dan Roro berlari tanpa henti melalui hutan yang gelap. Rasa takut terus menghantui langkah mereka, namun semangat untuk bertahan hidup mendorong keduanya maju, meski tubuh mereka sudah mulai lelah dan terluka. Suara langkah kaki pasukan yang mengejar mereka semakin mendekat, menandakan bahwa mereka tidak bisa berhenti—tidak, jika mereka ingin tetap hidup.“Roro, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi,” bisik Gema, napasnya terengah-engah, matanya berusaha mencari jalan di tengah kegelapan yang mencekam.Roro menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai merayap. “Hutan ini terlalu terbuka, Gema. Mereka akan menemukan kita di mana pun kita bersembunyi. Kita harus terus berlari.”Mereka berdua berlari semakin jauh ke dalam hutan, namun suara pasukan di belakang mereka tidak mereda, malah semakin mendekat. Gema bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi mereka—kekuatan yang begitu kuat dan mengerikan, yang terus membayangi setiap langkah
Roro terus berjalan melewati kegelapan hutan, membawa tubuh Gema yang tak sadar di punggungnya. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tidak mau berhenti. Rasa sakit di tubuhnya, serta kelelahan yang tak tertahankan, menjadi tantangan yang harus dia hadapi demi menyelamatkan bocah yang kini bergantung padanya.Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti berjam-jam, Roro akhirnya menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Gua itu tampak cukup aman untuk berlindung, jauh dari jalur yang mungkin akan dilalui oleh pasukan musuh.Dengan sisa tenaga yang ada, Roro memasuki gua tersebut dan meletakkan tubuh Gema dengan hati-hati di atas permukaan tanah yang datar. Suara nafas Gema yang lemah membuat Roro semakin cemas, namun dia tahu dia harus tetap tenang. Dia menyalakan api kecil dengan ranting-ranting yang dia kumpulkan, mencoba menghangatkan tubuh mereka berdua.“Kau harus bertahan, Gema... kumohon bertahanlah,” Roro berbisik pelan, suaranya dipe
Pagi di hutan itu terasa dingin dan sunyi. Sinar matahari yang lembut menerobos di antara celah-celah daun, menciptakan kilauan cahaya yang menyentuh tanah lembab di bawahnya. Roro duduk di depan pintu gua kecil itu, pandangannya jauh menembus hutan, meskipun pikirannya berada di tempat yang jauh lebih jauh.Wajahnya tampak muram, diliputi kesedihan yang tak dapat dia sembunyikan. Meski tubuhnya masih lelah setelah malam yang panjang, pikirannya terus-menerus berputar, memikirkan kakaknya, Jaka Tandingan.“Jaka... di mana kau sekarang?” bisiknya pelan, matanya menerawang.Di tangan Roro, dia menggenggam sebuah giok kecil yang berkilauan dengan cahaya lembut. Itu adalah Giok Jiwa, sebuah peninggalan keluarga mereka yang diwariskan turun-temurun. Giok ini terhubung dengan kehidupan pemiliknya—selama giok itu masih menyala, berarti pemiliknya masih hidup.Roro memandang giok itu dengan harapan yang penuh kecemasan. Cahaya yang terpancar dari giok tersebut memang masih menyala, tapi hati
Gema dan Roro melangkah pelan-pelan melalui hutan yang semakin lebat di sekeliling mereka. Setelah semalaman beristirahat di gua, mereka memutuskan untuk mencari makanan dan sumber air yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Meski keduanya masih sangat muda, rasa lapar dan keinginan untuk terus maju mendorong mereka untuk keluar dari persembunyian dan menelusuri hutan yang tampak begitu sunyi.“Hutan ini begitu luas,” kata Gema sambil melirik ke sekeliling, matanya dipenuhi dengan rasa kagum sekaligus waspada. “Aku belum pernah melihat hutan sebesar ini sebelumnya.”Roro mengangguk, meski dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Ya, Gema. Kita harus berhati-hati. Hutan ini bisa saja menyimpan banyak bahaya.”Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki sebuah wilayah yang dikenal oleh para petualang dan kultivator sebagai Hutan Bayangan Surga—sebuah hutan legendaris yang dipenuhi oleh binatang-binatang spiritual tingkat tinggi. Tempat ini dikenal sebagai medan uji bagi para
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang samar-samar, Gema dan Roro duduk di dekat api yang mereka nyalakan, menikmati hasil perjuangan mereka melawan Ayam Raksasa. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara, dan meskipun rasa daging itu jauh dari sempurna, mereka makan dengan lahap, merasa puas setelah hari yang panjang dan melelahkan.“Ini lebih enak dari yang kukira,” kata Gema sambil mengunyah potongan daging. Matanya berbinar-binar, meskipun rasa lelah masih terlihat jelas di wajahnya.Roro tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih disibukkan oleh banyak hal. “Ya, meskipun kita harus lebih berhati-hati ke depannya. Hutan ini penuh dengan bahaya yang mungkin lebih besar dari Ayam Raksasa tadi.”Gema mengangguk, meskipun dia lebih fokus pada ma