Aku menghampiri Mas Widodo di depan gerbang rumah Devan, napasku sedikit tercekat melihat wajahnya yang penuh kelelahan. Matanya tampak sayu, tapi ada sesuatu di sana — kekhawatiran yang tertahan, dan mungkin sedikit rasa rindu yang sudah lama tak terucap. Aku mengajaknya duduk di kursi halaman yang terdapat di luar rumah, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan menyelinap di dadaku.
“Mas Widodo, ada apa, Mas?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya dari kedatangannya yang tiba-tiba.
"Ah, tidak ada apa-apa, cuma sudah lama tidak ketemu, semenjak kamu kerja di rumah Tuan Devan," jawabnya dengan nada santai, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.
“Memang sebelum kerja di sini juga jarang ketemu kan, Mas? Setiap hari Mas keluar
“Mas, aku sudah bilang ketika kita akan menikah,” kataku, suaraku lebih tegas dari yang kuduga. “Mungkin pernikahan kita tidak seperti orang pada umumnya, dan Mas menyanggupi itu. Aku tidak ingin pertanyaan itu diungkit lagi.” Ada nada putus asa dalam suaraku, seolah aku lelah dengan topik yang sudah pernah kami bicarakan ini, lelah dengan semua kebingungan yang terus-menerus melingkupiku.Widodo tersenyum getir, senyum yang membuatku merasa semakin tidak nyaman. Matanya tampak sayu, dan aku bisa merasakan perasaan sakit yang dipendamnya selama ini, mungkin karena keadaan yang tidak pernah bisa benar-benar ia terima. Dia mengangguk pelan, seolah menerima sesuatu yang pahit namun tak bisa dihindari.“Maafkan Mas, Dek,” katanya dengan nada rendah, suaranya terdengar seperti bergetar. “Mas menyadari… kalau Mas mungkin tidak layak untuk menjadi suami Adek,” lanjutnya dengan lirih, seolah kata-kata itu terlalu berat unt
Talitha tersenyum lebar ketika kami masuk ke mobil. "Ratih, hari ini kamu nggak boleh protes ya," katanya sambil menyalakan mesin mobil."Dan tolong… jangan panggil aku ‘Nyonya’ ketika kita berdua atau bertemu teman-temanku, ok honey?" lanjutnya, nada suaranya terdengar lebih manja dan lembut.Aku mengerutkan kening, bingung dengan permintaannya. "Jadi panggilnya apa?" tanyaku, mencoba mengerti maksudnya, sambil merapikan dress yang kukenakan. Ada bagian tali yang tak kumengerti, serasa semakin kusut setiap kali aku mencoba memperbaikinya.Talitha menoleh ke arahku sejenak, matanya tampak ceria dan sedikit menggoda. “Panggil saja namaku, Talitha,” katanya sambil tertawa kecil.“Atau… kalau mau, kamu bisa panggil aku
“Rileks saja, Kak. Napas yang dalam, ya," katanya sambil tersenyum.Aku menarik napas panjang, merasa malu dan bingung dengan situasi ini, tapi Talitha tertawa pelan, suaranya penuh canda. "Santai, Ratih. Anggap saja ini pengalaman baru!"Aku mencoba ikut tertawa, meski keringat dingin mulai mengalir di dahiku. "Ya, pengalaman baru yang… tidak pernah kubayangkan," kataku, yang membuat Talitha semakin tertawa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, perawatan akhirnya selesai. Aku merasa aneh, setengah lega tapi juga masih bingung. Talitha menepuk tanganku dengan lembut."Gimana rasanya? Lebih nyaman kan?" tanyanya dengan senyum lebar sambil melirik sekilas ke arah bagian bawah tubuhku, membuatku merasa sedikit malu. Ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuat pipiku memerah.Aku mengangguk, meskipun masih agak kaku. “Ya… mungkin,” jawabku ragu-ragu, mencoba mencari-cari kata yang tepat un
Malam itu terasa semakin kabur, seperti kabut yang menyelimuti pikiran dan perasaan. Botol wine di meja kami seakan berlubang—aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali Talitha menuangkan minuman ke gelasnya, menikmati setiap tegukan dengan tawa yang semakin lepas. Ketika makan malam selesai, ia bahkan memesan botol kedua, bersama hidangan penutup yang manis. Ada sesuatu dalam cara Talitha meneguk wine, dalam tawanya yang riang dan tingkahnya yang centil, yang membuatku merasa ada sesuatu yang lebih dalam—seperti terselip kesedihan samar di balik senyumannya.Seperti ada kehilangan yang tak bisa dia ungkapkan, atau mungkin sesuatu yang berat di hatinya yang sedang ia coba lupakan. Aku tidak yakin apakah aku hanya berhalusinasi, tapi perasaan itu terus membayangi pikiranku sepanjang malam.Ketika aku merasa Talitha sudah terlalu banyak minum, aku mencoba menghentikannya. "Talitha, sudah ya," kataku sambil menahan gelasnya sebelum ia sempat meneguk lagi.Talitha tersenyum lembut, lalu
