Setelah Talitha terlelap, aku perlahan bangkit dari tempat tidur, merapikan pakaian dan selimutnya. Dia tampak damai untuk pertama kalinya malam ini, meskipun aku tahu ketenangan itu hanya sementara, dibalut oleh efek obat dan alkohol.Aku menarik kursi di samping tempat tidur, duduk dengan perlahan, sembari mengusap lembut punggung tangannya. Talitha... aku bertanya-tanya dalam hati, jika semua kenyataan yang tersembunyi akhirnya terungkap, apakah dia masih bisa menerimanya? Atau, apakah dia akan semakin hancur?Untuk beberapa saat, pintu kamar terbuka perlahan. Devan masuk dengan langkah pelan, menghampiriku dari belakang, lalu mengusap lembut punggungku. Keheningan menyelimuti kami."Terima kasih, Ratih. Udah bantu nenangin Talitha," ucap Devan, suaranya terdengar rendah dan penuh rasa terima kasih. Dia setengah berbaring di ujung tempat tidur, mengamati Talitha yang kini tertidur tenang.Aku hendak bangkit untuk pergi, merasa situasi ini semakin rumit dan berat.“Mau ke mana? Teme
Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan gelisah yang masih melekat, meskipun aku berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ada rasa berat yang menekan di dalam diriku, rasa yang tak bisa kuabaikan. Tubuhku masih terasa lemah, dan pikiran-pikiran yang mengganggu terus mengintai setiap langkahku.Di ruang makan, Talitha dan Devan sudah duduk bersama sarapan. Mereka tampak lebih rileks, mungkin karena semangat yang dibawa oleh persiapan ulang tahun Prince. Talitha sesekali tersenyum tipis, meski aku bisa merasakan sisa-sisa kelelahan di wajahnya."Ratih, nanti siang ke kantor ya," ucap Talitha sambil menyeruput teh hangatnya. "Ada barang masuk lagi, tolong diterima dulu. Aku dan Devan harus ke warehouse di Cikarang."Aku mengangguk, berusaha tampak normal meski di dalam, perutku terus bergolak. "Baik, Nyonya."Siang itu, sebelum berangkat ke kantor, aku mampir di sebuah apotek kecil. Langkah kakiku terasa berat saat aku mendekati konter. Aku ragu, bertanya pada diriku sendiri apakah aku
Aku membuka ponselku dengan tangan yang masih sedikit gemetar, berusaha menyingkirkan kekacauan di pikiranku. Layar ponsel terang menyilaukan, tapi aku segera fokus untuk melakukan hal yang sederhana—memesan taksi online. Jari-jariku bergerak cepat di atas layar, mengetik alamat rumah. Rasanya, kepulanganku kali ini seperti perjalanan menuju ketidakpastian yang semakin mendekat.Selesai memesan, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, tepat di samping tiga test pack yang baru saja mengubah hidupku. Setiap kali aku merasakan benda-benda itu di dalam tas, rasanya seperti ada beban yang menempel di pundakku—sebuah rahasia besar yang aku tahu tidak akan bisa kusembunyikan lama.Saat menunggu taksi, aku kembali melirik ruangan kantor yang perlahan mulai terasa semakin asing. Ruangan yang dulu penuh dengan rencana, pekerjaan, dan ambisi kini terasa seperti tempat di mana semua keputusan burukku berputar. Devan dan Talitha, dua orang yang selama ini memberiku tempat di kehidupan mereka, kini ber
Sore itu, aku menyelesaikan urusan dengan Evelyn di halaman belakang rumah. Setelah berbincang panjang soal tema dekorasi ulang tahun Prince, suasana perlahan mengalir lebih tenang. Evelyn, dengan energi positifnya, mengajukan banyak ide, mulai dari konsep warna-warni cerah hingga aktivitas yang bisa membuat Prince dan teman-temannya senang. Dia tampak penuh semangat, tapi aku, meski mencoba mendengarkan dengan seksama, tidak sepenuhnya bisa fokus."Bagaimana menurut Mbak Ratih? Apakah tema superhero cocok untuk Prince?" Evelyn menatapku penuh harap, menunggu persetujuanku.Aku mengangguk pelan, menyesuaikan ekspresi wajahku agar tampak setuju. “Iya, tema itu bagus... Prince pasti suka. Dia suka sekali dengan mainan robotnya. Mungkin bisa kita buat dekorasi seperti itu?”Evelyn tersenyum lebar, mencatat dengan cepat dalam buku kecilnya. “Luar biasa! Saya rasa ini akan jadi acara yang sangat menyenangkan buat Prince.”Pembicaraan kami terus berlanjut dengan beberapa detil tambahan tenta
