Semua Bab Tuan, Aku Hamil!: Bab 21 - Bab 30

52 Bab

Sus Wulan Curiga

"Ratih?" Suara Mbok Yanti memecah keheningan."Iya, Mbok," jawabku, ketika menapakkan kakiku menuruni tangga dengan hati-hati."Di atas ngapain malam-malam begini?" tanyanya dengan nada curiga. Aku perlahan mendekatinya, berusaha menyembunyikan kegundahan yang menggelayuti hatiku."Cari angin, Mbok," jawabku, mencoba terdengar tenang meski denyut nadi terasa berdegup kencang."Ta kirain siapa loh, cari angin atau cari angin? Malam-malam gini bukannya istirahat, sampai keringetan begitu,” Mbok Yanti menambahkan, menatapku dengan pandangan penuh perhatian.Aku hanya tersenyum tipis, meski menyadari bahwa jawabanku tidak sepenuhnya meyakinkan. Dalam kesunyian malam ini, setiap detil tampak lebih mencolok, dan aku merasa Mbok Yanti dapat merasakan ada sesuatu yang tak biasa."Ya sudah, Mbok mau tidur lagi. Besok harus bangun pagi, Nyonya Talitha sudah pulang," ujar Mbok Yanti, suaranya mulai lembut setelah sebelumnya penuh selidik. Aku men
Baca selengkapnya

Pelet atau Pesona?

"Iya, Sus. Tadi Tuan Devan mengumpulkan dulu baju kotornya," jawabku sambil melanjutkan langkahku, berharap bisa segera keluar dari situasi ini."Ratih, berhenti!" seru Sus Wulan, suaranya tegas memanggilku kembali. Aku menghentikan langkahku seketika, merasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya."Ada apa, Sus?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin meski rasa was-was mulai merayap dalam diriku.Sus Wulan mendekat, wajahnya serius. "Jangan sampai terjadi apa-apa antara kamu dengan Tuan Devan," katanya, tatapannya menembus hingga ke dalam hatiku."Maksud Sus Wulan?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti meski perutku terasa mulas. Aku tahu betul apa yang dia maksud, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Pandangan Sus Wulan tetap terpaku padaku, seolah menunggu jawaban yang lebih jujur dariku."Heh, aku punya feeling yang kuat, Ratih," lanjut Sus Wulan, suaranya rendah namun penuh arti, sebelum berbalik dan melangkah masuk ke dala
Baca selengkapnya

Di Ujung Kesabaran

"Pakai pelet apa? Jawab! Atau kamu bilang yang tidak-tidak dengan Tuan dan Nyonya?" desak Sus Wulan, semakin mendekatiku."Sudah cukup," batinku mulai terpancing, kemarahan memuncak di dalam diri. Perasaan lelah setelah hari yang panjang dan penuh tekanan membuat emosi ini tak lagi bisa kutahan.Perlahan, aku menyimpan piringku di meja yang berada di sampingku, lalu berdiri dengan mantap. Kutatap Sus Wulan dengan tatapan tajam, sekuat tenaga kutahan gejolak yang membara di dalam dada. Tanpa basa-basi, kudorong Sus Wulan hingga terjerembab ke tembok. Langkahku mendekat, bayangan amarah terpantul dalam matanya."Sus Wulan, sebetulnya ada masalah apa dengan saya?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi yang meluap."Saya tidak pernah berpikir untuk mengambil pekerjaan Sus Wulan merawat Prince. Itu sudah tugas Sus Wulan sebagai suster, bukan tugas saya," lanjutku, nada bicaraku mulai berubah, menyerupai seseorang yang berbeda, lebih dingin dan penuh tekad.
Baca selengkapnya

Getaran Cinta Talitha

Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan beku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri. Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan membeku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri, seakan tahu betul bahwa pandanganku tak pernah bisa lepas darinya."Ratih, kenapa jadi malu-malu lagi?" katanya, suaranya terdengar ceria namun mengandung sesuatu yang lebih dalam. "Kamu kan sudah pernah melakukan ini sebelumnya," ia menambahkan, mengingatkan tentang momen yang dulu, saat pertama kali ia memintaku untuk berganti pakaian di depannya. Saat itu, aku juga merasa gugup, namun entah bagaimana, aku tetap melakukannya. Ak
Baca selengkapnya

Terjerat Talitha

Talitha tidak bergerak selama beberapa detik, membiarkan bibir kami bersentuhan, seolah memastikan bahwa aku tidak akan menolaknya. Pada awalnya, aku merasa ingin mundur, rasa takut dan ragu menyeruak di dalam benakku. Namun, ada sesuatu yang menahanku di tempat. Sentuhan bibirnya begitu lembut, begitu berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan, rasa penasaran dan keinginan yang tak bisa kuhindari mulai menyelinap di pikiranku, menggantikan ketakutan yang tadinya mendominasi. Aku merasakan diriku mulai melebur ke dalam kehangatan ciumannya, bibirku perlahan membalas ciumannya, membuka diri pada sensasi yang baru ini.Talitha memperdalam ciumannya, bibirnya bergerak dengan lembut tapi penuh gairah, seolah-olah mencari lebih banyak dariku. Tangannya menyentuh pinggulku, menarikku lebih dekat ke arahnya. Aku bisa merasakan dadaku menekan dadanya, kain dress yang tipis di antara kami seolah-olah tidak cukup untuk menahan gesekan yang membuat kulitku terasa panas. Napas kam
Baca selengkapnya