"Litha, kamu nakal sekali," bisikku dengan nada setengah bercanda, tapi aku bisa merasakan getaran di suaraku. Tubuhku mulai bereaksi, gairahku perlahan memuncak, dan aku tanpa sadar mengapitkan kakiku lebih erat, mencoba menahan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhku.Talitha tertawa kecil, matanya bersinar dengan kegirangan. Ia menatapku dengan intensitas yang hampir membuatku merasa seperti sedang dalam percobaan laboratorium; pandangannya begitu tajam dan penuh antusiasme, seperti sedang menunggu reaksiku. Aku merasa seperti sedang diamati dengan cermat, setiap gerakanku seolah menjadi pusat perhatiannya."Kita isi lagi, ya?" katanya dengan senyum yang semakin lebar. "Di sini masih ada cognac." Tangannya dengan cekatan meraih botol lain di atas minibar, menuangkannya dengan perlahan ke dalam gelasnya dan kemudian gelasku, matanya tetap terfokus padaku.Aku merasakan aroma cognac yang kuat bercampur dengan udara, dan rasa hangat di tubuhku semakin intens. “Litha… cukup… nanti kit
Perlahan, Talitha menuruni tubuhku, matanya tetap tertuju padaku, penuh dengan rasa ingin tahu dan antisipasi. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat ketika dia mendekati bagian bawah tubuhku, semakin tenggelam di antara kedua kakiku. Sensasi yang aneh tapi menggetarkan menjalar di tubuhku saat dia menelusuri setiap inci kulitku dengan sentuhan yang begitu lembut dan terukur, seakan dia tahu persis bagaimana membuatku merasa semakin terbuka.Saat sentuhannya semakin dekat, jantungku berdebar kencang, dan napasku semakin cepat. Ketika bibir dan jemarinya mencapai bagian yang paling intim, aku merasa seluruh tubuhku menegang, napasku tercekat, dan gelombang hangat segera menyapu seluruh tubuhku. Setiap sentuhan yang ia berikan membawa percikan kecil yang menyebar seperti api yang menyala pelan, semakin lama semakin membakar.Aku tak bisa menahan desahan kecil yang keluar dari bibirku, dan seiring dengan itu, aku merasa tenggelam dalam lautan sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumn
Biasanya aku terbangun di pagi hari sekitar jam 4, tapi kali ini mataku baru terbuka pada pukul 7. Kepalaku terasa pening, akibat cognag yang kami minum beberapa gelas lagi sebelum tidur. Aku mengangkat tubuhku dari ranjang dengan pelan, melihat Talitha masih terbaring di sampingku, wajahnya tenang dalam tidur.Aku mencoba bangkit, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, belum sepenuhnya rapi ketika aku melangkah keluar dari kamar. Tapi, tepat saat aku keluar dari kamar, seseorang masuk ke dalam apartemen. Sosoknya terlihat tinggi, mengenakan pakaian olahraga yang basah oleh keringat, sepertinya baru saja selesai jogging. Ketika dia melihatku, matanya membelalak sedikit, menunjukkan keterkejutan yang jelas."Siapa kamu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit keras, tetapi lebih karena bingung daripada marah.Aku terdiam sejenak, lidahku kelu. "Aku… akuuu…," gumamku, panik. Tidak tahu harus menjelaskan apa.Tanpa berpikir panjang, aku segera berbalik masuk ke kamar, mencoba menutupi tub
Aku melirik ke arah Gavin, melihat bagaimana matanya bergerak perlahan dari wajahku ke seluruh tubuh, lalu berhenti di bagian dadaku. Aku mengikuti pandangannya, dan seketika wajahku memerah. Resleting blusku terbuka sedikit, cukup untuk membuatku merasa malu. Dengan cepat, aku menarik resletingnya dan menutupinya rapat-rapat, merasa sedikit terganggu dengan caranya memperhatikanku.Gavin menghela napas dan merebahkan dirinya di kursi, seolah mencoba menenangkan diri dari sesuatu. "Tuan, ada yang salah?" tanyaku, mencoba mengalihkan suasana canggung yang muncul.Dia tidak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu sedikit. “Makan dulu,” katanya akhirnya, saat pelayan tiba membawa hidangan yang kami pesan.Kami makan dalam diam. Aku mencoba fokus pada makananku, tapi rasanya perutku sulit menerima apa pun d