Talitha tersenyum lebar ketika kami masuk ke mobil. "Ratih, hari ini kamu nggak boleh protes ya," katanya sambil menyalakan mesin mobil.
"Dan tolong… jangan panggil aku ‘Nyonya’ ketika kita berdua atau bertemu teman-temanku, ok honey?" lanjutnya, nada suaranya terdengar lebih manja dan lembut.
Aku mengerutkan kening, bingung dengan permintaannya. "Jadi panggilnya apa?" tanyaku, mencoba mengerti maksudnya, sambil merapikan dress yang kukenakan. Ada bagian tali yang tak kumengerti, serasa semakin kusut setiap kali aku mencoba memperbaikinya.
Talitha menoleh ke arahku sejenak, matanya tampak ceria dan sedikit menggoda. “Panggil saja namaku, Talitha,” katanya sambil tertawa kecil.
“Atau… kalau mau, kamu bisa panggil aku
“Rileks saja, Kak. Napas yang dalam, ya," katanya sambil tersenyum.Aku menarik napas panjang, merasa malu dan bingung dengan situasi ini, tapi Talitha tertawa pelan, suaranya penuh canda. "Santai, Ratih. Anggap saja ini pengalaman baru!"Aku mencoba ikut tertawa, meski keringat dingin mulai mengalir di dahiku. "Ya, pengalaman baru yang… tidak pernah kubayangkan," kataku, yang membuat Talitha semakin tertawa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, perawatan akhirnya selesai. Aku merasa aneh, setengah lega tapi juga masih bingung. Talitha menepuk tanganku dengan lembut."Gimana rasanya? Lebih nyaman kan?" tanyanya dengan senyum lebar sambil melirik sekilas ke arah bagian bawah tubuhku, membuatku merasa sedikit malu. Ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuat pipiku memerah.Aku mengangguk, meskipun masih agak kaku. “Ya… mungkin,” jawabku ragu-ragu, mencoba mencari-cari kata yang tepat un
Malam itu terasa semakin kabur, seperti kabut yang menyelimuti pikiran dan perasaan. Botol wine di meja kami seakan berlubang—aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali Talitha menuangkan minuman ke gelasnya, menikmati setiap tegukan dengan tawa yang semakin lepas. Ketika makan malam selesai, ia bahkan memesan botol kedua, bersama hidangan penutup yang manis. Ada sesuatu dalam cara Talitha meneguk wine, dalam tawanya yang riang dan tingkahnya yang centil, yang membuatku merasa ada sesuatu yang lebih dalam—seperti terselip kesedihan samar di balik senyumannya.Seperti ada kehilangan yang tak bisa dia ungkapkan, atau mungkin sesuatu yang berat di hatinya yang sedang ia coba lupakan. Aku tidak yakin apakah aku hanya berhalusinasi, tapi perasaan itu terus membayangi pikiranku sepanjang malam.Ketika aku merasa Talitha sudah terlalu banyak minum, aku mencoba menghentikannya. "Talitha, sudah ya," kataku sambil menahan gelasnya sebelum ia sempat meneguk lagi.Talitha tersenyum lembut, lalu
"Litha, kamu nakal sekali," bisikku dengan nada setengah bercanda, tapi aku bisa merasakan getaran di suaraku. Tubuhku mulai bereaksi, gairahku perlahan memuncak, dan aku tanpa sadar mengapitkan kakiku lebih erat, mencoba menahan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhku.Talitha tertawa kecil, matanya bersinar dengan kegirangan. Ia menatapku dengan intensitas yang hampir membuatku merasa seperti sedang dalam percobaan laboratorium; pandangannya begitu tajam dan penuh antusiasme, seperti sedang menunggu reaksiku. Aku merasa seperti sedang diamati dengan cermat, setiap gerakanku seolah menjadi pusat perhatiannya."Kita isi lagi, ya?" katanya dengan senyum yang semakin lebar. "Di sini masih ada cognac." Tangannya dengan cekatan meraih botol lain di atas minibar, menuangkannya dengan perlahan ke dalam gelasnya dan kemudian gelasku, matanya tetap terfokus padaku.Aku merasakan aroma cognac yang kuat bercampur dengan udara, dan rasa hangat di tubuhku semakin intens. “Litha… cukup… nanti kit
Perlahan, Talitha menuruni tubuhku, matanya tetap tertuju padaku, penuh dengan rasa ingin tahu dan antisipasi. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat ketika dia mendekati bagian bawah tubuhku, semakin tenggelam di antara kedua kakiku. Sensasi yang aneh tapi menggetarkan menjalar di tubuhku saat dia menelusuri setiap inci kulitku dengan sentuhan yang begitu lembut dan terukur, seakan dia tahu persis bagaimana membuatku merasa semakin terbuka.Saat sentuhannya semakin dekat, jantungku berdebar kencang, dan napasku semakin cepat. Ketika bibir dan jemarinya mencapai bagian yang paling intim, aku merasa seluruh tubuhku menegang, napasku tercekat, dan gelombang hangat segera menyapu seluruh tubuhku. Setiap sentuhan yang ia berikan membawa percikan kecil yang menyebar seperti api yang menyala pelan, semakin lama semakin membakar.Aku tak bisa menahan desahan kecil yang keluar dari bibirku, dan seiring dengan itu, aku merasa tenggelam dalam lautan sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumn
Biasanya aku terbangun di pagi hari sekitar jam 4, tapi kali ini mataku baru terbuka pada pukul 7. Kepalaku terasa pening, akibat cognag yang kami minum beberapa gelas lagi sebelum tidur. Aku mengangkat tubuhku dari ranjang dengan pelan, melihat Talitha masih terbaring di sampingku, wajahnya tenang dalam tidur.Aku mencoba bangkit, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, belum sepenuhnya rapi ketika aku melangkah keluar dari kamar. Tapi, tepat saat aku keluar dari kamar, seseorang masuk ke dalam apartemen. Sosoknya terlihat tinggi, mengenakan pakaian olahraga yang basah oleh keringat, sepertinya baru saja selesai jogging. Ketika dia melihatku, matanya membelalak sedikit, menunjukkan keterkejutan yang jelas."Siapa kamu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit keras, tetapi lebih karena bingung daripada marah.Aku terdiam sejenak, lidahku kelu. "Aku… akuuu…," gumamku, panik. Tidak tahu harus menjelaskan apa.Tanpa berpikir panjang, aku segera berbalik masuk ke kamar, mencoba menutupi tub
Aku melirik ke arah Gavin, melihat bagaimana matanya bergerak perlahan dari wajahku ke seluruh tubuh, lalu berhenti di bagian dadaku. Aku mengikuti pandangannya, dan seketika wajahku memerah. Resleting blusku terbuka sedikit, cukup untuk membuatku merasa malu. Dengan cepat, aku menarik resletingnya dan menutupinya rapat-rapat, merasa sedikit terganggu dengan caranya memperhatikanku.Gavin menghela napas dan merebahkan dirinya di kursi, seolah mencoba menenangkan diri dari sesuatu. "Tuan, ada yang salah?" tanyaku, mencoba mengalihkan suasana canggung yang muncul.Dia tidak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu sedikit. “Makan dulu,” katanya akhirnya, saat pelayan tiba membawa hidangan yang kami pesan.Kami makan dalam diam. Aku mencoba fokus pada makananku, tapi rasanya perutku sulit menerima apa pun d
Aku menggigit bibirku, merasakan desakan yang bergejolak dalam diriku."Aku… aku nggak tahu," jawabku pelan, hampir berbisik, sementara mataku tidak bisa berpaling dari tatapan intens Talitha.Talitha tertawa kecil, nada tawanya terdengar lembut tapi penuh gairah."Kamu boleh bilang iya, lho," desaknya, tangannya yang hangat menyentuh paha dalamku, jemarinya bergerak perlahan, menelusuri kulitku dengan sentuhan yang sangat lembut. Aku bisa merasakan hangatnya tangannya, sensasi yang familiar namun tetap membuatku bergetar."Kamu tahu," lanjutnya dengan nada suara yang lebih rendah dan sedikit serak, "Aku suka kamu kemarin malam… rasanya berbeda." Talitha semakin mendekat, bibirnya hampir menyentuh telingaku saat dia berbisik, "Dan aku ingin lebi
Hari-hari berikutnya, aku memulai rutinitas baru sebagai kepala rumah tangga, dan ternyata pekerjaan ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Aku pikir dengan tugas ini, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Namun, sebaliknya, ternyata mengurus keperluan rumah tangga keluarga ini seakan-akan seperti mengelola sebuah hotel. Dari membeli popok hingga mengurus uang bensin, membayar uang keamanan kompleks perumahan, sampai hal-hal kecil lainnya, semuanya ada dalam daftar tanggung jawabku. Hitung-hitungan ini sungguh membuatku pusing.Bahkan, pekerja lainnya juga tampaknya merasakan perubahan ini. Sus Wulan dan Mbak Tuti seperti biasa, sering berbicara di belakangku dengan nada berbisik, seolah-olah membicarakan sesuatu yang tidak ingin kudengar. Sementara itu, Mbok Yanti dan Sus Sari menjadi semakin dekat denganku, seolah-olah ada dua kubu yang terbentuk di antara kami. Aku malas mengurus hal-hal remeh sepe
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah