Home / Romansa / Tuan, Aku Hamil! / Di Ujung Kesabaran

Share

Di Ujung Kesabaran

Author: kodav
last update Last Updated: 2024-09-05 11:00:34

"Pakai pelet apa? Jawab! Atau kamu bilang yang tidak-tidak dengan Tuan dan Nyonya?" desak Sus Wulan, semakin mendekatiku.

"Sudah cukup," batinku mulai terpancing, kemarahan memuncak di dalam diri. Perasaan lelah setelah hari yang panjang dan penuh tekanan membuat emosi ini tak lagi bisa kutahan.

Perlahan, aku menyimpan piringku di meja yang berada di sampingku, lalu berdiri dengan mantap. Kutatap Sus Wulan dengan tatapan tajam, sekuat tenaga kutahan gejolak yang membara di dalam dada. Tanpa basa-basi, kudorong Sus Wulan hingga terjerembab ke tembok. Langkahku mendekat, bayangan amarah terpantul dalam matanya.

"Sus Wulan, sebetulnya ada masalah apa dengan saya?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi yang meluap.

"Saya tidak pernah berpikir untuk mengambil pekerjaan Sus Wulan merawat Prince. Itu sudah tugas Sus Wulan sebagai suster, bukan tugas saya," lanjutku, nada bicaraku mulai berubah, menyerupai seseorang yang berbeda, lebih dingin dan penuh tekad.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tuan, Aku Hamil!   Getaran Cinta Talitha

    Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan beku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri.Talitha memandangku dengan senyum lebar yang penuh arti, senyum yang membuat tubuhku seakan membeku di tempat. Ia masih berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh percaya diri, seakan tahu betul bahwa pandanganku tak pernah bisa lepas darinya."Ratih, kenapa jadi malu-malu lagi?" katanya, suaranya terdengar ceria namun mengandung sesuatu yang lebih dalam. "Kamu kan sudah pernah melakukan ini sebelumnya," ia menambahkan, mengingatkan tentang momen yang dulu, saat pertama kali ia memintaku untuk berganti pakaian di depannya. Saat itu, aku juga merasa gugup, namun entah bagaimana, aku tetap melakukannya.Ak

    Last Updated : 2024-09-05
  • Tuan, Aku Hamil!   Terjerat Talitha

    Talitha tidak bergerak selama beberapa detik, membiarkan bibir kami bersentuhan, seolah memastikan bahwa aku tidak akan menolaknya. Pada awalnya, aku merasa ingin mundur, rasa takut dan ragu menyeruak di dalam benakku. Namun, ada sesuatu yang menahanku di tempat. Sentuhan bibirnya begitu lembut, begitu berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan, rasa penasaran dan keinginan yang tak bisa kuhindari mulai menyelinap di pikiranku, menggantikan ketakutan yang tadinya mendominasi. Aku merasakan diriku mulai melebur ke dalam kehangatan ciumannya, bibirku perlahan membalas ciumannya, membuka diri pada sensasi yang baru ini.Talitha memperdalam ciumannya, bibirnya bergerak dengan lembut tapi penuh gairah, seolah-olah mencari lebih banyak dariku. Tangannya menyentuh pinggulku, menarikku lebih dekat ke arahnya. Aku bisa merasakan dadaku menekan dadanya, kain dress yang tipis di antara kami seolah-olah tidak cukup untuk menahan gesekan yang membuat kulitku terasa panas. Napas kam

    Last Updated : 2024-09-06
  • Tuan, Aku Hamil!   Kunjungan Widodo

    “Tuan,” kataku dengan suara yang nyaris berbisik, mencoba menyembunyikan kegugupanku, tapi aku tahu mereka bisa mendengarnya.“Sudah selesai, Ratih?” suara Talitha terdengar ceria, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Namun, tatapanku tidak bisa berpaling dari Devan, yang masih menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.“Sudah, Nyonya,” jawabku pelan, mencoba bersikap setenang mungkin.Devan tersenyum, senyuman nakal yang muncul di sudut bibirnya, penuh arti. Ia menatapku lalu beralih menatap Talitha.“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyanya dengan nada menggoda, senyuman nakalnya tak bisa ditahan, seolah menikmati ketidaknyamanan yang kini melingkupi ruangan ini.Talitha tertawa kecil, matanya berkilat penuh misteri. "Tidak ada yang kamu lewatkan, Pap," katanya dengan nada yang terdengar genit, namun juga mengandung sedikit tantangan. Ia duduk lebih tegak, tangan masih menyen

    Last Updated : 2024-09-06
  • Tuan, Aku Hamil!   Widodo Penasaran

    Aku menghampiri Mas Widodo di depan gerbang rumah Devan, napasku sedikit tercekat melihat wajahnya yang penuh kelelahan. Matanya tampak sayu, tapi ada sesuatu di sana — kekhawatiran yang tertahan, dan mungkin sedikit rasa rindu yang sudah lama tak terucap. Aku mengajaknya duduk di kursi halaman yang terdapat di luar rumah, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan menyelinap di dadaku.“Mas Widodo, ada apa, Mas?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya dari kedatangannya yang tiba-tiba."Ah, tidak ada apa-apa, cuma sudah lama tidak ketemu, semenjak kamu kerja di rumah Tuan Devan," jawabnya dengan nada santai, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.“Memang sebelum kerja di sini juga jarang ketemu kan, Mas? Setiap hari Mas keluar

    Last Updated : 2024-09-07
  • Tuan, Aku Hamil!   Merelakan?