//Silahkan baca dulu bab 1 ya…..Malam itu, aku di kamarku, pikiranku kembali kalut. Rasanya, sejak pengungkapan kehamilanku kepada Devan, semuanya menjadi lebih rumit. Keputusan yang harus kuambil begitu berat, belum lagi perasaan bersalah pada Talitha yang terus menghantui. Aku tak tahu harus berbuat apa, seolah jalan di depanku penuh dengan duri dan batu tajam.Tiba-tiba, ponselku bergetar di meja samping tempat tidur. Jantungku hampir berhenti ketika kulihat nama yang tertera di layar: Devan. Pesan singkat itu hanya bertuliskan, "Lantai 3."Aku menatap layar ponsel itu lama, tak tahu harus bagaimana. Apa yang akan dikatakan Devan? Apa yang akan dia lakukan? Pikiranku berlarian, mencoba mencari jawaban, tapi tak ada yang pasti. Rasa takut dan penasaran berkecamuk dalam hatiku.Perlahan, aku bangkit dari tempat tidur. Kakiku terasa berat, seperti enggan membawa tubuhku untuk menemui Devan. Namun, aku tahu aku harus melakukannya. Langkahku terasa pelan, seolah aku sedang mengulur wak
"Maksudnya?" Devan hanya tersenyum lebih lebar, mengusap pipiku dengan lembut. "Kamu mau jadi adik iparku, kan?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi matanya penuh arti.Aku menatapnya dengan campuran kebingungan dan ketidakpastian. "Bagaimana mungkin? Aku hanya pembantu, Devan... dan Widodo?" suaraku bergetar saat menyebut nama suamiku.Devan menatapku serius kali ini, suaranya rendah namun penuh ketegasan. "Widodo... aku tahu dia baik, tapi kamu sudah lama terjebak dalam pernikahan yang dingin. Kamu berhak untuk bahagia, Ratih. Jangan lihat dirimu hanya sebagai pembantu. Kamu lebih dari itu. Kamu bagian dari kami sekarang."Aku merasakan beban perasaan itu semakin berat. "Tapi bagaimana dengan Gavin? Bagaimana jika dia tahu? Apa yang akan terjadi?""Ratih," Devan menatapku dalam-dalam, suaranya tetap tenang meskipun topik ini berat. "Aku ini kakaknya Gavin, aku tahu bagaimana dia. Gavin bukan tipe pria yang mendekati seorang wanita kalau dia tidak serius... dan aku melihat usahanya
Setelah malam itu bersama Talitha, segalanya perlahan berubah. Aku tidak lagi diperbolehkan melakukan pekerjaan berat di rumahnya. Talitha begitu perhatian, memastikan aku hanya mengerjakan hal-hal ringan, seperti mengurus administrasi rumah tangga atau menemani Prince. Waktu terasa berlalu begitu cepat dengan hari-hari yang kuhabiskan bersama Prince dan Sus Farah. Kedekatanku dengan Prince semakin kuat, dan perasaan aneh tapi hangat setiap kali melihat senyum kecilnya semakin membuatku yakin akan masa depanku sebagai seorang ibu.Namun, di balik semua ini, ada satu hal yang terus mengganjal dalam pikiranku: Widodo. Suamiku. Aku tahu, aku harus memberitahunya. Tentang kehamilanku, tentang bagaimana hidupku sekarang, dan yang terpenting, bahwa hubungan kami tak bisa lagi seperti dulu.Aku sudah lama memikirkan cara untuk memberitahunya, tapi setiap kali mencoba menyusun kata-kata, bibirku terasa kelu. Hingga suatu sore, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan padanya."Mas, kalau se
Setelah Widodo pergi aku masih duduk termenung di kursi teras depan rumah Devan. Kursi rotan yang biasanya nyaman kini terasa dingin dan kosong di bawah tubuhku. Pandanganku menatap lurus ke depan, tapi pikiranku jauh melayang. Udara sore yang mulai mendingin tak mampu membangunkanku dari lamunan yang membelenggu hati.Aku tidak tahu sudah berapa lama aku duduk di sana, membiarkan perasaan kehilangan dan kebingungan menguasai diriku. Hanya suara angin pelan yang menyapu halaman, sementara cahaya matahari senja mulai memudar, meninggalkan bayang-bayang panjang di sekitar rumah. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia—masa lalu yang sudah tidak bisa kuubah, dan masa depan yang terasa begitu asing dan menakutkan.Tiba-tiba, suara langkah mendekat memecah keheningan di sekitarku. Aku mengangkat kepala perlahan dan melihat Talitha berjalan ke arahku. Dia baru saja pulang dari kegiatannya, wajahnya tampak sedikit lelah namun tetap menyimpan senyuman.“Ratih…” Talitha memanggilku den
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah