Talitha segera menghampiri Tuan Darius dan memeluknya erat, wajahnya berubah menjadi lebih ceria seketika.
“Opa, aku kangen sekali!” serunya, seakan mengabaikan kehadiran Mami Tere. Mami Tere hanya mendengus pelan, matanya berkilat penuh kecemburuan dan kekesalan melihat kedekatan mereka.
Tuan Darius tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Talitha dengan lembut. "Aku juga, Litha… Aku juga," jawabnya dengan suara bergetar, tapi jelas penuh kasih. Talitha melirik Mami Tere dengan senyum puas di wajahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa hubungannya dengan opa lebih kuat daripada apa pun yang bisa dilakukan Mami Tere untuk merusaknya.
Mami Tere mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kekesalannya, sementara Tuan Edward berdeham pelan, mencoba meredakan ketegangan.
Kami tiba di sebuah restoran klasik yang terletak di pusat kota Kediri. Restoran itu memiliki suasana yang elegan dengan meja-meja kayu berlapis kain putih bersih, lampu gantung bergaya vintage yang memberikan cahaya lembut, dan musik jazz yang mengalun pelan di latar belakang. Di luar, suara hiruk-pikuk jalanan kota terasa jauh, seolah ada batas antara dunia luar dan kenyamanan tempat ini.Talitha, Tuan Edward, Tuan Darius, dan aku duduk di meja besar di sudut ruangan. Hidangan lokal yang lezat, seperti nasi goreng, sate, dan ayam bakar, memenuhi meja, aromanya menggoda selera. Tapi suasana di meja makan terasa agak tegang."Litha, kamu harus sering-sering ke sini kalau mau handle pabrik. Kalau nggak, mana bisa?" ujar Tuan Edward, matanya tajam menatap Talitha. Tangannya memegang secangkir kopi, dan suaranya tegas, seolah memberikan peringatan.Talitha menghela napas, meletakkan garpu dan pisau dengan perlahan di atas piring. "Daddy tahu kan, aku punya anak dan
Tanpa kusadari, Gavin bergerak lebih cepat, menghimpit tubuhku ke tembok di belakangku. Ruangan terasa semakin sempit, meski hanya ada kami berdua di koridor itu.“Mau ke mana buru-buru?” tanya Gavin dengan nada dingin, hampir seperti sebuah perintah. Tatapannya penuh intensitas, memaku tubuhku di tempat.Aku berusaha menenangkan diri, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ke kamar Prince, Tuan," jawabku, suaraku nyaris bergetar.Dia menatapku lebih dalam, mata liarnya yang menelusuri wajahku hingga rasanya seperti menyelami pikiranku. "Kenapa? Kamu takut sama saya?" bisiknya, nadanya rendah namun menggoda, seperti permainan yang hanya dia tahu aturannya.Jantungku berdegup kencang, terasa berat di dalam dada. Tapi bukan rasa takut yang menguasai pikiranku saat ini. Aku tidak merasa takut sama sekali. Justru sebaliknya—aku takut bahwa pesona Gavin sedang menyeretku dalam arah yang berbeda, bahwa sesuatu di dalam diriku perlahan-lahan mulai goyah. Keringat yang menetes dari tubuhnya,
Aku menundukkan kepala sedikit, merasa pipiku mulai memanas. “Eh… maaf kalau saya melantur…” kataku, suaraku bergetar sedikit karena gugup. Aku mencoba tersenyum, tetapi suasana di ruangan terasa semakin intens.Devan, Talitha, dan Gavin saling bertatapan tanpa berkata apa-apa. Tatapan mereka seolah menyampaikan sesuatu yang tak kumengerti, seakan ada bahasa rahasia di antara mereka yang tidak pernah kuketahui.Talitha adalah yang pertama memecah keheningan. "Melantur?" gumamnya pelan, sedikit tertawa dengan nada menggoda. "Justru kamu punya poin bagus, Ratih."Devan tersenyum tipis, matanya masih fokus padaku. "Kamu boleh juga, ya. Nggak semua orang mikir sampai ke situ," katanya, suaranya tenang tapi penuh arti.Aku merasa semakin tak nyaman dengan tatapan mereka yang intens. "Saya cuma... nggak sengaja kepikiran," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian, tetapi Gavin yang duduk di seberang mencondongkan tubuhnya sedikit ke dep
Aku sejenak terdiam, tubuhku tegang, namun entah bagaimana, aku membalas ciumannya, membiarkan diriku terhanyut dalam momen tersebut.Bibir kami bersatu dengan intensitas yang membuatku lupa akan semua hal yang terjadi di sekeliling. Waktu seolah berhenti, dan yang ada hanya kami berdua. Tangan Gavin, yang tadinya di pinggangku, kini mulai bergerak naik, jemarinya menyentuh kulitku dengan lembut namun tegas, memancing reaksi yang tak bisa kutahan. Suara gemericik napas kami berbaur dengan keheningan malam yang semakin mendalam.Saat kejadian itu berlangsung begitu cepat, tiba-tiba semuanya berubah menjadi kabur di kepalaku. Gavin, dengan gerakan yang begitu terampil dan tanpa ragu, telah melepaskan dalamanku. Aku terkejut, tetapi tubuhku seakan menyerah pada momen tersebut. Nafasku semakin berat, dan detak jantungku terasa memukul dinding-dinding dada dengan keras. Sensasi yang datang begitu mendadak, begitu intens, membuat pikiranku sulit fokus pada apapun selain apa
