"Tuan, Nyonya, apakah kalian percaya aku akan sebodoh itu?" tanyaku, suaraku berusaha tenang meskipun hatiku masih berdebar kencang. "Kalian memberikanku posisi kepala rumah tangga, dengan rekening bank dan kartu kredit. Nilainya lebih besar daripada gelang itu," lanjutku, mencoba membuat mereka melihat logika di balik situasi ini.
Talitha menggenggam tanganku erat, matanya menatapku penuh keyakinan dan kehangatan. Tapi sebelum dia sempat mengatakan apa pun, aku melanjutkan, "Lagi pula, hanya pencuri yang bodoh yang akan menyimpan barang curiannya di tempat tidurnya sendiri."
Sus Wulan tiba-tiba menyela, suaranya terdengar dingin dan penuh sindiran. "Sudah akui saja, Ratih, tidak usah bertele-tele. Kita semua tahu gelang itu ada di kamarmu," katanya dengan tatapan tajam.
Mbak Tuti mengangguk cepat, menambahkan denga
“Kita harus cari pengganti suster untuk Prince,” kata Devan tiba-tiba, nadanya tegas seolah-olah dia sudah membuat keputusan yang tak tergoyahkan.Talitha mengangguk sambil menatapku. “Aku sudah feeling semenjak dia kasih saran untuk menggeledah kamar pekerja,” katanya dengan nada yang lebih pelan.Aku hanya tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di ruangan ini, lalu menyesap Hennessy-ku perlahan. Rasa hangat dari minuman itu menyebar di tenggorokanku, seperti selimut tipis yang menenangkan.“Ratih, kamu mau kasih pembalasan apa untuk Wulan?” tanya Devan, suaranya rendah dan sedikit dingin, seolah ingin memastikan aku benar-benar memikirkan hal ini.Aku mengerutkan dahi, terkejut dengan pertanyaan itu. "Untuk apa?" balasku, mencoba memahami maksud dari pertanyaannya.Devan tersenyum kecil, namun matanya masih tajam menatapku. “Dia kan yang simpan gelang Talitha di tempat tidurmu, bi
Talitha mengusap lembut pipiku, matanya menatapku dengan penuh kasih. "Nggak usah takut, sayang," katanya pelan. "Apa pun yang kamu rasakan, kau nggak sendirian, ada Aku di sini."Dia tersenyum kecil, senyum yang menghangatkan sekaligus menggoda. "Kalau kamu nggak bisa menahan diri... mungkin itu artinya kamu sedang menemukan sesuatu yang baru tentang dirimu sendiri," lanjutnya, matanya berbinar penuh keyakinan.Aku menghela napas, merasa jantungku masih berdebar kencang. "Tapi gimana kalau aku kehilangan kendali?" tanyaku dengan nada ragu, masih takut dengan perubahan yang mulai tumbuh di dalam diriku.Talitha mendekatkan wajahnya ke wajahku lagi, dan berbisik lembut, "Mungkin, justru saat kamu kehilangan kendali… adalah saat kamu benar-benar menemukan dirimu."“Seperti ini?” bisikku, lalu jariku menyentuh bagian paling intimnya membuatnya mengerang pelan. Matanya terpejam, bibirnya terbuka sedikit saat desahan keluar dari mulutnya, na
Devan tersenyum kembali, mengedipkan matanya, memberikan persetujuan tanpa berkata apa-apa. Ada kilatan nakal di matanya, tapi juga lembut, seolah mengamati setiap reaksi yang terjadi di antara kami.Talitha menatapku, bibirnya mendekat perlahan. Jantungku berdegup semakin kencang, perasaanku campur aduk antara bingung dan tertarik. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah ini pengaruh alkohol yang membuatku merasa begitu terhanyut?Talitha menciumku dalam-dalam, matanya terpejam seolah benar-benar menikmati momen itu. Aku merasa tubuhku mulai melemas di bawah kelembutan ciumannya, tapi mataku tidak bisa lepas dari Devan. Sorot matanya sangat lembut, penuh dengan perhatian, dan mungkin sedikit terpesona dengan apa yang dia lihat. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatku merasa lebih tenang dan semakin tenggelam dalam ciuman Talitha, seolah dunia di sekitar kami perlahan-lahan memudar.Talitha semakin menekan ciumannya, merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan a
Aku menggelengkan kepala, masih merasa bingung dengan pembicaraan mereka. Melihat ekspresi wajahku yang mungkin tampak sedikit linglung, Talitha tertawa kecil, sepertinya terhibur dengan kebingunganku."Ini loh, mami tiriku," Talitha mulai menjelaskan, sambil terus membalas chat di ponselnya. "Dia biasanya tinggal di Belanda bersama keluarganya," katanya. "Sudah bertahun-tahun nggak pulang karena terakhir kali ada masalah dengan Opa. Aku takut dia datang-datang ini mau mengutak-atik soal warisan.""Opa minta kamu ke Kediri, Pap," Talitha menatap Devan sambil menunjukkan pesan di layar ponselnya.“Ya, pergi saja, Babe. Pakai pesawat juga nggak sampai dua jam,” jawab Devan, mengangkat bahu dengan santai.“Dibilangin, malas!” Talitha menghela napas p
Talitha segera menghampiri Tuan Darius dan memeluknya erat, wajahnya berubah menjadi lebih ceria seketika.“Opa, aku kangen sekali!” serunya, seakan mengabaikan kehadiran Mami Tere. Mami Tere hanya mendengus pelan, matanya berkilat penuh kecemburuan dan kekesalan melihat kedekatan mereka.Tuan Darius tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Talitha dengan lembut. "Aku juga, Litha… Aku juga," jawabnya dengan suara bergetar, tapi jelas penuh kasih. Talitha melirik Mami Tere dengan senyum puas di wajahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa hubungannya dengan opa lebih kuat daripada apa pun yang bisa dilakukan Mami Tere untuk merusaknya.Mami Tere mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kekesalannya, sementara Tuan Edward berdeham pelan, mencoba meredakan ketegangan.
