“Rileks saja, Kak. Napas yang dalam, ya," katanya sambil tersenyum.
Aku menarik napas panjang, merasa malu dan bingung dengan situasi ini, tapi Talitha tertawa pelan, suaranya penuh canda. "Santai, Ratih. Anggap saja ini pengalaman baru!"
Aku mencoba ikut tertawa, meski keringat dingin mulai mengalir di dahiku. "Ya, pengalaman baru yang… tidak pernah kubayangkan," kataku, yang membuat Talitha semakin tertawa.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, perawatan akhirnya selesai. Aku merasa aneh, setengah lega tapi juga masih bingung. Talitha menepuk tanganku dengan lembut.
"Gimana rasanya? Lebih nyaman kan?" tanyanya dengan senyum lebar sambil melirik sekilas ke arah bagian bawah tubuhku, membuatku merasa sedikit malu. Ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuat pipiku memerah.
Aku mengangguk, meskipun masih agak kaku. “Ya… mungkin,” jawabku ragu-ragu, mencoba mencari-cari kata yang tepat un
Malam itu terasa semakin kabur, seperti kabut yang menyelimuti pikiran dan perasaan. Botol wine di meja kami seakan berlubang—aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali Talitha menuangkan minuman ke gelasnya, menikmati setiap tegukan dengan tawa yang semakin lepas. Ketika makan malam selesai, ia bahkan memesan botol kedua, bersama hidangan penutup yang manis. Ada sesuatu dalam cara Talitha meneguk wine, dalam tawanya yang riang dan tingkahnya yang centil, yang membuatku merasa ada sesuatu yang lebih dalam—seperti terselip kesedihan samar di balik senyumannya.Seperti ada kehilangan yang tak bisa dia ungkapkan, atau mungkin sesuatu yang berat di hatinya yang sedang ia coba lupakan. Aku tidak yakin apakah aku hanya berhalusinasi, tapi perasaan itu terus membayangi pikiranku sepanjang malam.Ketika aku merasa Talitha sudah terlalu banyak minum, aku mencoba menghentikannya. "Talitha, sudah ya," kataku sambil menahan gelasnya sebelum ia sempat meneguk lagi.Talitha tersenyum lembut, lalu
"Litha, kamu nakal sekali," bisikku dengan nada setengah bercanda, tapi aku bisa merasakan getaran di suaraku. Tubuhku mulai bereaksi, gairahku perlahan memuncak, dan aku tanpa sadar mengapitkan kakiku lebih erat, mencoba menahan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhku.Talitha tertawa kecil, matanya bersinar dengan kegirangan. Ia menatapku dengan intensitas yang hampir membuatku merasa seperti sedang dalam percobaan laboratorium; pandangannya begitu tajam dan penuh antusiasme, seperti sedang menunggu reaksiku. Aku merasa seperti sedang diamati dengan cermat, setiap gerakanku seolah menjadi pusat perhatiannya."Kita isi lagi, ya?" katanya dengan senyum yang semakin lebar. "Di sini masih ada cognac." Tangannya dengan cekatan meraih botol lain di atas minibar, menuangkannya dengan perlahan ke dalam gelasnya dan kemudian gelasku, matanya tetap terfokus padaku.Aku merasakan aroma cognac yang kuat bercampur dengan udara, dan rasa hangat di tubuhku semakin intens. “Litha… cukup… nanti kit
Perlahan, Talitha menuruni tubuhku, matanya tetap tertuju padaku, penuh dengan rasa ingin tahu dan antisipasi. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat ketika dia mendekati bagian bawah tubuhku, semakin tenggelam di antara kedua kakiku. Sensasi yang aneh tapi menggetarkan menjalar di tubuhku saat dia menelusuri setiap inci kulitku dengan sentuhan yang begitu lembut dan terukur, seakan dia tahu persis bagaimana membuatku merasa semakin terbuka.Saat sentuhannya semakin dekat, jantungku berdebar kencang, dan napasku semakin cepat. Ketika bibir dan jemarinya mencapai bagian yang paling intim, aku merasa seluruh tubuhku menegang, napasku tercekat, dan gelombang hangat segera menyapu seluruh tubuhku. Setiap sentuhan yang ia berikan membawa percikan kecil yang menyebar seperti api yang menyala pelan, semakin lama semakin membakar.Aku tak bisa menahan desahan kecil yang keluar dari bibirku, dan seiring dengan itu, aku merasa tenggelam dalam lautan sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumn
Biasanya aku terbangun di pagi hari sekitar jam 4, tapi kali ini mataku baru terbuka pada pukul 7. Kepalaku terasa pening, akibat cognag yang kami minum beberapa gelas lagi sebelum tidur. Aku mengangkat tubuhku dari ranjang dengan pelan, melihat Talitha masih terbaring di sampingku, wajahnya tenang dalam tidur.Aku mencoba bangkit, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, belum sepenuhnya rapi ketika aku melangkah keluar dari kamar. Tapi, tepat saat aku keluar dari kamar, seseorang masuk ke dalam apartemen. Sosoknya terlihat tinggi, mengenakan pakaian olahraga yang basah oleh keringat, sepertinya baru saja selesai jogging. Ketika dia melihatku, matanya membelalak sedikit, menunjukkan keterkejutan yang jelas."Siapa kamu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit keras, tetapi lebih karena bingung daripada marah.Aku terdiam sejenak, lidahku kelu. "Aku… akuuu…," gumamku, panik. Tidak tahu harus menjelaskan apa.Tanpa berpikir panjang, aku segera berbalik masuk ke kamar, mencoba menutupi tub
Aku melirik ke arah Gavin, melihat bagaimana matanya bergerak perlahan dari wajahku ke seluruh tubuh, lalu berhenti di bagian dadaku. Aku mengikuti pandangannya, dan seketika wajahku memerah. Resleting blusku terbuka sedikit, cukup untuk membuatku merasa malu. Dengan cepat, aku menarik resletingnya dan menutupinya rapat-rapat, merasa sedikit terganggu dengan caranya memperhatikanku.Gavin menghela napas dan merebahkan dirinya di kursi, seolah mencoba menenangkan diri dari sesuatu. "Tuan, ada yang salah?" tanyaku, mencoba mengalihkan suasana canggung yang muncul.Dia tidak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu sedikit. “Makan dulu,” katanya akhirnya, saat pelayan tiba membawa hidangan yang kami pesan.Kami makan dalam diam. Aku mencoba fokus pada makananku, tapi rasanya perutku sulit menerima apa pun d
Aku menggigit bibirku, merasakan desakan yang bergejolak dalam diriku."Aku… aku nggak tahu," jawabku pelan, hampir berbisik, sementara mataku tidak bisa berpaling dari tatapan intens Talitha.Talitha tertawa kecil, nada tawanya terdengar lembut tapi penuh gairah."Kamu boleh bilang iya, lho," desaknya, tangannya yang hangat menyentuh paha dalamku, jemarinya bergerak perlahan, menelusuri kulitku dengan sentuhan yang sangat lembut. Aku bisa merasakan hangatnya tangannya, sensasi yang familiar namun tetap membuatku bergetar."Kamu tahu," lanjutnya dengan nada suara yang lebih rendah dan sedikit serak, "Aku suka kamu kemarin malam… rasanya berbeda." Talitha semakin mendekat, bibirnya hampir menyentuh telingaku saat dia berbisik, "Dan aku ingin lebi
Hari-hari berikutnya, aku memulai rutinitas baru sebagai kepala rumah tangga, dan ternyata pekerjaan ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Aku pikir dengan tugas ini, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Namun, sebaliknya, ternyata mengurus keperluan rumah tangga keluarga ini seakan-akan seperti mengelola sebuah hotel. Dari membeli popok hingga mengurus uang bensin, membayar uang keamanan kompleks perumahan, sampai hal-hal kecil lainnya, semuanya ada dalam daftar tanggung jawabku. Hitung-hitungan ini sungguh membuatku pusing.Bahkan, pekerja lainnya juga tampaknya merasakan perubahan ini. Sus Wulan dan Mbak Tuti seperti biasa, sering berbicara di belakangku dengan nada berbisik, seolah-olah membicarakan sesuatu yang tidak ingin kudengar. Sementara itu, Mbok Yanti dan Sus Sari menjadi semakin dekat denganku, seolah-olah ada dua kubu yang terbentuk di antara kami. Aku malas mengurus hal-hal remeh sepe
Malam itu, suasana di dalam rumah tiba-tiba berubah drastis. Rasanya seperti kami semua terjebak dalam drama misteri detektif, dan seseorang di antara kami merasa dirinya seperti Sherlock Holmes yang hendak mengungkap rahasia tersembunyi. Setiap orang di ruangan tampak waspada, seolah-olah menunggu giliran untuk ditelanjangi oleh kecurigaan.Pak Arif segera dipanggil oleh Devan, wajahnya tampak serius saat mendekati kami. “Pak Arif, tolong geledah kamar pekerja satu per satu,” perintah Devan tegas. "Mulai dari kamar Sus Wulan."Aku melihat Sus Wulan berdiri dengan dagu terangkat, sikapnya penuh percaya diri, seolah-olah yakin bahwa dia tidak akan pernah ditemukan bersalah. Senyum tipis tersungging di bibirnya, dan matanya menatap kami satu per satu, seakan menantang kami untuk berani meragukan integritasnya. "Silakan, Pak Arif," katanya dengan nada