Share

Terhanyut

Penulis: kodav
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-17 12:38:55

Aku sejenak terdiam, tubuhku tegang, namun entah bagaimana, aku membalas ciumannya, membiarkan diriku terhanyut dalam momen tersebut.

Bibir kami bersatu dengan intensitas yang membuatku lupa akan semua hal yang terjadi di sekeliling. Waktu seolah berhenti, dan yang ada hanya kami berdua. Tangan Gavin, yang tadinya di pinggangku, kini mulai bergerak naik, jemarinya menyentuh kulitku dengan lembut namun tegas, memancing reaksi yang tak bisa kutahan. Suara gemericik napas kami berbaur dengan keheningan malam yang semakin mendalam.

Saat kejadian itu berlangsung begitu cepat, tiba-tiba semuanya berubah menjadi kabur di kepalaku. Gavin, dengan gerakan yang begitu terampil dan tanpa ragu, telah melepaskan dalamanku. Aku terkejut, tetapi tubuhku seakan menyerah pada momen tersebut. Nafasku semakin berat, dan detak jantungku terasa memukul dinding-dinding dada dengan keras. Sensasi yang datang begitu mendadak, begitu intens, membuat pikiranku sulit fokus pada apapun selain apa

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tuan, Aku Hamil!   Kunjungan Mendadak

    Pagi itu, setelah membersihkan tubuhku dari sisa-sisa malam yang terasa begitu intens, aku membuat dua gelas air jahe hangat—satu untuk diriku dan satu lagi untuk Talitha. Rasanya menenangkan, sedikit memberikan kelegaan pada tubuh yang masih lelah dan pikiran yang terus berputar. Suara ketel yang mendidih dan aroma jahe segar memenuhi udara, menenangkan perasaanku sejenak.Aku berjalan menuju kamar Talitha dengan hati-hati, mengetuk pintu dengan lembut. Pintu terbuka, dan Devan keluar lebih dulu, sudah rapi dan siap untuk bekerja. Senyum kecil muncul di wajahnya saat melihatku dengan gelas-gelas air jahe."Masuk aja, Ratih. Kayaknya Talitha masih tepar. Bagus juga itu, air jahenya. Terima kasih ya," ucap Devan, sambil mengusap lembut tanganku dengan kehangatan yang membuatku sedikit tertegun.Aku hanya mengangguk, sedikit gugup, lalu masuk ke kamar dengan hati-hati. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari jendela yang tertutup tirai. Aku menghampiri Talitha yang ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • Tuan, Aku Hamil!   Talitha VS Tere

    Untuk sejenak, aku terdiam, membiarkan kata-kata yang barusan Widodo lontarkan menggantung di udara. Suasana terasa canggung dan penuh keraguan. Aku mencoba tersenyum kecil, berharap bisa mengurangi ketegangan di antara kami."Aku baik-baik saja, Mas. Mas nggak perlu khawatir. Pekerjaanku di sini bukan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti Mas," kataku, mencoba terdengar meyakinkan.Widodo mengangguk pelan, meski aku bisa melihat jelas bahwa pikirannya masih bergelayut di tempat lain. Matanya menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam, lebih berat. Entah dia sedang memikirkan diriku, kehidupanku, atau mungkin beban hidupnya sendiri. Hanya dia yang tahu apa yang benar-benar sedang berkecamuk dalam pikirannya.Kami kembali terdiam, hanya ditemani suara angin sore yang berhembus pelan, diselingi suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan depan rumah. Aku menatap ke langit yang mulai berwarna oranye tua, menandakan hari sudah hampir usai.Adzan maghrib berkumanda

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • Tuan, Aku Hamil!   Tunggu Aku?

    Di dalam mobil, suasana terasa sunyi setelah semua keributan tadi di kantor pabrik. Aku duduk di depan, di samping sopir, memandangi jalan yang panjang di depan kami, sementara di kursi tengah, Talitha duduk menemani Tuan Darius bersama suster yang menjaga kakeknya. Talitha tampak terus mengawasi kakeknya dengan khawatir, seolah takut kehilangan sosok yang sangat berarti baginya."Jaga kesehatan, Opa. Jangan suka emosi," Talitha berbicara lembut, berusaha menenangkan. Namun, aku bisa merasakan ketegangan di dalam suaranya.Tuan Darius hanya menghela napas panjang dari balik masker oksigen yang menutupi wajahnya. "Jangan emosi gimana? Lihat kamu dan orang-orang itu ribut terus, kerjaannya berantem melulu," jawabnya dengan suara berat, tapi penuh kekhawatiran.Talitha mengusap lembut tangan kakeknya, mencoba menenangkan. "Opa, aku nggak mau ribut. Tapi Mami Tere selalu mulai duluan. Aku cuma bertahan, Opa." Suaranya bergetar sedikit, seolah ada ketegangan yang lebih dalam dari yang tamp

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Tuan, Aku Hamil!   Kantor Baru

    Pernyataan Gavin terus berputar di kepalaku ketika aku duduk di dalam taksi, menuju kantor baru di SCBD. Hubungan rumit yang kualami ini, antara Talitha, Devan, dan sekarang Gavin, membuat pikiranku bercampur aduk. Cinta, hasrat, dan kebingungan semuanya bercampur menjadi satu, membuatku sulit untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku.Setibanya di kantor baru, aku langsung tenggelam dalam pekerjaanku. Ruangan masih setengah jadi, dengan dinding yang belum sepenuhnya dicat dan furnitur yang masih dibungkus plastik. Beberapa pekerja kontraktor sibuk memasang lampu dan menyelesaikan interior. Aku mengawasi pekerjaan mereka, memastikan setiap detail berjalan sesuai dengan rencana. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, namun sejauh ini semuanya tampak berjalan lancar.Sekitar jam 5 sore, jumlah pekerja mulai berkurang. Mereka bergegas menyelesaikan tugas mereka untuk pulang, meninggalkan ruangan yang hampir selesai. Tiba-tiba, suara langkah yang familiar terdengar. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Tuan, Aku Hamil!   Talitha Depresi

