Aku melirik ke arah Gavin, melihat bagaimana matanya bergerak perlahan dari wajahku ke seluruh tubuh, lalu berhenti di bagian dadaku. Aku mengikuti pandangannya, dan seketika wajahku memerah. Resleting blusku terbuka sedikit, cukup untuk membuatku merasa malu. Dengan cepat, aku menarik resletingnya dan menutupinya rapat-rapat, merasa sedikit terganggu dengan caranya memperhatikanku.
Gavin menghela napas dan merebahkan dirinya di kursi, seolah mencoba menenangkan diri dari sesuatu. "Tuan, ada yang salah?" tanyaku, mencoba mengalihkan suasana canggung yang muncul.
Dia tidak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu sedikit. “Makan dulu,” katanya akhirnya, saat pelayan tiba membawa hidangan yang kami pesan.
Kami makan dalam diam. Aku mencoba fokus pada makananku, tapi rasanya perutku sulit menerima apa pun d
Aku menggigit bibirku, merasakan desakan yang bergejolak dalam diriku."Aku… aku nggak tahu," jawabku pelan, hampir berbisik, sementara mataku tidak bisa berpaling dari tatapan intens Talitha.Talitha tertawa kecil, nada tawanya terdengar lembut tapi penuh gairah."Kamu boleh bilang iya, lho," desaknya, tangannya yang hangat menyentuh paha dalamku, jemarinya bergerak perlahan, menelusuri kulitku dengan sentuhan yang sangat lembut. Aku bisa merasakan hangatnya tangannya, sensasi yang familiar namun tetap membuatku bergetar."Kamu tahu," lanjutnya dengan nada suara yang lebih rendah dan sedikit serak, "Aku suka kamu kemarin malam… rasanya berbeda." Talitha semakin mendekat, bibirnya hampir menyentuh telingaku saat dia berbisik, "Dan aku ingin lebi
Hari-hari berikutnya, aku memulai rutinitas baru sebagai kepala rumah tangga, dan ternyata pekerjaan ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Aku pikir dengan tugas ini, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Namun, sebaliknya, ternyata mengurus keperluan rumah tangga keluarga ini seakan-akan seperti mengelola sebuah hotel. Dari membeli popok hingga mengurus uang bensin, membayar uang keamanan kompleks perumahan, sampai hal-hal kecil lainnya, semuanya ada dalam daftar tanggung jawabku. Hitung-hitungan ini sungguh membuatku pusing.Bahkan, pekerja lainnya juga tampaknya merasakan perubahan ini. Sus Wulan dan Mbak Tuti seperti biasa, sering berbicara di belakangku dengan nada berbisik, seolah-olah membicarakan sesuatu yang tidak ingin kudengar. Sementara itu, Mbok Yanti dan Sus Sari menjadi semakin dekat denganku, seolah-olah ada dua kubu yang terbentuk di antara kami. Aku malas mengurus hal-hal remeh sepe
Malam itu, suasana di dalam rumah tiba-tiba berubah drastis. Rasanya seperti kami semua terjebak dalam drama misteri detektif, dan seseorang di antara kami merasa dirinya seperti Sherlock Holmes yang hendak mengungkap rahasia tersembunyi. Setiap orang di ruangan tampak waspada, seolah-olah menunggu giliran untuk ditelanjangi oleh kecurigaan.Pak Arif segera dipanggil oleh Devan, wajahnya tampak serius saat mendekati kami. “Pak Arif, tolong geledah kamar pekerja satu per satu,” perintah Devan tegas. "Mulai dari kamar Sus Wulan."Aku melihat Sus Wulan berdiri dengan dagu terangkat, sikapnya penuh percaya diri, seolah-olah yakin bahwa dia tidak akan pernah ditemukan bersalah. Senyum tipis tersungging di bibirnya, dan matanya menatap kami satu per satu, seakan menantang kami untuk berani meragukan integritasnya. "Silakan, Pak Arif," katanya dengan nada
"Tuan, Nyonya, apakah kalian percaya aku akan sebodoh itu?" tanyaku, suaraku berusaha tenang meskipun hatiku masih berdebar kencang. "Kalian memberikanku posisi kepala rumah tangga, dengan rekening bank dan kartu kredit. Nilainya lebih besar daripada gelang itu," lanjutku, mencoba membuat mereka melihat logika di balik situasi ini.Talitha menggenggam tanganku erat, matanya menatapku penuh keyakinan dan kehangatan. Tapi sebelum dia sempat mengatakan apa pun, aku melanjutkan, "Lagi pula, hanya pencuri yang bodoh yang akan menyimpan barang curiannya di tempat tidurnya sendiri."Sus Wulan tiba-tiba menyela, suaranya terdengar dingin dan penuh sindiran. "Sudah akui saja, Ratih, tidak usah bertele-tele. Kita semua tahu gelang itu ada di kamarmu," katanya dengan tatapan tajam.Mbak Tuti mengangguk cepat, menambahkan denga
“Kita harus cari pengganti suster untuk Prince,” kata Devan tiba-tiba, nadanya tegas seolah-olah dia sudah membuat keputusan yang tak tergoyahkan.Talitha mengangguk sambil menatapku. “Aku sudah feeling semenjak dia kasih saran untuk menggeledah kamar pekerja,” katanya dengan nada yang lebih pelan.Aku hanya tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di ruangan ini, lalu menyesap Hennessy-ku perlahan. Rasa hangat dari minuman itu menyebar di tenggorokanku, seperti selimut tipis yang menenangkan.“Ratih, kamu mau kasih pembalasan apa untuk Wulan?” tanya Devan, suaranya rendah dan sedikit dingin, seolah ingin memastikan aku benar-benar memikirkan hal ini.Aku mengerutkan dahi, terkejut dengan pertanyaan itu. "Untuk apa?" balasku, mencoba memahami maksud dari pertanyaannya.Devan tersenyum kecil, namun matanya masih tajam menatapku. “Dia kan yang simpan gelang Talitha di tempat tidurmu, bi
Talitha mengusap lembut pipiku, matanya menatapku dengan penuh kasih. "Nggak usah takut, sayang," katanya pelan. "Apa pun yang kamu rasakan, kau nggak sendirian, ada Aku di sini."Dia tersenyum kecil, senyum yang menghangatkan sekaligus menggoda. "Kalau kamu nggak bisa menahan diri... mungkin itu artinya kamu sedang menemukan sesuatu yang baru tentang dirimu sendiri," lanjutnya, matanya berbinar penuh keyakinan.Aku menghela napas, merasa jantungku masih berdebar kencang. "Tapi gimana kalau aku kehilangan kendali?" tanyaku dengan nada ragu, masih takut dengan perubahan yang mulai tumbuh di dalam diriku.Talitha mendekatkan wajahnya ke wajahku lagi, dan berbisik lembut, "Mungkin, justru saat kamu kehilangan kendali… adalah saat kamu benar-benar menemukan dirimu."“Seperti ini?” bisikku, lalu jariku menyentuh bagian paling intimnya membuatnya mengerang pelan. Matanya terpejam, bibirnya terbuka sedikit saat desahan keluar dari mulutnya, na
Devan tersenyum kembali, mengedipkan matanya, memberikan persetujuan tanpa berkata apa-apa. Ada kilatan nakal di matanya, tapi juga lembut, seolah mengamati setiap reaksi yang terjadi di antara kami.Talitha menatapku, bibirnya mendekat perlahan. Jantungku berdegup semakin kencang, perasaanku campur aduk antara bingung dan tertarik. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah ini pengaruh alkohol yang membuatku merasa begitu terhanyut?Talitha menciumku dalam-dalam, matanya terpejam seolah benar-benar menikmati momen itu. Aku merasa tubuhku mulai melemas di bawah kelembutan ciumannya, tapi mataku tidak bisa lepas dari Devan. Sorot matanya sangat lembut, penuh dengan perhatian, dan mungkin sedikit terpesona dengan apa yang dia lihat. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatku merasa lebih tenang dan semakin tenggelam dalam ciuman Talitha, seolah dunia di sekitar kami perlahan-lahan memudar.Talitha semakin menekan ciumannya, merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan a
Aku menggelengkan kepala, masih merasa bingung dengan pembicaraan mereka. Melihat ekspresi wajahku yang mungkin tampak sedikit linglung, Talitha tertawa kecil, sepertinya terhibur dengan kebingunganku."Ini loh, mami tiriku," Talitha mulai menjelaskan, sambil terus membalas chat di ponselnya. "Dia biasanya tinggal di Belanda bersama keluarganya," katanya. "Sudah bertahun-tahun nggak pulang karena terakhir kali ada masalah dengan Opa. Aku takut dia datang-datang ini mau mengutak-atik soal warisan.""Opa minta kamu ke Kediri, Pap," Talitha menatap Devan sambil menunjukkan pesan di layar ponselnya.“Ya, pergi saja, Babe. Pakai pesawat juga nggak sampai dua jam,” jawab Devan, mengangkat bahu dengan santai.“Dibilangin, malas!” Talitha menghela napas p