All Chapters of Tuan, Aku Hamil!: Chapter 11 - Chapter 20

52 Chapters

Gairah di Tengah Kepergian

"C'mon, Dad, you’re too old for that," ujar Talitha dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana."Papa cuma nanya, masa nggak boleh?" balas ayah Talitha dengan nada yang sama, meskipun sorot matanya tetap mengawasi dengan intens."Selamat pagi, Tuan," kataku sambil tersenyum kecil dan menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Suasana sedikit canggung, dan aku merasa pandangan ayah Talitha masih lekat di punggungku saat aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Biar Ratih kembali bekerja, Dad. Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat," kata Talitha sambil menggandeng lengan ayahnya, mencoba mengalihkannya dari percakapan yang tidak nyaman ini. Ayah Talitha mengangguk pelan dan membiarkan Talitha membawanya pergi.Saat kami tiba di pintu keberangkatan, Talitha berbalik menatapku. "Ratih, jaga rumah dan semuanya selama aku pergi, ya," ucapnya dengan suara penuh kepercayaan."Baik, Nyonya. Saya akan usahakan yang terbaik," jawabku dengan tulus.Talitha mengangguk, memb
Read more

Tuan Edward

"Tiga bulan? Saya kan baru seminggu kerja di sini?" tanyaku heran, berusaha mencerna maksud dari perkataan Devan. Devan hanya tersenyum tipis, seakan menyembunyikan sesuatu yang menarik, lalu aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian-kejadian yang mungkin berkaitan."Apa karena saya pernah antar makanan ke tempat kerja Mas Widodo?" tanyaku penasaran, mencoba mencari kaitan dari peristiwa tersebut.Sebelum Devan sempat menjawab lebih lanjut dan menghilangkan rasa penasaranku, Prince tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih setengah tertutup menatapku dengan tatapan polosnya."Mbak, mamam," katanya dengan suara yang manja, seolah-olah tidak sabar untuk mendapatkan perhatian. Aku tersenyum, tidak bisa menahan rasa gemasku, dan segera mengalihkan perhatianku kepada Prince, memastikan bahwa dia merasa nyaman dan diperhatikan."Good morning, big guy," kata Devan sambil menghampiri dan mencium Prince. Ia menggelitik perut kecil Prince, membuat Prince tertawa cekikikan.Tidak be
Read more

Tekanan Sus Wulan

Aku mencoba menenangkan diri dan menatap Tuan Edward dengan penuh perhatian."Mohon maaf, Tuan. Apakah ada sesuatu yang seharusnya saya ketahui?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri.Tuan Edward hanya menatapku dengan muka datarnya, lalu menghela napas, membuatku semakin penasaran. Sebelum Tuan Edward sempat menjawab, terdengar suara dari samping rumah."Princeee...." Suara itu milik Sus Wulan yang telah kembali dari izin sakitnya. Suaranya membawa perasaan lega sekaligus cemas.Namun, Prince hanya menoleh sebentar dan melanjutkan bermainnya. Sus Wulan dengan antusias mendekati Prince, menggendongnya dan memeluknya, tetapi Prince tampak tidak terlalu nyaman dengan perlakuan itu. Ia meronta halus dari pelukan Sus Wulan, dan aku bisa melihat sedikit kebingungan di mata Prince."Ratih, kemarin Sus harus ijin sakit. Maafin Sus ya harus merepotkan Ratih jadi Ratih harus menjaga Prince," kata Sus Wulan dengan nada menyesal."Engga mas
Read more

Celoteh Sus Sari

Sus Wulan mendekat, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, sementara matanya yang tajam menatapku dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.Ingat, Ratih," ujarnya dengan suara yang tenang namun sarat ancaman. "Di sini saya yang bertanggung jawab atas Prince. Jangan coba-coba mengambil posisi saya," katanya, menambahkan penekanan pada setiap kata, membuat bulu kudukku meremang."Mengerti, Sus," jawabku pelan, meski dalam hati aku merasa semakin tertekan.Ketegangan masih terasa di udara saat Sus Wulan berbalik dan meninggalkan ruangan, tapi aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku terheran-heran atas perlakuan Sus Wulan, kenapa tiba-tiba jadi rumit?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tatapanku jatuh pada Prince yang masih nyaman dalam pelukanku. Hari sudah siang, sudah waktunya tidur siang Prince. Aku harus memusatkan perhatian pada Prince, meski pikiran tentang Sus Wulan terus mengganggu pikiranku."Prince, ayo kita ke kamar un
Read more

Kedipan Maut

"Sus Wulan, ada apa sih? Apakah kamu lagi PMS? Jangan marah-marah terus, itu tidak baik untuk kesehatanmu," kata Sus Sari dengan nada yang mencoba menenangkan, namun terdengar sedikit sarkastis.Sus Wulan berhenti sejenak, mengarahkan tatapan tajamnya ke arahku sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Pandangannya yang dingin masih terkunci padaku, membuatku merasa seolah-olah aku berada di bawah mikroskop.Aku pun menatap Sus Sari dengan cepat. Sus Sari hanya menaikkan bahunya sambil cekikikan pelan, seakan mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Enggak jelas," bibirku bergerak tapi tak ada suara yang keluar.Sus Sari mendekat sambil menahan tawa, matanya berkilat-kilat dengan kejenakaan yang mencoba mengurangi ketegangan."Sudah, biarin saja," ujarnya sambil tersenyum lembut, mencoba menenangkan suasana hati yang masih keruh. Aku mengangguk pelan, meski pikiran-pikiranku masih berputar-putar, mencari makna di balik ke
Read more

Susu Tumpah

Suasana di ruang makan terasa sedikit tegang, namun ada kehangatan yang tidak bisa diabaikan. Aku menyerahkan mangkuk makanan kepada Sus Wulan yang menyambutnya dengan anggukan singkat, lalu segera beralih untuk melanjutkan tugasnya."Terima kasih, Ratih," ucap Sus Wulan dengan nada datar, namun matanya memancarkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Aku hanya bisa tersenyum kecil sebelum melangkah menuju halaman tengah, mencari udara segar untuk menenangkan pikiranku yang kacau.Di luar, angin malam berhembus lembut, membawa aroma rumput basah dan bunga melati yang bermekaran. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam memasuki paru-paruku. Rasanya begitu menenangkan, mengusir sebagian dari kekhawatiran yang sempat menggantung di benakku."Ratih," suara lembut dan familiar memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Devan berdiri di ambang pintu, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan."Ya, Tuan?" balasku, mencoba menyem
Read more

Blindspot Rumah Devan

Aku menunggu dengan perasaan cemas saat Sus Wulan menyerahkan ponsel padaku. Tanganku sedikit gemetar saat menggenggam telepon itu, membayangkan segala kemungkinan percakapan yang akan terjadi."Halo, Nyonya," sapaku dengan suara yang berusaha stabil, meski hatiku berdegup kencang."Ratih, aku nemu baju yang lucu buat kamu," kata Talitha dengan nada ceria."Baju, Nyonya?" tanyaku dengan sedikit keheranan."Iya, kamu pasti suka," sahutnya dengan semangat, membuatku ingin tahu namun tetap fokus pada yang lebih penting."Nyonya, maaf tadi ada masalah kecil," kataku, mencoba menjaga nada suara agar tetap tenang."Masalah apa?" tanya Talitha, suaranya tetap ringan."Tadi saat saya mengganti seprai tempat tidur Prince, botol susu tidak sengaja tersenggol dan tumpah, Nyonya," jelasku, merasa tatapan Sus Wulan masih terarah padaku."Ah, ada Tuti kan? Sudah dibersihkan?" Talitha menanggapi dengan santai, tak terdengar khawatir."
Read more

Pertemuan Terlarang

Seketika, suasana berubah. Seolah disiram air dingin, aku tersentak kembali ke kenyataan. Devan mengendurkan pelukannya, namun tatapannya tetap tertuju padaku.Gelombang malu dan gugup bercampur aduk dalam diriku. Aku merapikan pakaian dengan cepat, berusaha menguasai kembali diri dari situasi yang berubah drastis. Devan tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana dengan pandangan lembutnya."Maafkan aku," ucapku pelan, menundukkan kepala sejenak sebelum bangkit dari pangkuannya, berusaha mengalihkan perhatian pada tugas yang menunggu. Devan menahan tanganku sejenak."Nanti malam ke sini lagi," ucapnya dengan nada yang menggoda, meninggalkan jejak janji yang menggantung di udara. Aku tertegun, terbelah antara rasa penasaran dan ketidakpastian yang menyertai undangannya.Suara langkah kaki yang menaiki tangga, dari ruang service mengingatkanku pada realitas yang tak bisa dihindari. Ketegangan menebal, mendorongku untuk segera bertindak."Tuan, turu
Read more

Kenikmatan Terlarang Devan

Devan menyentuh bibirku dengan lembut, seolah setiap ciumannya membawa pesan yang tak terucapkan. Aku pun membalas ciumannya, membiarkan perasaan yang selama ini tersimpan meledak dalam kehangatan yang membara. Saat ciuman kami semakin dalam, Devan menarikku lebih dekat, menghapus jarak di antara kami. Jemarinya menyusup di bawah kausku, menyentuh kulitku dengan sentuhan yang membangkitkan.Namun, meskipun keinginanku kuat, aku menahan tangannya dengan lembut dan melepaskan ciumannya perlahan."Tuan..." bisikku sambil menggeleng ringan, menenangkan hasrat yang berkecamuk dalam diriku."Kenapa? Masih takut?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan yang menenangkan."Banyak orang di bawah, tuan," bisikku, napasku masih memburu, berusaha mengendalikan gejolak dalam dada.Tanpa diduga, Devan berdiri dan mengangkat tubuhku, membawaku dalam gendongannya menuju ruangan di lantai tersebut. Aku terkejut, seketika melingkarkan lengan di lehernya dan mengun
Read more

Bayangan yang Mengintai

"Ratih…," bisiknya, suaranya penuh keintiman. Jarinya mengusap pipiku, lalu turun ke leherku, memberikan sentuhan lembut yang menenangkan.Aku memejamkan mata, menikmati momen ini. Semua rasa bersalah dan ketakutan lenyap, digantikan oleh kehangatan yang Devan berikan. Perlahan, aku membuka mataku lagi dan menatapnya, merasa terhubung dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya."Tuan…," bisikku, suaraku lembut, hampir seperti sebuah doa yang tak terucapkan. Aku tahu, hubungan ini salah, tapi di momen ini, di tengah keintiman yang baru saja kami bagi, aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya.Devan menunduk dan mencium dahiku dengan penuh kasih sayang, sebuah gerakan yang terasa sangat intim dan tulus. Saat bibirnya menyentuh kulitku, aku merasakan hangatnya cinta yang mengalir di antara kami."Aku tak ingin membuatmu merasa bersalah, Ratih," katanya pelan, seolah membaca pikiranku. "Tapi aku tak bisa menahan diri… Kau membua
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status