Kunjungan Widodo

“Tuan,” kataku dengan suara yang nyaris berbisik, mencoba menyembunyikan kegugupanku, tapi aku tahu mereka bisa mendengarnya.“Sudah selesai, Ratih?” suara Talitha terdengar ceria, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Namun, tatapanku tidak bisa berpaling dari Devan, yang masih menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.“Sudah, Nyonya,” jawabku pelan, mencoba bersikap setenang mungkin.Devan tersenyum, senyuman nakal yang muncul di sudut bibirnya, penuh arti. Ia menatapku lalu beralih menatap Talitha. “Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyanya dengan nada menggoda, senyuman nakalnya tak bisa ditahan, seolah menikmati ketidaknyamanan yang kini melingkupi ruangan ini.Talitha tertawa kecil, matanya berkilat penuh misteri. "Tidak ada yang kamu lewatkan, Pap," katanya dengan nada yang terdengar genit, namun juga mengandung sedikit tantangan. Ia duduk lebih tegak, tangan masih menyen
Baca selengkapnya

Widodo Penasaran

Aku menghampiri Mas Widodo di depan gerbang rumah Devan, napasku sedikit tercekat melihat wajahnya yang penuh kelelahan. Matanya tampak sayu, tapi ada sesuatu di sana — kekhawatiran yang tertahan, dan mungkin sedikit rasa rindu yang sudah lama tak terucap. Aku mengajaknya duduk di kursi halaman yang terdapat di luar rumah, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan menyelinap di dadaku.“Mas Widodo, ada apa, Mas?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya dari kedatangannya yang tiba-tiba."Ah, tidak ada apa-apa, cuma sudah lama tidak ketemu, semenjak kamu kerja di rumah Tuan Devan," jawabnya dengan nada santai, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.“Memang sebelum kerja di sini juga jarang ketemu kan, Mas? Setiap hari Mas keluar
Baca selengkapnya

Merelakan?

“Mas, aku sudah bilang ketika kita akan menikah,” kataku, suaraku lebih tegas dari yang kuduga. “Mungkin pernikahan kita tidak seperti orang pada umumnya, dan Mas menyanggupi itu. Aku tidak ingin pertanyaan itu diungkit lagi.” Ada nada putus asa dalam suaraku, seolah aku lelah dengan topik yang sudah pernah kami bicarakan ini, lelah dengan semua kebingungan yang terus-menerus melingkupiku.Widodo tersenyum getir, senyum yang membuatku merasa semakin tidak nyaman. Matanya tampak sayu, dan aku bisa merasakan perasaan sakit yang dipendamnya selama ini, mungkin karena keadaan yang tidak pernah bisa benar-benar ia terima. Dia mengangguk pelan, seolah menerima sesuatu yang pahit namun tak bisa dihindari.“Maafkan Mas, Dek,” katanya dengan nada rendah, suaranya terdengar seperti bergetar. “Mas menyadari… kalau Mas mungkin tidak layak untuk menjadi suami Adek,” lanjutnya dengan lirih, seolah kata-kata itu terlalu berat unt
Baca selengkapnya

Brazilian

Talitha tersenyum lebar ketika kami masuk ke mobil. "Ratih, hari ini kamu nggak boleh protes ya," katanya sambil menyalakan mesin mobil. "Dan tolong… jangan panggil aku ‘Nyonya’ ketika kita berdua atau bertemu teman-temanku, ok honey?" lanjutnya, nada suaranya terdengar lebih manja dan lembut.Aku mengerutkan kening, bingung dengan permintaannya. "Jadi panggilnya apa?" tanyaku, mencoba mengerti maksudnya, sambil merapikan dress yang kukenakan. Ada bagian tali yang tak kumengerti, serasa semakin kusut setiap kali aku mencoba memperbaikinya.Talitha menoleh ke arahku sejenak, matanya tampak ceria dan sedikit menggoda. “Panggil saja namaku, Talitha,” katanya sambil tertawa kecil. “Atau… kalau mau, kamu bisa panggil aku
Baca selengkapnya

Gavin Pulang?

“Rileks saja, Kak. Napas yang dalam, ya," katanya sambil tersenyum.Aku menarik napas panjang, merasa malu dan bingung dengan situasi ini, tapi Talitha tertawa pelan, suaranya penuh canda. "Santai, Ratih. Anggap saja ini pengalaman baru!"Aku mencoba ikut tertawa, meski keringat dingin mulai mengalir di dahiku. "Ya, pengalaman baru yang… tidak pernah kubayangkan," kataku, yang membuat Talitha semakin tertawa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, perawatan akhirnya selesai. Aku merasa aneh, setengah lega tapi juga masih bingung. Talitha menepuk tanganku dengan lembut. "Gimana rasanya? Lebih nyaman kan?" tanyanya dengan senyum lebar sambil melirik sekilas ke arah bagian bawah tubuhku, membuatku merasa sedikit malu. Ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuat pipiku memerah.Aku mengangguk, meskipun masih agak kaku. “Ya… mungkin,” jawabku ragu-ragu, mencoba mencari-cari kata yang tepat un
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status