Devan menyentuh bibirku dengan lembut, seolah setiap ciumannya membawa pesan yang tak terucapkan. Aku pun membalas ciumannya, membiarkan perasaan yang selama ini tersimpan meledak dalam kehangatan yang membara. Saat ciuman kami semakin dalam, Devan menarikku lebih dekat, menghapus jarak di antara kami. Jemarinya menyusup di bawah kausku, menyentuh kulitku dengan sentuhan yang membangkitkan.
Namun, meskipun keinginanku kuat, aku menahan tangannya dengan lembut dan melepaskan ciumannya perlahan.
"Tuan..." bisikku sambil menggeleng ringan, menenangkan hasrat yang berkecamuk dalam diriku.
"Kenapa? Masih takut?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan yang menenangkan.
"Banyak orang di bawah, tuan," bisikku, napasku masih memburu, berusaha mengendalikan gejolak dalam dada.
Tanpa diduga, Devan berdiri dan mengangkat tubuhku, membawaku dalam gendongannya menuju ruangan di lantai tersebut. Aku terkejut, seketika melingkarkan lengan di lehernya dan mengun
"Ratih…," bisiknya, suaranya penuh keintiman. Jarinya mengusap pipiku, lalu turun ke leherku, memberikan sentuhan lembut yang menenangkan.Aku memejamkan mata, menikmati momen ini. Semua rasa bersalah dan ketakutan lenyap, digantikan oleh kehangatan yang Devan berikan. Perlahan, aku membuka mataku lagi dan menatapnya, merasa terhubung dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya."Tuan…," bisikku, suaraku lembut, hampir seperti sebuah doa yang tak terucapkan. Aku tahu, hubungan ini salah, tapi di momen ini, di tengah keintiman yang baru saja kami bagi, aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya.Devan menunduk dan mencium dahiku dengan penuh kasih sayang, sebuah gerakan yang terasa sangat intim dan tulus. Saat bibirnya menyentuh kulitku, aku merasakan hangatnya cinta yang mengalir di antara kami."Aku tak ingin membuatmu merasa bersalah, Ratih," katanya pelan, seolah membaca pikiranku. "Tapi aku tak bisa menahan diri… Kau membua
"Ratih?" Suara Mbok Yanti memecah keheningan."Iya, Mbok," jawabku, ketika menapakkan kakiku menuruni tangga dengan hati-hati."Di atas ngapain malam-malam begini?" tanyanya dengan nada curiga. Aku perlahan mendekatinya, berusaha menyembunyikan kegundahan yang menggelayuti hatiku."Cari angin, Mbok," jawabku, mencoba terdengar tenang meski denyut nadi terasa berdegup kencang."Ta kirain siapa loh, cari angin atau cari angin? Malam-malam gini bukannya istirahat, sampai keringetan begitu,” Mbok Yanti menambahkan, menatapku dengan pandangan penuh perhatian.Aku hanya tersenyum tipis, meski menyadari bahwa jawabanku tidak sepenuhnya meyakinkan. Dalam kesunyian malam ini, setiap detil tampak lebih mencolok, dan aku merasa Mbok Yanti dapat merasakan ada sesuatu yang tak biasa."Ya sudah, Mbok mau tidur lagi. Besok harus bangun pagi, Nyonya Talitha sudah pulang," ujar Mbok Yanti, suaranya mulai lembut setelah sebelumnya penuh selidik. Aku men
"Iya, Sus. Tadi Tuan Devan mengumpulkan dulu baju kotornya," jawabku sambil melanjutkan langkahku, berharap bisa segera keluar dari situasi ini."Ratih, berhenti!" seru Sus Wulan, suaranya tegas memanggilku kembali. Aku menghentikan langkahku seketika, merasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya."Ada apa, Sus?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin meski rasa was-was mulai merayap dalam diriku.Sus Wulan mendekat, wajahnya serius. "Jangan sampai terjadi apa-apa antara kamu dengan Tuan Devan," katanya, tatapannya menembus hingga ke dalam hatiku."Maksud Sus Wulan?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti meski perutku terasa mulas. Aku tahu betul apa yang dia maksud, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Pandangan Sus Wulan tetap terpaku padaku, seolah menunggu jawaban yang lebih jujur dariku."Heh, aku punya feeling yang kuat, Ratih," lanjut Sus Wulan, suaranya rendah namun penuh arti, sebelum berbalik dan melangkah masuk ke dala
"Pakai pelet apa? Jawab! Atau kamu bilang yang tidak-tidak dengan Tuan dan Nyonya?" desak Sus Wulan, semakin mendekatiku."Sudah cukup," batinku mulai terpancing, kemarahan memuncak di dalam diri. Perasaan lelah setelah hari yang panjang dan penuh tekanan membuat emosi ini tak lagi bisa kutahan.Perlahan, aku menyimpan piringku di meja yang berada di sampingku, lalu berdiri dengan mantap. Kutatap Sus Wulan dengan tatapan tajam, sekuat tenaga kutahan gejolak yang membara di dalam dada. Tanpa basa-basi, kudorong Sus Wulan hingga terjerembab ke tembok. Langkahku mendekat, bayangan amarah terpantul dalam matanya."Sus Wulan, sebetulnya ada masalah apa dengan saya?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi yang meluap."Saya tidak pernah berpikir untuk mengambil pekerjaan Sus Wulan merawat Prince. Itu sudah tugas Sus Wulan sebagai suster, bukan tugas saya," lanjutku, nada bicaraku mulai berubah, menyerupai seseorang yang berbeda, lebih dingin dan penuh tekad.
Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan beku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri.Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan membeku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri, seakan tahu betul bahwa pandanganku tak pernah bisa lepas darinya."Ratih, kenapa jadi malu-malu lagi?" katanya, suaranya terdengar ceria namun mengandung sesuatu yang lebih dalam. "Kamu kan sudah pernah melakukan ini sebelumnya," ia menambahkan, mengingatkan tentang momen yang dulu, saat pertama kali ia memintaku untuk berganti pakaian di depannya. Saat itu, aku juga merasa gugup, namun entah bagaimana, aku tetap melakukannya.Ak
Talitha tidak bergerak selama beberapa detik, membiarkan bibir kami bersentuhan, seolah memastikan bahwa aku tidak akan menolaknya. Pada awalnya, aku merasa ingin mundur, rasa takut dan ragu menyeruak di dalam benakku. Namun, ada sesuatu yang menahanku di tempat. Sentuhan bibirnya begitu lembut, begitu berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan, rasa penasaran dan keinginan yang tak bisa kuhindari mulai menyelinap di pikiranku, menggantikan ketakutan yang tadinya mendominasi. Aku merasakan diriku mulai melebur ke dalam kehangatan ciumannya, bibirku perlahan membalas ciumannya, membuka diri pada sensasi yang baru ini.Talitha memperdalam ciumannya, bibirnya bergerak dengan lembut tapi penuh gairah, seolah-olah mencari lebih banyak dariku. Tangannya menyentuh pinggulku, menarikku lebih dekat ke arahnya. Aku bisa merasakan dadaku menekan dadanya, kain dress yang tipis di antara kami seolah-olah tidak cukup untuk menahan gesekan yang membuat kulitku terasa panas. Napas kam
“Tuan,” kataku dengan suara yang nyaris berbisik, mencoba menyembunyikan kegugupanku, tapi aku tahu mereka bisa mendengarnya.“Sudah selesai, Ratih?” suara Talitha terdengar ceria, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Namun, tatapanku tidak bisa berpaling dari Devan, yang masih menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.“Sudah, Nyonya,” jawabku pelan, mencoba bersikap setenang mungkin.Devan tersenyum, senyuman nakal yang muncul di sudut bibirnya, penuh arti. Ia menatapku lalu beralih menatap Talitha.“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyanya dengan nada menggoda, senyuman nakalnya tak bisa ditahan, seolah menikmati ketidaknyamanan yang kini melingkupi ruangan ini.Talitha tertawa kecil, matanya berkilat penuh misteri. "Tidak ada yang kamu lewatkan, Pap," katanya dengan nada yang terdengar genit, namun juga mengandung sedikit tantangan. Ia duduk lebih tegak, tangan masih menyen
Aku menghampiri Mas Widodo di depan gerbang rumah Devan, napasku sedikit tercekat melihat wajahnya yang penuh kelelahan. Matanya tampak sayu, tapi ada sesuatu di sana — kekhawatiran yang tertahan, dan mungkin sedikit rasa rindu yang sudah lama tak terucap. Aku mengajaknya duduk di kursi halaman yang terdapat di luar rumah, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan menyelinap di dadaku.“Mas Widodo, ada apa, Mas?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya dari kedatangannya yang tiba-tiba."Ah, tidak ada apa-apa, cuma sudah lama tidak ketemu, semenjak kamu kerja di rumah Tuan Devan," jawabnya dengan nada santai, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.“Memang sebelum kerja di sini juga jarang ketemu kan, Mas? Setiap hari Mas keluar