    “Mas, aku sudah bilang ketika kita akan menikah,” kataku, suaraku lebih tegas dari yang kuduga. “Mungkin pernikahan kita tidak seperti orang pada umumnya, dan Mas menyanggupi itu. Aku tidak ingin pertanyaan itu diungkit lagi.” Ada nada putus asa dalam suaraku, seolah aku lelah dengan topik yang sudah pernah kami bicarakan ini, lelah dengan semua kebingungan yang terus-menerus melingkupiku.Widodo tersenyum getir, senyum yang membuatku merasa semakin tidak nyaman. Matanya tampak sayu, dan aku bisa merasakan perasaan sakit yang dipendamnya selama ini, mungkin karena keadaan yang tidak pernah bisa benar-benar ia terima. Dia mengangguk pelan, seolah menerima sesuatu yang pahit namun tak bisa dihindari.“Maafkan Mas, Dek,” katanya dengan nada rendah, suaranya terdengar seperti bergetar. “Mas menyadari… kalau Mas mungkin tidak layak untuk menjadi suami Adek,” lanjutnya dengan lirih, seolah kata-kata itu terlalu berat unt

    Last Updated : 2024-09-07
  • Tuan, Aku Hamil!   Brazilian

    Talitha tersenyum lebar ketika kami masuk ke mobil. "Ratih, hari ini kamu nggak boleh protes ya," katanya sambil menyalakan mesin mobil."Dan tolong… jangan panggil aku ‘Nyonya’ ketika kita berdua atau bertemu teman-temanku, ok honey?" lanjutnya, nada suaranya terdengar lebih manja dan lembut.Aku mengerutkan kening, bingung dengan permintaannya. "Jadi panggilnya apa?" tanyaku, mencoba mengerti maksudnya, sambil merapikan dress yang kukenakan. Ada bagian tali yang tak kumengerti, serasa semakin kusut setiap kali aku mencoba memperbaikinya.Talitha menoleh ke arahku sejenak, matanya tampak ceria dan sedikit menggoda. “Panggil saja namaku, Talitha,” katanya sambil tertawa kecil.“Atau… kalau mau, kamu bisa panggil aku

    Last Updated : 2024-09-08
  • Tuan, Aku Hamil!   Gavin Pulang?

    “Rileks saja, Kak. Napas yang dalam, ya," katanya sambil tersenyum.Aku menarik napas panjang, merasa malu dan bingung dengan situasi ini, tapi Talitha tertawa pelan, suaranya penuh canda. "Santai, Ratih. Anggap saja ini pengalaman baru!"Aku mencoba ikut tertawa, meski keringat dingin mulai mengalir di dahiku. "Ya, pengalaman baru yang… tidak pernah kubayangkan," kataku, yang membuat Talitha semakin tertawa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, perawatan akhirnya selesai. Aku merasa aneh, setengah lega tapi juga masih bingung. Talitha menepuk tanganku dengan lembut."Gimana rasanya? Lebih nyaman kan?" tanyanya dengan senyum lebar sambil melirik sekilas ke arah bagian bawah tubuhku, membuatku merasa sedikit malu. Ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuat pipiku memerah.Aku mengangguk, meskipun masih agak kaku. “Ya… mungkin,” jawabku ragu-ragu, mencoba mencari-cari kata yang tepat un

    Last Updated : 2024-09-08
  • Tuan, Aku Hamil!   Mabuk

    Malam itu terasa semakin kabur, seperti kabut yang menyelimuti pikiran dan perasaan. Botol wine di meja kami seakan berlubang—aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali Talitha menuangkan minuman ke gelasnya, menikmati setiap tegukan dengan tawa yang semakin lepas. Ketika makan malam selesai, ia bahkan memesan botol kedua, bersama hidangan penutup yang manis. Ada sesuatu dalam cara Talitha meneguk wine, dalam tawanya yang riang dan tingkahnya yang centil, yang membuatku merasa ada sesuatu yang lebih dalam—seperti terselip kesedihan samar di balik senyumannya.Seperti ada kehilangan yang tak bisa dia ungkapkan, atau mungkin sesuatu yang berat di hatinya yang sedang ia coba lupakan. Aku tidak yakin apakah aku hanya berhalusinasi, tapi perasaan itu terus membayangi pikiranku sepanjang malam.Ketika aku merasa Talitha sudah terlalu banyak minum, aku mencoba menghentikannya. "Talitha, sudah ya," kataku sambil menahan gelasnya sebelum ia sempat meneguk lagi.Talitha tersenyum lembut, lalu

    Last Updated : 2024-09-09

Latest chapter

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 6 - EPILOG

    ///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 5

    Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 4

    Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 3

    ///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 2

    ///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke

  • Tuan, Aku Hamil!   Extra Part 1

    Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je

  • Tuan, Aku Hamil!   Pengungkapan - End

    Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan

  • Tuan, Aku Hamil!   Kontraksi

    Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters

  • Tuan, Aku Hamil!   USG Lagi

    Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah

DMCA.com Protection Status