    Nafasku masih tersengal-sengal, dada terasa berat saat Devan menatapku dengan sorot mata yang tajam, melihat kegugupanku yang jelas terlihat. Tanpa berkata-kata, dia meraih ponselku dari meja dengan gerakan santai, seolah-olah tidak ada yang aneh atau mencurigakan terjadi di sini. Dengan tenang, dia berdiri, merapikan sedikit pakaiannya yang kusut, lalu mengangkat telepon.“Ya, babe?” suaranya terdengar begitu biasa, membuat ketegangan di udara semakin mencekam.Di ujung telepon, terdengar suara Talitha, suaranya ringan tapi penuh kasih. “Loh, Ratih mana, Pap?” tanya Talitha dengan nada penasaran.Devan, masih tenang, menjawab dengan cepat, tanpa sedikitpun keraguan. “Lagi ke bawah, nerima barang di loading dock. Ini hpnya ketinggalan.” Dia melirik ke arahku sebentar sebelum kembali menatap jauh, suaranya tetap stabil.Sementara itu, aku dengan tergesa-gesa merapikan pakaianku, jantungku berdegup kencang seiring dengan upayaku menyembunyikan rasa panik yang melanda. Keringat dingin mu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-20
  • Tuan, Aku Hamil!   Antidepresan Talitha

    Aku berdiri dari tempatku dan mendekati Talitha yang terlihat semakin tidak tenang. “Nyonya, itu obat apa?” tanyaku pelan, mencoba menawarkan ketenangan meski hatiku sendiri ikut terhimpit oleh suasana.Talitha tidak langsung menjawab. Dia berjalan ke minibar dan menuangkan segelas Hanesy XO, mencampurkan pil yang baru saja dia telan dengan alkohol, seolah menganggapnya sebagai pelarian terakhir dari stres yang terus memburunya. Setelah itu, dia meletakkan botol obat di atas minibar dengan tangan gemetaran, sebelum berjalan perlahan menuju kamarnya. Langkahnya berat, seolah membawa beban yang jauh lebih besar dari yang bisa dilihat.Aku melirik ke arah Devan yang kini berdiri di samping minibar. Dia mengambil botol obat itu dan membaca labelnya dengan alis berkerut. “Xanax,” gumamnya dengan nada yang lebih serius. Matanya menatap botol itu, seolah mencoba mencerna kenyataan bahwa istrinya sudah sampai pada titik ini.“Ratih, tolong temani Talitha dulu. Aku nggak tahu harus gimana... A

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-20
  • Tuan, Aku Hamil!   Mual

    Setelah Talitha terlelap, aku perlahan bangkit dari tempat tidur, merapikan pakaian dan selimutnya. Dia tampak damai untuk pertama kalinya malam ini, meskipun aku tahu ketenangan itu hanya sementara, dibalut oleh efek obat dan alkohol.Aku menarik kursi di samping tempat tidur, duduk dengan perlahan, sembari mengusap lembut punggung tangannya. Talitha... aku bertanya-tanya dalam hati, jika semua kenyataan yang tersembunyi akhirnya terungkap, apakah dia masih bisa menerimanya? Atau, apakah dia akan semakin hancur?Untuk beberapa saat, pintu kamar terbuka perlahan. Devan masuk dengan langkah pelan, menghampiriku dari belakang, lalu mengusap lembut punggungku. Keheningan menyelimuti kami."Terima kasih, Ratih. Udah bantu nenangin Talitha," ucap Devan, suaranya terdengar rendah dan penuh rasa terima kasih. Dia setengah berbaring di ujung tempat tidur, mengamati Talitha yang kini tertidur tenang.Aku hendak bangkit untuk pergi, merasa situasi ini semakin rumit dan berat.“Mau ke mana? Teme

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21
  • Tuan, Aku Hamil!   Dua Garis

    Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan gelisah yang masih melekat, meskipun aku berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ada rasa berat yang menekan di dalam diriku, rasa yang tak bisa kuabaikan. Tubuhku masih terasa lemah, dan pikiran-pikiran yang mengganggu terus mengintai setiap langkahku.Di ruang makan, Talitha dan Devan sudah duduk bersama sarapan. Mereka tampak lebih rileks, mungkin karena semangat yang dibawa oleh persiapan ulang tahun Prince. Talitha sesekali tersenyum tipis, meski aku bisa merasakan sisa-sisa kelelahan di wajahnya."Ratih, nanti siang ke kantor ya," ucap Talitha sambil menyeruput teh hangatnya. "Ada barang masuk lagi, tolong diterima dulu. Aku dan Devan harus ke warehouse di Cikarang."Aku mengangguk, berusaha tampak normal meski di dalam, perutku terus bergolak. "Baik, Nyonya."Siang itu, sebelum berangkat ke kantor, aku mampir di sebuah apotek kecil. Langkah kakiku terasa berat saat aku mendekati konter. Aku ragu, bertanya pada diriku sendiri apakah aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21

Bab terbaru

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 6 - EPILOG

    ///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 5

    Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 4

    Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 3

    ///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 2

    ///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 1

    Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je

  • Tuan, Aku Hamil!   Pengungkapan - End

    Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan

  • Tuan, Aku Hamil!   Kontraksi

    Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters

  • Tuan, Aku Hamil!   USG Lagi

    Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah

DMCA.com Protection Status