Share

Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua
Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua
Penulis: FAISAL FANANI

Bab 1: Kemunculan Sajak Abadi

Hujan deras menghantam atap-atap rumah di Desa Tanjung Biru, sebuah desa kecil yang damai di tepi Laut Tengah.

Kilat menyambar, menerangi langit kelam yang seolah menangis bersama dengan para penghuni desa yang bersembunyi di balik dinding-dinding rapuh. Desa yang dulunya tenteram, kini diselimuti kecemasan dan ketakutan yang tak terungkapkan.

“Bu, apakah mereka akan datang ke sini?” tanya Gema dengan suara bergetar, matanya menatap keluar jendela yang buram oleh air hujan.

Dewi Sri Lestari, ibu angkat Gema, memeluknya erat. Wajahnya yang selalu tenang kini memancarkan kecemasan yang jarang terlihat. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi kita harus siap. Apapun yang terjadi, kau harus tetap kuat.”

Kata-kata itu seakan tak mampu menghapus ketakutan yang menggerogoti hati Gema. Sejak kecil, dia selalu merasa aman dalam dekapan ibunya, namun malam ini, kehangatan itu terasa jauh, seperti bayangan yang perlahan memudar di tengah kegelapan yang merayap.

Gema mencoba mengingat masa-masa sebelum ini, ketika desa mereka masih tenang dan jauh dari konflik. Sebuah dunia di mana dia bisa bermain dengan anak-anak lain, memetik buah-buahan liar di hutan, dan belajar kultivasi jiwa di bawah bimbingan Dewi Sri Lestari.

Tapi semua itu berubah sejak kemunculan Sajak Abadi, yang digemakan oleh Pertapa dari Wilayah Tengah.

“Kau tahu tentang Sajak Abadi, Bu? Apakah benar itu tentang aku?” Gema menatap ibunya, berharap jawaban yang menenangkan.

Dewi Sri Lestari tersenyum lemah, meski hatinya penuh kekhawatiran. “Sajak itu telah ada sejak ribuan tahun lalu, diwariskan dari mulut ke mulut. Tidak ada yang tahu pasti artinya, Nak. Tapi... ada yang percaya bahwa sajak itu adalah pertanda dari akhir perang ini.”

Gema menelan ludahnya. Perang antara Benua Barat dan Benua Timur telah berlangsung selama ribuan tahun. Sihir kuno dari Barat dan kultivasi jiwa dari Timur terus beradu, menghancurkan segala yang ada di tengah-tengahnya.

Desa Tanjung Biru, yang awalnya jauh dari konflik, kini tak lebih dari sekadar sasaran empuk bagi pasukan yang terus mencari jalan untuk memenangkan perang yang seolah tiada akhir.

“Dunia kita sudah terlalu lama terpecah belah, Bu. Apakah benar aku bisa menghentikan semua ini?” Gema bertanya, suara rendahnya mengandung keraguan.

Dewi Sri Lestari mengangguk pelan, lalu meraih wajah Gema, menatap dalam-dalam ke matanya. “Gema, kau mungkin masih muda, tapi aku percaya ada sesuatu yang besar di dalam dirimu. Sesuatu yang bahkan aku tidak bisa sepenuhnya mengerti. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.”

Tiba-tiba, pintu rumah mereka didobrak dengan keras. Seorang prajurit, dengan baju zirah penuh lumpur dan darah, berdiri di ambang pintu. Nafasnya tersengal-sengal, dan tatapannya penuh dengan ketakutan.

“Mereka datang! Pasukan dari Barat! Mereka sudah di tepi desa!” teriaknya panik.

Gema merasakan jantungnya berdebar kencang. “Apa yang harus kita lakukan, Bu?”

Dewi Sri Lestari segera bergerak. “Kita harus pergi sekarang! Gema, kau harus lari ke hutan, aku akan menahan mereka di sini.”

Gema memegang lengan ibunya erat. “Tidak, Bu! Aku tidak akan meninggalkanmu!”

Wajah Dewi Sri Lestari menegang sejenak, lalu dia menatap Gema dengan penuh cinta dan keberanian. “Kau harus pergi, Gema. Aku tidak bisa membiarkanmu tertangkap. Mereka tidak boleh tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Gema menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Bu! Kita harus pergi bersama!”

Suara dentuman keras terdengar dari luar. Tanah bergetar, dan suara jeritan mulai terdengar semakin dekat. Pasukan Barat telah tiba, membawa kehancuran dan kematian dalam langkah mereka.

“Gema!” Dewi Sri Lestari membentak, suaranya pecah oleh rasa sakit. “Dengarkan aku! Pergilah sekarang! Cari Raden Jayabaya di Kerajaan Langit Timur. Hanya dia yang bisa membantumu mengerti siapa dirimu dan apa yang harus kau lakukan!”

Dengan enggan, Gema mulai melangkah mundur, hatinya berat. Tapi sebelum dia bisa menjawab, pintu depan rumah mereka dihancurkan, dan pasukan musuh menyerbu masuk. Pedang mereka berkilat, siap untuk menumpahkan darah.

Dewi Sri Lestari mendorong Gema keluar dari pintu belakang. “Lari, Nak! Jangan lihat ke belakang!”

Gema berlari, air mata mengalir di pipinya, mendengar suara pertempuran yang pecah di belakangnya. Dia ingin berbalik, tapi kata-kata ibunya bergema di telinganya. Dia harus pergi. Dia harus bertahan.

Gema terus berlari, menyelinap di antara pepohonan, mencoba mengabaikan rasa takut dan kesedihan yang mencengkeram hatinya. Namun, suara bentrokan pedang dan teriakan dari rumahnya terus menghantuinya.

“Gema!” Suara ibunya terdengar samar, seolah memanggilnya dari jauh. Gema berhenti, terengah-engah, kakinya gemetar.

“Bu!” teriaknya putus asa, meski dia tahu tidak ada jawaban yang akan datang.

Hujan semakin deras, seolah langit menangis atas tragedi yang tengah berlangsung. Gema terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar. Dia merasa hancur. Dunia yang dia kenal telah lenyap, ditelan oleh api perang yang tak terpadamkan.

“Tolong... Bu...” Gema meratap, memeluk tanah basah di bawahnya. Dia ingin kembali, ingin menyelamatkan ibunya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang pemuda, tidak lebih dari bayangan di tengah perang yang telah menghancurkan segalanya.

Namun di dalam hatinya, terngiang-ngiang Sajak Abadi. Kata-kata yang mengerikan namun penuh harapan. Pahlawan Pratama, nama yang dibisikkan angin...

Gema bangkit perlahan, menyeka air matanya. Di tengah kesedihan dan ketakutan, dia merasa ada sesuatu yang membara di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan.

Dia mengingat kembali kata-kata ibunya. “Cari Raden Jayabaya...”

Dengan langkah yang berat namun penuh tekad, Gema mulai berjalan menuju arah Timur. Hatinya hancur, tetapi di dalam kepedihan itu, ada kekuatan yang mulai tumbuh. Kekuatan untuk mengakhiri perang ini, untuk menyatukan dua benua yang telah lama bermusuhan.

Dan meski dia tidak tahu bagaimana caranya, dia tahu satu hal pasti: dia tidak akan membiarkan pengorbanan ibunya sia-sia.

Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Gema Pratama memulai perjalanan yang akan mengubah nasib dua benua besar. Sebuah perjalanan yang dipenuhi oleh darah, air mata, dan kehancuran.

Namun di balik semua itu, tersimpan harapan baru untuk Nusantara. Harapan yang bersemayam dalam sosok seorang pemuda yang tak terduga, yang akan menghadapi kegelapan, tragedi, dan kematian dengan keberanian yang tak tergoyahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status