Pagi itu, setelah membersihkan tubuhku dari sisa-sisa malam yang terasa begitu intens, aku membuat dua gelas air jahe hangat—satu untuk diriku dan satu lagi untuk Talitha. Rasanya menenangkan, sedikit memberikan kelegaan pada tubuh yang masih lelah dan pikiran yang terus berputar. Suara ketel yang mendidih dan aroma jahe segar memenuhi udara, menenangkan perasaanku sejenak.Aku berjalan menuju kamar Talitha dengan hati-hati, mengetuk pintu dengan lembut. Pintu terbuka, dan Devan keluar lebih dulu, sudah rapi dan siap untuk bekerja. Senyum kecil muncul di wajahnya saat melihatku dengan gelas-gelas air jahe."Masuk aja, Ratih. Kayaknya Talitha masih tepar. Bagus juga itu, air jahenya. Terima kasih ya," ucap Devan, sambil mengusap lembut tanganku dengan kehangatan yang membuatku sedikit tertegun.Aku hanya mengangguk, sedikit gugup, lalu masuk ke kamar dengan hati-hati. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari jendela yang tertutup tirai. Aku menghampiri Talitha yang ma
Untuk sejenak, aku terdiam, membiarkan kata-kata yang barusan Widodo lontarkan menggantung di udara. Suasana terasa canggung dan penuh keraguan. Aku mencoba tersenyum kecil, berharap bisa mengurangi ketegangan di antara kami."Aku baik-baik saja, Mas. Mas nggak perlu khawatir. Pekerjaanku di sini bukan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti Mas," kataku, mencoba terdengar meyakinkan.Widodo mengangguk pelan, meski aku bisa melihat jelas bahwa pikirannya masih bergelayut di tempat lain. Matanya menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam, lebih berat. Entah dia sedang memikirkan diriku, kehidupanku, atau mungkin beban hidupnya sendiri. Hanya dia yang tahu apa yang benar-benar sedang berkecamuk dalam pikirannya.Kami kembali terdiam, hanya ditemani suara angin sore yang berhembus pelan, diselingi suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan depan rumah. Aku menatap ke langit yang mulai berwarna oranye tua, menandakan hari sudah hampir usai.Adzan maghrib berkumanda
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi setelah semua keributan tadi di kantor pabrik. Aku duduk di depan, di samping sopir, memandangi jalan yang panjang di depan kami, sementara di kursi tengah, Talitha duduk menemani Tuan Darius bersama suster yang menjaga kakeknya. Talitha tampak terus mengawasi kakeknya dengan khawatir, seolah takut kehilangan sosok yang sangat berarti baginya."Jaga kesehatan, Opa. Jangan suka emosi," Talitha berbicara lembut, berusaha menenangkan. Namun, aku bisa merasakan ketegangan di dalam suaranya.Tuan Darius hanya menghela napas panjang dari balik masker oksigen yang menutupi wajahnya. "Jangan emosi gimana? Lihat kamu dan orang-orang itu ribut terus, kerjaannya berantem melulu," jawabnya dengan suara berat, tapi penuh kekhawatiran.Talitha mengusap lembut tangan kakeknya, mencoba menenangkan. "Opa, aku nggak mau ribut. Tapi Mami Tere selalu mulai duluan. Aku cuma bertahan, Opa." Suaranya bergetar sedikit, seolah ada ketegangan yang lebih dalam dari yang tamp
Pernyataan Gavin terus berputar di kepalaku ketika aku duduk di dalam taksi, menuju kantor baru di SCBD. Hubungan rumit yang kualami ini, antara Talitha, Devan, dan sekarang Gavin, membuat pikiranku bercampur aduk. Cinta, hasrat, dan kebingungan semuanya bercampur menjadi satu, membuatku sulit untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku.Setibanya di kantor baru, aku langsung tenggelam dalam pekerjaanku. Ruangan masih setengah jadi, dengan dinding yang belum sepenuhnya dicat dan furnitur yang masih dibungkus plastik. Beberapa pekerja kontraktor sibuk memasang lampu dan menyelesaikan interior. Aku mengawasi pekerjaan mereka, memastikan setiap detail berjalan sesuai dengan rencana. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, namun sejauh ini semuanya tampak berjalan lancar.Sekitar jam 5 sore, jumlah pekerja mulai berkurang. Mereka bergegas menyelesaikan tugas mereka untuk pulang, meninggalkan ruangan yang hampir selesai. Tiba-tiba, suara langkah yang familiar terdengar. Aku
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah