Aku menundukkan kepala sedikit, merasa pipiku mulai memanas. “Eh… maaf kalau saya melantur…” kataku, suaraku bergetar sedikit karena gugup. Aku mencoba tersenyum, tetapi suasana di ruangan terasa semakin intens.Devan, Talitha, dan Gavin saling bertatapan tanpa berkata apa-apa. Tatapan mereka seolah menyampaikan sesuatu yang tak kumengerti, seakan ada bahasa rahasia di antara mereka yang tidak pernah kuketahui.Talitha adalah yang pertama memecah keheningan. "Melantur?" gumamnya pelan, sedikit tertawa dengan nada menggoda. "Justru kamu punya poin bagus, Ratih."Devan tersenyum tipis, matanya masih fokus padaku. "Kamu boleh juga, ya. Nggak semua orang mikir sampai ke situ," katanya, suaranya tenang tapi penuh arti.Aku merasa semakin tak nyaman dengan tatapan mereka yang intens. "Saya cuma... nggak sengaja kepikiran," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian, tetapi Gavin yang duduk di seberang mencondongkan tubuhnya sedikit ke dep
Aku sejenak terdiam, tubuhku tegang, namun entah bagaimana, aku membalas ciumannya, membiarkan diriku terhanyut dalam momen tersebut.Bibir kami bersatu dengan intensitas yang membuatku lupa akan semua hal yang terjadi di sekeliling. Waktu seolah berhenti, dan yang ada hanya kami berdua. Tangan Gavin, yang tadinya di pinggangku, kini mulai bergerak naik, jemarinya menyentuh kulitku dengan lembut namun tegas, memancing reaksi yang tak bisa kutahan. Suara gemericik napas kami berbaur dengan keheningan malam yang semakin mendalam.Saat kejadian itu berlangsung begitu cepat, tiba-tiba semuanya berubah menjadi kabur di kepalaku. Gavin, dengan gerakan yang begitu terampil dan tanpa ragu, telah melepaskan dalamanku. Aku terkejut, tetapi tubuhku seakan menyerah pada momen tersebut. Nafasku semakin berat, dan detak jantungku terasa memukul dinding-dinding dada dengan keras. Sensasi yang datang begitu mendadak, begitu intens, membuat pikiranku sulit fokus pada apapun selain apa
Pagi itu, setelah membersihkan tubuhku dari sisa-sisa malam yang terasa begitu intens, aku membuat dua gelas air jahe hangat—satu untuk diriku dan satu lagi untuk Talitha. Rasanya menenangkan, sedikit memberikan kelegaan pada tubuh yang masih lelah dan pikiran yang terus berputar. Suara ketel yang mendidih dan aroma jahe segar memenuhi udara, menenangkan perasaanku sejenak.Aku berjalan menuju kamar Talitha dengan hati-hati, mengetuk pintu dengan lembut. Pintu terbuka, dan Devan keluar lebih dulu, sudah rapi dan siap untuk bekerja. Senyum kecil muncul di wajahnya saat melihatku dengan gelas-gelas air jahe."Masuk aja, Ratih. Kayaknya Talitha masih tepar. Bagus juga itu, air jahenya. Terima kasih ya," ucap Devan, sambil mengusap lembut tanganku dengan kehangatan yang membuatku sedikit tertegun.Aku hanya mengangguk, sedikit gugup, lalu masuk ke kamar dengan hati-hati. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari jendela yang tertutup tirai. Aku menghampiri Talitha yang ma
Untuk sejenak, aku terdiam, membiarkan kata-kata yang barusan Widodo lontarkan menggantung di udara. Suasana terasa canggung dan penuh keraguan. Aku mencoba tersenyum kecil, berharap bisa mengurangi ketegangan di antara kami."Aku baik-baik saja, Mas. Mas nggak perlu khawatir. Pekerjaanku di sini bukan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti Mas," kataku, mencoba terdengar meyakinkan.Widodo mengangguk pelan, meski aku bisa melihat jelas bahwa pikirannya masih bergelayut di tempat lain. Matanya menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam, lebih berat. Entah dia sedang memikirkan diriku, kehidupanku, atau mungkin beban hidupnya sendiri. Hanya dia yang tahu apa yang benar-benar sedang berkecamuk dalam pikirannya.Kami kembali terdiam, hanya ditemani suara angin sore yang berhembus pelan, diselingi suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan depan rumah. Aku menatap ke langit yang mulai berwarna oranye tua, menandakan hari sudah hampir usai.Adzan maghrib berkumanda
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi setelah semua keributan tadi di kantor pabrik. Aku duduk di depan, di samping sopir, memandangi jalan yang panjang di depan kami, sementara di kursi tengah, Talitha duduk menemani Tuan Darius bersama suster yang menjaga kakeknya. Talitha tampak terus mengawasi kakeknya dengan khawatir, seolah takut kehilangan sosok yang sangat berarti baginya."Jaga kesehatan, Opa. Jangan suka emosi," Talitha berbicara lembut, berusaha menenangkan. Namun, aku bisa merasakan ketegangan di dalam suaranya.Tuan Darius hanya menghela napas panjang dari balik masker oksigen yang menutupi wajahnya. "Jangan emosi gimana? Lihat kamu dan orang-orang itu ribut terus, kerjaannya berantem melulu," jawabnya dengan suara berat, tapi penuh kekhawatiran.Talitha mengusap lembut tangan kakeknya, mencoba menenangkan. "Opa, aku nggak mau ribut. Tapi Mami Tere selalu mulai duluan. Aku cuma bertahan, Opa." Suaranya bergetar sedikit, seolah ada ketegangan yang lebih dalam dari yang tamp
Pernyataan Gavin terus berputar di kepalaku ketika aku duduk di dalam taksi, menuju kantor baru di SCBD. Hubungan rumit yang kualami ini, antara Talitha, Devan, dan sekarang Gavin, membuat pikiranku bercampur aduk. Cinta, hasrat, dan kebingungan semuanya bercampur menjadi satu, membuatku sulit untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku.Setibanya di kantor baru, aku langsung tenggelam dalam pekerjaanku. Ruangan masih setengah jadi, dengan dinding yang belum sepenuhnya dicat dan furnitur yang masih dibungkus plastik. Beberapa pekerja kontraktor sibuk memasang lampu dan menyelesaikan interior. Aku mengawasi pekerjaan mereka, memastikan setiap detail berjalan sesuai dengan rencana. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, namun sejauh ini semuanya tampak berjalan lancar.Sekitar jam 5 sore, jumlah pekerja mulai berkurang. Mereka bergegas menyelesaikan tugas mereka untuk pulang, meninggalkan ruangan yang hampir selesai. Tiba-tiba, suara langkah yang familiar terdengar. Aku
Hari itu adalah perayaan ulang tahun ketiga anak bungsu Tuan Devan dan Nyonya Talitha. Rumah besar mereka penuh dengan dekorasi berwarna-warni—balon-balon menggantung di setiap sudut, pita-pita berkilauan, dan suara tawa anak-anak yang memenuhi ruangan. Di tengah-tengah keceriaan itu, aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan berisi gelas-gelas minuman."Nyonya, saya sudah siapkan kue ulang tahunnya di meja," kataku kepada Nyonya Talitha, yang tampak sibuk mengatur segala sesuatunya."Terima kasih, Ratih. Pastikan semua tamu mendapatkan minuman, ya," jawabnya singkat sebelum beralih ke tamu lainnya.Aku mengangguk dan mulai berkeliling ruangan, menawarkan minuman kepada para tamu. Di tengah keramaian, mataku terus mencari-cari sosok Tuan Devan. Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadanya, sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa ditunda lagi.Akhirnya, aku melihatnya berdiri dekat taman belakang, tertawa bersama beberapa temannya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpu
Setelah acara akan berakhir dan para undangan mulai pulang, Talitha memperkenalkanku pada Devan."Pap, ini loh istrinya Pak Widodo. Dia mau kerja di sini, aku kira Ratih orangnya bersih jadi ya aku terima saja," kata Talitha sambil tersenyum."Pak Widodo yang sopir truk di kantorku itu? Oooh boleh saja," jawab Devan sambil mengangguk setuju."Terima kasih, Tuan," kataku sambil menunduk. Aku merasa sedikit lega mendengar persetujuan dari Devan."Ratih, pastikan kamu merasa nyaman bekerja di sini. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk berbicara dengan kami" tambah Talitha."Baik, Nyonya. Terima kasih," jawabku dengan tulus.Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku dengan semangat baru. Meskipun perasaan cemas masih ada, aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan membantu perekonomian keluargaku.Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga Devan dan Talitha. Mereka tampak seperti pasangan yang saling melengkapi, dengan chemistry yang kuat terlihat dalam ca