Kami tiba di sebuah restoran klasik yang terletak di pusat kota Kediri. Restoran itu memiliki suasana yang elegan dengan meja-meja kayu berlapis kain putih bersih, lampu gantung bergaya vintage yang memberikan cahaya lembut, dan musik jazz yang mengalun pelan di latar belakang. Di luar, suara hiruk-pikuk jalanan kota terasa jauh, seolah ada batas antara dunia luar dan kenyamanan tempat ini.Talitha, Tuan Edward, Tuan Darius, dan aku duduk di meja besar di sudut ruangan. Hidangan lokal yang lezat, seperti nasi goreng, sate, dan ayam bakar, memenuhi meja, aromanya menggoda selera. Tapi suasana di meja makan terasa agak tegang."Litha, kamu harus sering-sering ke sini kalau mau handle pabrik. Kalau nggak, mana bisa?" ujar Tuan Edward, matanya tajam menatap Talitha. Tangannya memegang secangkir kopi, dan suaranya tegas, seolah memberikan peringatan.Talitha menghela napas, meletakkan garpu dan pisau dengan perlahan di atas piring. "Daddy tahu kan, aku punya anak dan
Tanpa kusadari, Gavin bergerak lebih cepat, menghimpit tubuhku ke tembok di belakangku. Ruangan terasa semakin sempit, meski hanya ada kami berdua di koridor itu.“Mau ke mana buru-buru?” tanya Gavin dengan nada dingin, hampir seperti sebuah perintah. Tatapannya penuh intensitas, memaku tubuhku di tempat.Aku berusaha menenangkan diri, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ke kamar Prince, Tuan," jawabku, suaraku nyaris bergetar.Dia menatapku lebih dalam, mata liarnya yang menelusuri wajahku hingga rasanya seperti menyelami pikiranku. "Kenapa? Kamu takut sama saya?" bisiknya, nadanya rendah namun menggoda, seperti permainan yang hanya dia tahu aturannya.Jantungku berdegup kencang, terasa berat di dalam dada. Tapi bukan rasa takut yang menguasai pikiranku saat ini. Aku tidak merasa takut sama sekali. Justru sebaliknya—aku takut bahwa pesona Gavin sedang menyeretku dalam arah yang berbeda, bahwa sesuatu di dalam diriku perlahan-lahan mulai goyah. Keringat yang menetes dari tubuhnya,
Aku menundukkan kepala sedikit, merasa pipiku mulai memanas. “Eh… maaf kalau saya melantur…” kataku, suaraku bergetar sedikit karena gugup. Aku mencoba tersenyum, tetapi suasana di ruangan terasa semakin intens.Devan, Talitha, dan Gavin saling bertatapan tanpa berkata apa-apa. Tatapan mereka seolah menyampaikan sesuatu yang tak kumengerti, seakan ada bahasa rahasia di antara mereka yang tidak pernah kuketahui.Talitha adalah yang pertama memecah keheningan. "Melantur?" gumamnya pelan, sedikit tertawa dengan nada menggoda. "Justru kamu punya poin bagus, Ratih."Devan tersenyum tipis, matanya masih fokus padaku. "Kamu boleh juga, ya. Nggak semua orang mikir sampai ke situ," katanya, suaranya tenang tapi penuh arti.Aku merasa semakin tak nyaman dengan tatapan mereka yang intens. "Saya cuma... nggak sengaja kepikiran," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian, tetapi Gavin yang duduk di seberang mencondongkan tubuhnya sedikit ke dep
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah